"All around me are familiar faces
Worn out places, worn out faces
Bright and early for their daily races
Going nowhere, going nowhere
Their tears are filling up their glasses
No expression, no expression
Hide my head, I want to drown my sorrow
No tomorrow, no tomorrow
And I find it kinda funny, I find it kinda sad
The dreams in which I'm dying are the best I've ever had
I find it hard to tell you, I find it hard to take
When people run in circles it's a very very
Mad world, mad world
Children waiting for the day, they feel good
Happy birthday, happy birthday
Made to feel the...""Lo ngapain sih dengerin lagu kayak gitu?" omel Risa yang langsung mematikan pemutar musik itu.
"Ya elah, suka-suka gue dong!" Sahutku kesal setelah lagu Mad World yang dilantunkan Tears for Fears itu mendadak berhenti.
Semenjak kejadian tadi pagi, aku tak lagi menggunakan bahasa formal dalam berkomunikasi. Pikiranku mulai kacau. Aku terus dibayang-bayangi oleh gambaran dimana perjuangan yang kami lakukan akan berakhir sia-sia.
Aku bahkan tak lagi memikirkan statusku sebagai tentara apalagi Wakil Pemimpin. Yang ada di kepalaku saat ini adalah tentang bagaimana mempertahankan hidup kami semua.
"Udah pada rapi?" tanya Andre yang muncul dari kamar almarhum Rina. Ia menyandang tas ransel yang terlihat sangat penuh.
"Gua sih udah, nggak tau kalo yang lain," jawabku.
"Apa nggak lebih baik kalo kita makamin mereka dulu?" ujar Elsa sembari menatap jenazah Ilham dan Risa yang terbaring di lantai dengan ditutupi kain.
"Enggak. Tolong, Elsa. Jangan ngasih ide aneh-aneh deh! Kita harus memotong waktu semaksimal mungkin!" jawab Deddy cepat.
"Ya, dia bener, Sa," sahutku pula.
Setelah semua orang rapi, kami pun saling berpandangan. Kami semua dibingungkan oleh hal yang sama; "Mayat siapa yang darahnya akan kami pakai untuk kamuflase?". Tanpa menunggu mereka membuka suara, aku langsung mengajukan diri untuk "berburu" mayat di luar.
"Loh, jangan! Nanti kalo lo kenapa-napa gimana?" protes Risa.
"Enggak, gue aman kok!" jawabku.
Kemudian Andre merangkul bahuku dan mengajakku sedikit menjauh dari mereka.
"Bro, Ilham?" bisiknya.
"Woah! Enggak! Gua nggak mau!" tolakku cepat. Aku pun langsung melepaskan rangkulannya.
"Bro, tolong.. Kita dikejar waktu. Demi kebaikan semuanya," ujarnya lagi sambil masih memegangi bahuku.
"Enggak! Tolonglah! Gua nggak tega kalo harus ngeliat jenazah Ilham disembelih lagi!" ujarku yang masih kekeuh.
"Gua yakin. Dari atas sana, Ilham bakal merasa bahagia setelah tahu kalo dirinya masih berguna walaupun udah meninggal," bujuk Andre lagi.
Kali ini, ucapannya berhasil membuatku luluh. Benar juga, Ilham pasti akan tersenyum dari alam sana setelah melihat jasadnya dapat "membantu" kami.
"Oke, tapi gua tunggu kamar. Tolong ambilin darahnya aja. Nanti kalo udah selesai, tolong tutup lagi mayat beliau. Gua nggak kuat kalo harus ngeliat itu. Terserah diantara kalian siapa yang mau nyembelih," jawabku pasrah.
Setelah menunggu beberapa menit di kamar, Andre datang membawakan semangkuk darah hitam.
"Makasih, Ndre. Nanti gua balur sendiri aja."
"Sama-sama.. Jangan kelamaan ya.."
Aku menatap nanar darah itu.
"Ah, persetanlah!" pikirku.
Setelah membaluti sekujur tubuhku dengan darah, aku pun keluar dari kamar dan menemui mereka.
"Siap?" tanyaku. Mereka semua mengangguk.
"Seperti kemarin ya," pungkasku.
Pintu dan pagar telah dibuka. Beberapa mayat datang mendekati kami dan mengendus-endus sejenak sebelum kembali berjalan tanpa arah.
Sekitar tiga puluh menit kemudian, tibalah kami di area steril yang kini sudah tak berbentuk. Asap hitam masih membumbung tinggi di beberapa titik. Reruntuhan bangunan yang dikerubungi oleh mayat-mayat berjalan seakan membuat suasana tempat itu terasa mencekam.
Sesampainya di perempatan Nagrak, ekor mata kami menangkap beberapa anggota paramiliter Sembah Ibu Bumi yang sedang mengintai di beberapa titik. Melalui jari, aku memberi kode kepada teman-temanku agar tetap tenang dan terus berjalan beriringan dengan rombongan mayat yang berada di sisi kami.
Beberapa kali aku mendapati orang-orang itu berbisik-bisik. Mereka sepertinya mengendus penyamaran kami karena bagian tubuh kami yang cukup "bersih" dibanding mayat-mayat lain. Anehnya, mereka tak menyerang kami. Mereka seakan membiarkan kami berjalan meskipun kami mengenakan ransel—tidak seperti perjanjian awal dimana mereka menginginkan badan kami bersih tanpa barang bawaan—.
Akhirnya kami tiba di jembatan Mitra 10. Jembatan yang terputus itu membuat kami harus memutar otak untuk melaluinya tanpa sepengetahuan mayat-mayat di sekitar. Kami cukup terkejut setelah menyadari bahwa mayat-mayat ini cukup bodoh. Entah apakah mereka buta, namun mereka terus berjalan hingga akhirnya terjun bebas kebawah Sungai Cikeas yang menganga lebar.
Tiba-tiba terdengar suara letusan tembakan. Tembakan itu begitu banyak dan membabi buta hingga membuat mayat-mayat di sekitar kami jatuh tersungkur. Mataku menangkap dengan jelas bahwa anggota paramiliter itulah yang telah melumpuhkan mayat-mayat di sekitar kami.
Anehnya, peluru-peluru itu tidak menggores kami sedikitpun. Kami yang merasa telah kadung ketahuan langsung mengangkat tangan kami ke atas. Saat itu pula beberapa anggota paramiliter itu berlari sembari menodongkan senjata ke arah kami.
"Oh.. Bangsat," gumamku.
Risa dan Elsa nampak begitu ketakutan. Begitu juga Deddy dan Andre, mereka semua memasang wajah tegang. Hingga beberapa saat kemudian, seorang wanita muncul dari balik kepungan puluhan paramiliter yang moncong senjatanya terarah ke kami itu.
"Deddy sayang! Apa kabar?" ucap wanita itu dengan senyum yang menyeramkan.
Demi Tuhan, wanita itu cantik, bahkan sangat cantik! Apa yang ada di pikirannya hingga memanggil Deddy dengan sebutan "sayang"? Taksiranku, wanita itu berumur dua puluhan. Sesekali, beberapa helai rambutnya yang berjuntai karena dikuncir setengah nampak jatuh menutupi wajahnya yang oriental.
"Ded?" panggilku pada Deddy dengan nada aneh. Entah nada penasaran atau amarah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jejak: 31 Hari (Tamat)
Fiksi IlmiahSaat pandemi mayat hidup melanda Indonesia, sekelompok orang di Pemerintah berusaha mengumpulkan informasi melalui jejak para penyintas yang pernah (atau masih) bertahan hidup. Sembari melakukan tindakan evakuasi, akhirnya mereka dipertemukan dengan...