2.4: Catatan IV; Wahyu Prayuda (19), Mahasiswa

272 49 0
                                    

12 Mei 2022
Tangerang Selatan
--

Aku rasa, tidak ada momen yang lebih menyenangkan selain masa-masa saat putih abu-abu.

Hari ini, aku dan teman-temanku di SMK dulu akan mengulang momen itu selama beberapa jam. Ya, kami akan mengadakan reuni yang berbarengan dengan ulang tahunku. Oleh karena itu, rumahku ditunjuk sebagai tempat pelaksanaan acara.

Hari itu pula, kampusku diliburkan sehubungan dengan kegiatan demonstrasi mahasiswa yang kebetulan dikomandoi oleh almamater tempat aku menuntut ilmu. Aku yang tidak terlalu minat dengan hal-hal seperti itu memilih untuk diam di rumah.

Sedari siang, aku dan ibuku sudah mempersiapkan semuanya. Memasak, membuat puding, juga meramu beberapa jenis minuman dingin agar bisa kami nikmati nanti.

Tak terasa jam sudah menunjukkan pukul empat sore, yang artinya satu jam lagi acara akan dimulai. Karena satupun dari temanku belum ada yang datang, akhirnya aku memilih untuk mandi terlebih dahulu.

Pancuran air yang membasahi sekujur tubuhku seakan melunturkan rasa lelah yang sedari tadi membalut ragaku. Dari sela-sela riuhnya gemericik air, telingaku menangkap suara benturan yang cukup kencang dari luar kamar mandi.

Sontak, aku memanggil ibuku guna memastikan keadaannya baik-baik saja. Namun setelah beberapa detik menunggu, aku tidak mendengar jawaban darinya sama sekali. Lantas, aku segera menyelesaikan mandiku dan mengecek keadaan di luar.

Jantungku serasa ingin copot tatkala melihat ibuku terkapar dibawah seorang psikopat yang sedang menggerogoti isi lehernya yang berlubang. Melihat itu, aku sama sekali tidak mampu menggerakkan tubuhku. Pikiranku pun betul-betul kosong. Aku hanya terpaku melihat orang itu menarik keluar tenggorokan ibuku dan mengunyahnya.

Tiba-tiba psikopat itu menoleh ke arahku. Matanya begitu kosong dan dingin, seakan-akan tidak ada kehidupan di dalamnya. Sejurus kemudian ia segera bangkit dan berlari ke arahku. Saat jarak kami hanya kurang lebih dua meter, ia melompat seakan ingin menerjangku.

Reflek, aku segera menendang tubuhnya hingga terpental sekitar satu meter. Seakan tidak merasa sakit, psikopat itu langsung bangun lagi dan kembali mencoba menerjangku.

Kali ini, kursi kayu di sampingku menghantam kepalanya hingga kaki-kaki kursi tersebut patah. Ia diam beberapa detik, kemudian kembali bangkit.

Melihat itu, aku segera tersadar kalau ada sesuatu yang tidak beres. Aku langsung mengambil langkah seribu dan menuju keluar rumah. Sialnya, keadaan di luar pun tidak cukup baik.

Orang-orang saling serang, darah dimana-mana, takbir menggaung di berbagai penjuru. Aku sempat melihat Pak Jimi, tetanggaku, melayangkan parang di dada istrinya yang Ikut-ikutan menggila. Namun seperti tadi, orang-orang psikopat ini seakan kebal dengan serangan yang kami lancarkan. Alhasil, istri Pak Jimi berhasil menerjang dan menggigiti bahu Pak Jimi.

Satu hal yang aku heran, bagaimana bisa mereka menjadi kebal dan begitu kuat? Tubuh Pak Jimi yang atletis dan dikenal sebagai pentolan komplek saja tak berkutik saat diterjang oleh istrinya yang notabene badannya jauh lebih kecil.

Beberapa detik kemudian, Mang Asep, tetanggaku yang lain, beserta keluarganya menghentikan laju kendaraannya tepat di depan rumahku. Ia segera menyuruhku memanggil ibu dan masuk ke dalam mobil untuk melarikan diri dari tempat ini. Aku segera menghampiri mobil mereka dan masuk.

"Ibu udah nggak ada, Mang," ucapku lesu kala itu.

Tepat di depan komplek, kendaraan yang kami lajukan dicegat oleh beberapa kendaraan ala militer. Sekelompok pria dan wanita berseragam tentara melompat dari dalam kendaraan mereka dan menembaki setiap orang yang gerak-geriknya seperti psikopat tadi.

Setelah aku perhatikan lebih rinci, ternyata seragam militer yang mereka kenakan bukanlah seragam milik TNI. Entah dari mana asal mereka, sejujurnya aku tidak terlalu memikirkannya. Aku hanya merasa heran. Senjata api yang mereka miliki begitu lengkap dan kemampuan menembak mereka luar biasa. Keherananku berlandas pada sulitnya memiliki senjata api di Indonesia bagi mereka yang bukan aparat.

Letusan demi letusan terdengar, bau mesiu memenuhi udara. Dalam beberapa menit, puluhan orang-orang psikopat itu ambruk ke tanah dengan kondisi kepala mereka yang berlubang.

Datang lagi pula dua buah truk yang sama, kali ini mereka membawa beberapa orang dengan seragam khas dokter dan sisanya berpakaian seperti preman.

Dengan sigap, para preman itu menurunkan beberapa pagar besi dan mendirikan perimeter. Sementara itu, orang-orang dengan seragam dokter tadi terlihat menyuntikkan sesuatu terhadap semua orang yang terkapar di tanah.

Dalam satu jam, komplek kami berhasil mereka kuasai seutuhnya. Pagar-pagar besi pun telah berdiri tegak. Sesekali, timah panas milik mereka meluncur ke kepala para psikopat yang datang dari arah luar komplek.

•••••

Semuanya tidak berlangsung lama. Hanya beberapa jam sebelum psikopat dari luar secara bergerombol membobol pertahanan kami.

Di buku ini, aku lampirkan semua pengalaman, juga beberapa dokumentasi saat awal merebaknya wabah, juga saat beberapa pasukan bersenjata berusaha menahan orang sakit itu masuk ke area kami, dan mayat-mayat yang dibakar massal.

Di paragraf ini, terdengar suara dobrakan dari luar pintu rumah pak Ahiat, rumah yang aku pakai untuk bersembunyi. Aku rasa waktuku sudah tak lama lagi.

Beruntungnya, aku berhasil mengambil satu dari pistol jenis revolver milik salah seorang tentara yang sudah terkapar.

Terimakasih, sekian.

Dibuat oleh: Wahyu Prayuda, 19 tahun, Mahasiswa.

Jejak: 31 Hari (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang