4.7: Catatan Yang Disembunyikan; Rachel Amara Prasetya (-), Wiraswasta

84 28 0
                                    

13 Mei 2022
Kota Palembang, Sumatera Selatan
--

Catatan ini dibuat oleh Rachel Amara Prasetya, anak dari Bapak Deddy Prasetya yang menjabat sebagai kepala di organisasi intelijen pemerintah dan salah seorang petinggi pada organisasi Sembah Ibu Bumi.

•••••

Sungguh, bilamana benar ini ulahnya maka aku bersumpah;

Nantinya, kalau aku harus berubah menjadi mayat, aku akan menjadi teror dalam hidup ayahku sendiri. Hidup seseorang yang paling aku sayangi, namun juga kubenci.

Ayahku adalah orang gila. Entah bagaimana buruknya perasaan Tuhan kala Ia menciptakannya, namun sifat iblis yang tertanam di jiwanya benar-benar membuat aku harus pergi dari hidupnya.

Semenjak kepergian ibu lima belas tahun lalu, sifat ayah yang awalnya acuh tak acuh terhadapku langsung berubah secara signifikan. Ayah begitu perhatian terhadapku, memanjakanku dengan berbagai fasilitas yang dapat dikategorikan mewah untuk anak seumuranku kala itu, juga selalu memberi dukungan atas setiap usaha dan prestasi yang aku torehkan.

Aku betul-betul merasa diperlakukan sebagai ratu, dan sering berpikir bahwa aku adalah anak paling beruntung di dunia. Saat itu, aku bahkan sampai lupa dengan rasa duka dan kehilangan setelah wafatnya ibu.

Namun semuanya berubah lima tahun kemudian, saat usiaku beranjak tiga belas tahun. Ayahku mulai berlaku aneh. Dia seringkali menyentuh area-area tubuhku yang saat itu aku ketahui sebagai area pribadi. Tak jarang pula ia sengaja masuk ke kamar mandi saat aku sedang membasuh tubuh, lalu memelototi tubuhku dari ujung kaki sampai ujung kepala. Selain itu, sifatnya berganti menjadi otoriter. Apapun yang ia katakan, aku harus menurutinya.

Semakin aku bertumbuh, semakin luas pula pengetahuanku. Banyak sumber eksternal yang mengedukasi aku untuk menjaga tubuh dari tindakan ayahku yang menurut mereka diluar batas kewajaran.

Aku dilema, karena saat aku bertanya pada ayahku mengenai hal tersebut, ia menjawab kalau semua yang ia lakukan adalah sebuah kewajaran dalam konteks rasa sayang antara ayah dan putrinya.

Puncak dari semua perbuatannya yaitu pada saat aku selesai merayakan acara kelulusan bersama teman-temanku di SMA. Kala itu, aku pulang ke rumah sekitar pukul dua belas dengan kondisi seragamku yang penuh coretan pilox dan spidol.

Di balik pintu, ia telah menantiku dengan mistar kayu. Awalnya, ia hanya mencaci aku dengan hinaan verbal. "Pelacur", "Lonte", "Gadis Murahan", dan kata-kata menyakitkan lain yang menjurus ke penampilanku saat itu tak henti-henti ia lontarkan. Memang, kala itu aku mengenakan seragam yang ukurannya telah kumodifikasi agar terlihat ketat di tubuh.

Tapi itu semua tak lain hanya sebagai ekspresiku sebagai anak muda yang baru merayakan hari bersejarah dalam hidupnya. Lagipula, pakaian tak berpengaruh dengan moral, bukan?

Aku bahkan telah bersumpah kepadanya kalau aku tidak melakukan hal-hal yang diluar kesusilaan di luar sana, namun ia tetap tidak peduli. Tak lama kemudian, ia diam.

Tatapan menyeramkan dari matanya keluar lagi. Tatapan yang dipenuhi iblis kenafsuan. Ia langsung menyeret aku ke kamar, dan melakukan tindakan yang tak sepantasnya dilakukan orang tua terhadap anaknya.

Ia, dia memperkosa aku malam itu.

Setelah peristiwa itu, aku mendiamkannya berhari-hari. Saat itu pula ia tak pernah melakukan pelecehan terhadapku dalam bentuk apapun, serta tak henti-hentinya mengungkapkan rasa penyesalan dan berjanji tak akan mengulangi perbuatannya.

Kata-kata maaf darinya tak pernah aku terima. Lagipula, bagaimana mungkin ada seorang wanita yang setelah mendapat kekerasan seksual, dapat memberi maaf begitu saja kepada pelakunya? Apalagi dalam kondisi dimana pelaku tersebut adalah ayahnya sendiri.

Jejak: 31 Hari (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang