5.3: Tersingkap

95 25 1
                                    

26 Mei 2022
Cileungsi, Kabupaten Bogor
--

"Sudah berapa banyak?" ucap Pak Azka dari HT-nya.

"Baru enam puluh, Ndan! Kami akan cari lebih banyak!"

"Bagus! Kumpulkan lebih banyak mayat agar semua orang mendapat jatah darah!"

"Diterima, Ndan!"

Beliau sedang berkoordinasi dengan anggotanya di perimeter untuk mengumpulkan mayat yang akan kami sembelih agar darahnya bisa kami pakai untuk kamuflase.

Tadi pagi, semua sipil yang tersisa dikumpulkan oleh tentara. Sama seperti kemarin di saat Pak Ilham menjelaskan semuanya kepadaku, orang-orang yang berkumpul juga terkejut dengan rencana gila yang akan kami lakukan. Untungnya, mereka semua patuh dan mau menyetujui rencana tersebut tanpa ada satupun komentar.

"Ayo! Tangannya jangan kaku, dilemesin aja!" ucapku menggunakan toa agar mereka semua mendengar.

Dari atas panggung, aku sedang mengajari orang-orang untuk melakukan gerakan yang mirip dengan mayat. Jumlah peserta latihan yang hampir mencapai lima ratus orang membuatku cukup kewalahan.

"Jalannya begini, kakinya sedikit diseret dan dipincangkan!" ujarku lagi sembari mempraktikkan gerakan yang aku maksudkan.

Sesekali, aku merasa kesal karena orang-orang itu tampak begitu kaku. Bagaimana mereka bisa selamat dalam kamuflase kalau caranya seperti ini?

"Dipincangkan, Bu! Tangannya jangan malah dikakuin lagi!" ucapku saat melihat seorang wanita yang malah kembali mengkakukan tangannya.

Tak terasa, jarum jam sudah menunjuk angka dua belas. Artinya latihan akan dijeda selama satu setengah jam untuk makan siang dan ibadah sholat Dzuhur.

"Hai, Kak! Gimana?" tanya Elsa saat aku sedang menyantap mie instan dan terong rebus yang menjadi menu utama kami siang itu.

"Capek, Sa! Orang-orangnya susah banget diajarin!"

"Hahahaha, sabar ya, Kak! Kamu berjasa banget loh dengan ngelakuin hal ini!"

Aku tersenyum. Entah mengapa, ucapannya barusan seakan mengembalikan energiku yang hampir habis setelah lima jam berdiri di atas panggung.

"Terima kasih ya, Sa. Tanpa kamu sadar, ucapan kamu barusan bener-bener nguatin aku," pungkasku.

Ya, orang-orang ini sangat membutuhkan aku. Gerakan mereka yang kaku tentu akan membuat proses kamuflase memakan banyak korban. Mayat-mayat itu pasti dapat mendeteksi mereka dengan mudah bilamana gerakan mereka tidak sesuai dengan gerakan mayat pada umumnya.

"Hari ini harus banyak kemajuan, karena latihan besok cuma setengah hari," batinku.

Prosesi latihan berlanjut. Dengan semangat, aku mengajari orang-orang di bawah sana dengan gerakan yang sama secara berulang-ulang.

"Nah, kalau kaki yang kanan mulai pegal, bisa gantian. Jadi kaki kanan di seret, kaki kiri yang dipincangkan. Seperti ini!" ucapku.

Setelah melihat peningkatan yang cukup signifikan pada gerakan mereka, aku memutuskan untuk mengganti metode pelatihan dengan praktik langsung. Kami semua membentuk sepuluh barisan yang memanjang ke belakang, dan melakukan percobaan jalan kaki dari panggung menuju SMPN 1 Cileungsi.

Gladiresik itu sukses membuat tentara yang melihat kami tertawa terpingkal-pingkal. Untung saja semua peserta tetap fokus pada pelatihan dan tidak terdistraksi oleh gelak tawa mereka. Tiga kali bolak-balik, tak terasa sore hari telah tiba.

"Baik, Bapak dan Ibu, latihan untuk hari ini akan kita akhiri dulu. Besok, saya harap semuanya sudah kembali berkumpul disini tepat pada jam 7 pagi. Terima kasih!" ujarku kala itu.

Jejak: 31 Hari (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang