49• GARA-GARA JEFFIAN

2.3K 340 109
                                    

Sejak hari itu semuanya terasa berbeda. Kehidupan mereka mulai berubah. Nia berterima kasih kepada kedua orangtuanya karena sudah diperbolehkan tinggal bersama suami. Meski tidak selekat dulu, tapi sikap sang papa terhadap Jeffian tidak lagi sedingin es di kutub utara. Ya, lambat laun tersentuh juga. Walaupun begitu, ada rahasia terbesar yang tidak mungkin Nia beritau kepada keluarganya karena berkaitan dengan Jeffian. Cukup sampai disini mereka bisa berdamai kembali dengan keadaan.

Awal kehamilan sampai usia lima bulan memang rasanya berat sekali. Banyak beban yang harus dipikul sendirian tanpa bisa dibagi pada siapapun. Tapi begitu pindah, Nia merasa mulai bernafas lega kembali. Ia bebas mengekspresikan semua yang dirinya rasakan dalam bentuk apapun juga. Dan sekarang ia juga bisa merasakan cinta yang begitu banyak dari orang-orang terdekatnya. Papa dan mama yang memutuskan untuk mendukungnya dari jarak jauh, ibu mertua yang berkontribusi dalam menjaganya di rumah, serta Jeffian—seseorang yang paling berpengaruh dalam proses penyembuhan luka yang Nia rasakan.

Sebenarnya, Nia masih sering dilanda kecemasan. Kadangkali perasaan itu datang ketika dirinya sedang menyendiri, lalu teringat pada hal buruk yang pernah menimpanya beberapa bulan silam. Sejauh ini memang tidak pernah ada komunikasi lagi dengan Sadam, baik ibu dan Jeffian. Nia tau itu. Tapi siapa yang bisa menduga kedepannya, kalau si sulung itu akan kembali kesini entah dengan alasan apa.

Setiap kali bayang-bayang itu datang, perut bagian bawah Nia terasa nyeri. Kalau sudah begini, ia hanya bisa mengusapnya sambil mengatur nafas. Beberapa kali terlihat seperti itu, dan kali ini tertangkap basah oleh ibu. Entah sudah berapa lama mertuanya berdiri didekat pintu, lalu menghampirinya yang tengah duduk didepan televisi sambil tersenyum ringan.

Ibu duduk disebelah Nia, melihatnya dengan perasaan tulus, lalu ikut mengusap perut sang menantu penuh kelembutan. Seolah ingin sekali menyampaikan kasih sayangnya kepada bayi yang ada didalam sana.

"kamu kuat banget, Nia." gumam ibu, masih pada posisi yang sama. "bisa bertahan dalam kondisi penuh tekanan seperti ini." lanjutnya.

Nia belum menjawab, hanya balas memandang ibu dengan sorot tenang. Pikirnya, ibu saja bisa melahirkan seorang Jeffian ke dunia. Lalu kenapa ia malah menyerah? Jeffian yang sempat tidak diinginkan untuk ada, kini bisa menjadi laki-laki yang penuh dengan tanggung jawab. Dan siapa yang tau nantinya anak dalam kandungan Nia ini akan jadi seperti apa. Pada kenyataannya, mereka adalah dua wanita yang bernasib sama diwaktu berbeda. Satu pihak berhasil melewati ujian itu, sementara satu lainnya sedang berjuang untuk sampai dititik yang sama.

"semoga kamu bisa maafin anak-anak ibu ya." lirihnya.

"ibu..Nia udah terima semuanya, jangan lagi minta maaf. Ya?"

"ibu merasa bersalah sama kamu.."

Yang berbuat siapa, yang merasa bersalah siapa. Secara tidak langsung Sadam telah menempatkan keluarganya dalam posisi yang terkurung penyesalan sampai mati. Meski korban disini sudah memaafkan dan mengikhlaskan. Namun sejatinya dalam hati ibu maupun Jeffian, tidak ada dosa yang terhapus hanya dalam sekali ucap. Sehingga dengan cara apapun mereka akan menebus semua sebagai gantinya.

"kalo ada apa-apa, kamu bilang sama ibu ya. Kita keluarga sekarang." pesan ibu sambil tersenyum meski kedua matanya basah, "kalo Jeffian macem-macem, kamu ingetin dia. Kamu berhak atas dia, semuanya. Dia yang akan tanggung jawab buat bahagiakan dunia kamu, Nia."

Nia tersenyum lalu mengangguk, "ngeliat senyum Jeffian aja Nia udah bahagia banget, bu. Kayak ngeliat surga."

Perkataannya sukses membuat ibu tertawa pelan. Setidaknya situasi kembali ringan.

"dia sayang banget sama kamu."

"Nia juga sayang banget sama anak ibu, Jeffian." balasnya. Lalu mereka kembali tertawa bersama.

✔ Aku di-113 // JUNG JAEHYUNTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang