Rina mematung, dadanya bergemuruh hebat. Kata-kata Jeffian yang baru saja ditujukan kepadanya itu seolah terngiang didalam kepala. Terlebih reaksi yang diluar dugaan, membuat kepalanya mendadak pusing. Fokus matanya ditujukkan kebawah, tak berani menatap si lawan bicara yang kini menuntut jawaban darinya. Apakah dirinya salah bicara? Apakah dirinya baru saja memberi informasi mengejutkan kepada Jeffian yang secara fakta tidak tau apa-apa?
"di rumah lo. Oke, gue kesana." Jeffian bertanya, lalu menjawab sendiri karena Rina masih urung membuka mulut.
Ketika baru satu langkah bergerak, lengan seragamnya tiba-tiba saja ditahan. Jeffian menoleh, merasakan bahwa saat ini tangan Rina bergetar hebat. Gadis itu menggeleng lemah, hampir menangis lagi.
"jangan, Jeff. Jangan sekarang."
"gue harus ketemu dia."
"dia masih syok! Please, jangan sekarang."
Awalnya Jeffian bersikeras ingin pergi, tapi Rina juga mati-matian menahannya. Saat ini ia masih dalam waktu dinas, dan sudah seharusnya tidak boleh ditinggalkan. Tapi informasi itu seolah terus meminta untuk dikuak secepatnya. Oke—Nia memang masih syok, sementara Jeffian lebih ingin meledak-ledak. Pada akhirnya tak ada yang bisa ia lakukan selain menunggu waktu yang tepat untuk membicarakan ini. Sambil berdecak kesal, cowok itu meninju udara didepannya. Kemudian meremas rambut kuat-kuat dan mengerang frustasi.
"arghhh!"
Cewek gue hamil sama siapa anjing—umpatnya dalam hati. Untuk saat ini yang terlintas dikepalanya tak ada asumsi selain memang Nia bermain-main dibelakangnya. Begitukah? Memori lama ikut berputar, membawa ingatan yang memang baginya cukup berkesinambungan dengan masalah ini. Dimana beberapa kali Nia terlihat aneh, menangis hebat tanpa alasan, atau membicarakan soal putusnya hubungan mereka. Apakah itu bagian dari rasa bersalahnya karena takut mengakui secara langsung? Ya, nyata dan akurat.
Terpaksa diturutinya permintaan Rina saat datang tadi. Sahabat dari kekasihnya itu yang memberi informasi, tapi ia sendiri yang akhirnya ketakutan. Intonasi yang syarat akan permohonan, serta sorot mata menyimpan banyak rasa bersalah, Rina meminta Jeffian untuk menenangkan diri lebih dulu. Sekaligus memberinya mandat agar tidak menemui Nia sekarang juga. Alasannya klasik, Nia masih belum berada dalam kondisi yang stabil.
Hampir satu hari itu Jeffian tidak bisa berkonsentrasi. Bahkan ketika ada panggilan darurat yang mengharuskan tim mereka datang ke lokasi secepatnya, ia masih tetap tidak bisa menyingkirkan rasa penasaran yang bercampur didalam kepalanya. Dengan susah payah berusaha fokus, tetap bersama rekan yang lain, berjuang untuk memadamkan api. Padahal hatinya sendiri sedang terbakar.
🐋🐋🐋
Disatu sisi, Rina tengah duduk mematung pada meja belajarnya. Beberapa kali mengusap keringat dingin yang membasahi pelipis karena gugup. Ia jelas salah bicara. Ia jelas-jelas salah sasaran. Lagipula Nia memang belum sempat menceritakan kronologisnya. Tapi setelah mendengar kata 'hamil', pikirannya juga langsung tertuju kepada Jeffian. Ya karena laki-laki itu adalah kekasih yang bersangkutan, sekaligus satu-satunya orang yang dekat Nia.
Sampai lewat waktu petang kamar itu terasa hening. Tiba-tiba saja ia dikejutkan dengan Nia yang terbangun dari tidur cukup panjangnya. Wajah sahabatnya itu semakin kacau, matanya sembab karena terus menangis. Segera saja Rina tersenyum, berpindah posisi ke sebelahnya dan memberikan segelas air hangat untuk diminum. Padahal, mereka pasti sama-sama berdebar.
Nia, maafin gue. Jeffian jadi tau..
"Nia, makan yuk? Lo belum makan tau dari siang. Mumpung orang rumah belum pada pulang." bujuknya, "atau mau gue bawa kesini aja makanannya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
✔ Aku di-113 // JUNG JAEHYUN
FanfictionIni bukan kisah laki-laki berjas gagah yang berusaha untuk menggaet salah satu gadis incarannya. Melainkan, kisah anak kedua kambing betina yang berusaha tetap hidup dengan pekerjaan seadanya. Disanalah ia bertemu dengan "anunya", perombak mimpi, pe...