Mengajak keluarga tersayang dalam penerbangan Jakarta-Manokwari yang aku terbangkan adalah mimpiku sejak awal memasuki sekolah penerbangan enam belas tahun silam. Masa dimana aku harus berjuang untuk belajar sambil mengumpulkan uang demi mewujudkan satu tekad; mengabdi pada negara.
Dan inilah aku, pilot dari Tanah Cendrawasih. Dari tanah yang katanya dianaktirikan pemerintah. Dari tanah yang unik dan aneh manusianya, budayanya, serta adat istiadatnya, namun yang tetap selalu aku banggakan.
Penerbangan yang sedari awal sudah dihantui perasaan tidak enak ini ternyata hanya berhasil menyimpan kebahagiaan pada setengah jalan awal.
Iya, semua berubah ketika seorang pramugari memberi kabar bahwa salah satu penumpang yang menunjukkan gelagat tidak normal sejak awal memasuki pesawat tiba-tiba menggila dan merusak serta menyerang apapun yang ada di dekatnya.
Beberapa petugas keamanan sudah diturunkan ke lokasi, namun penumpang ini sangat sulit dikendalikan. Setelah memantau beberapa saat dari CCTV di ruang awak, aku memutuskan untuk melihat langsung ke belakang.
"Ambil alih, saya mau liat situasi" Ujarku kepada Bambang Rozi, co-pilot burung besi ini.
Situasi semakin tidak kondusif saat dua orang penumpang yang berusaha membantu petugas malah terluka parah akibat terkena gigitan di leher.
Akhirnya, kami mengambil keputusan agar mensterilkan area di sekitar penumpang sakit itu dengan menyuruh para penumpang lain berpindah kursi dan mengisi kursi kosong yang jauh dari konsentrasi penanganan.
Beberapa menit berlalu, akhirnya kami berhasil mengikat penumpang itu dan sekarang memfokuskan pengobatan korban yang terluka.
Sekitar lima belas menit kemudian, satu orang korban akhirnya menghembuskan nafas terakhir setelah kami berusaha memberi tindakan medis. Para kru mengambil kain hitam dari kabin lalu menutup korban tewas dan memindahkannya.
"Selamat sore, sehubungan dengan adanya kejadian yang di luar dugaan dan tentunya sangat tidak kita harapkan, maka dengan ini saya mewakili kru pesawat memutuskan untuk melakukan pendaratan darurat di Bandara terdekat. Kami mohon maaf sebesar-besarnya atas ketidaknyamanan ini," ucap Bambang dari pengeras suara.
Aku pun kembali ke ruang awak setelah memastikan kondisi istri dan kedua anakku aman.
Baru saja lima menit berjalan saat aku kembali melakukan tugas, sinyal tanda darurat berbunyi karena seseorang menekannya. Aku melayangkan pandanganku pada monitor yang menampilkan tayangan CCTV dan betapa kagetnya aku saat melihat orang-orang berlarian dan saling menyerang.
"Ambil alih lagi!"
Aku menerobos kerumunan orang yang berlari ke arah depan hingga sampai di satu titik yang membuat aku harus berhenti.
Ya, orang yang sudah mati tadi kembali bangkit dan menunjukkan gejala yang sama dengan penumpang sakit yang pertama. Dia sedang asyik menggerogoti leher salah seorang penumpang wanita yang hampir bolong.
Insting menolongku keluar, sedetik sebelum aku berlari menolong wanita itu, salah seorang pramugara segera menarikku menjauh dari situ.
"Pak, jangan..." Dia menatapku lekat. Wajahnya seakan ingin menyampaikan banyak hal, namun tertahan.
Ia menghela nafas sejenak. "Ini penyakit, Pak. Ini menular. Dan spekulasi saya penularannya melalui gigitan. Selain itu, mereka yang sakit berubah menjadi sangat kuat. Mustahil untuk menahannya. Satu-satunya cara adalah dengan melandaskan pesawat ini segera."
Pandangan orang sakit itu terlempar ke kami. Dengan cepat dia bangkit dan berlari ke arah kami. Setelah jarak kami hanya kurang lebih dua meter, dia melompat dan langsung menerkam pramugara yang kuketahui bernama Bondan itu. Iya, Bondan reflek menamengi aku dengan tubuhnya.
Bahu hingga lehernya dicabik-cabik. Dia hanya bisa berteriak kesakitan.
"Tuhan Yesus menyertai kamu," ucapku saat melihat pemandangan itu sambil berlari kearah depan.
Lagi-lagi aku dikejutkan dengan pemandangan di bagian depan pesawat. Benar kata Bondan, ini penyakit menular. Sayangnya, infeksi sudah terlanjur menyebar. Orang-orang saling menyerang, menggigit, kocar-kacir menjauhi mereka yang sakit. Aku kembali tertegun melihat anak bungsuku, Helen, yang sedang bengong.
"Mana ko pung mama deng kaka Albert?" Dia hanya menggeleng, kemudian menunjuk ke suatu arah.
Disana aku melihat istriku, Fransisca Mona Kyambo, sedang asik melahap isi perut anak sulungku, Albert Valentino Kaisiepo. Aku bertahan sekuat mungkin membendung air mataku. Namun semuanya tidak tertahan lagi. Marah, sedih, kecewa, tidak terima, aku terlalu emosional kala itu.
Aku langsung menggendong anak bungsuku, memeluknya erat, sambil berlari dan berteriak sekencang mungkin menerobos kerumunan orang-orang yang menghalangi jalan untuk mencapai kokpit.
Sesampainya disana, aku melihat Bambang tidak sendirian. Terdapat empat orang penumpang yang terdiri dari satu keluarga berpakaian ala islami.
"Mohon ijin agar kami ikut sembunyi disini, Pak Pilot."
Aku diam, tidak menjawab. Aku terlalu kalut dengan keadaanku saat ini. Aku frustasi dan tidak terima semua ini terjadi. Aku langsung mengunci pintu ruang awak agar tidak ada lagi orang yang masuk kedalam. Meskipun aku tahu cara ini sama saja dengan membunuh mereka semua. Gedoran demi gedoran dari luar aku hiraukan. Mereka semua juga tidak berani membuka pintu. Terlalu takut kalau ada satu orang yang terinfeksi masuk ke ruangan itu.
Hingga gedoran itu berganti menjadi teriakan, hingga dobrakan. Ya, para orang sakit itu tahu kalau kami ada di dalam.
"Pa," panggil gadis kecilku pelan.
"Apa, sayang?"
Dia menggulung lengan bajunya dan menunjukkan luka berbentuk susunan gigi di tangannya. Aku memandang luka itu dengan tatapan nanar dalam beberapa detik, lalu memanjangkan lengan bajunya kembali dengan cepat dan memberi kode agar anakku diam.
"Pak, mari kita minta pertolongan sama Allah," ajak pria dari keluarga tadi.
Bapak itu, istri, kedua anaknya, beserta Bambang sudah bergandengan tangan.
"Dari pak co-pilot, saya tahu bapak beragama Kristen. Minta pula pertolongan kepada Yesus. Kami percaya Tuhan tidak buta. Kalaupun kita harus mati saat ini, Insya Allah surga bersama kita semua, Pak." Aku mengangguk.
"Adek, adek percaya kan Tuhan Yesus akan tolong adek deng papa? Kalopun adek deng papa harus mati, ko harus percaya Tuhan tara pernah tinggalkan torang," bisikku pada Helen.
Aku menggandeng tangan anakku, lalu ikut menggandeng tangan mereka.
"Bapa kami di dalam Surga
Dikuduskanlah namamu
...""Bismillahir rohmaanir rohiim, laa haula walaa quwwata illa billahil 'aliyyil azhiim
..."Sungguh indah. Entahlah, inilah hakikat manusia yang sesungguhnya. Toleransi, sekalipun beberapa menit lagi kami harus mati.
Kemudian kami semua menunduk. Aku sudah pasrah, sementara Bambang kembali ke kemudi dan masih berupaya mendaratkan pesawat ke Bandara terdekat yang kurang lebih setengah jam lagi.
Di waktu inilah aku menulis semua ini. Siapapun yang menemukan catatan ini, semoga kalian tahu apa yang kami dan semua orang alami disini. Pergunakanlah catatan ini sebaik mungkin.
12 Mei, sekitar 16.00 WIT, 29.000 kaki dari permukaan laut.
Bertus Fernando Kaisiepo, 35 tahun, Pilot.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jejak: 31 Hari (Tamat)
Science FictionSaat pandemi mayat hidup melanda Indonesia, sekelompok orang di Pemerintah berusaha mengumpulkan informasi melalui jejak para penyintas yang pernah (atau masih) bertahan hidup. Sembari melakukan tindakan evakuasi, akhirnya mereka dipertemukan dengan...