"Sekarang apa? Hari sudah mau gelap!" ucap Deddy dengan panik.
Kami semua memilih diam karena tidak mampu menjawab pertanyaan itu.
"Ini semua akibat kecerobohanmu, Ndre! Kalau kamu dapat memastikan bensin kita cukup sebelum pergi, kita nggak bakal begini!" ujar Deddy lagi.
"Loh, kok anda jadi nyalahin saya?" sahut Andre dengan nada yang tersulut.
"Ya jelas! Jelas kalau semua orang disini menyalahkan kecerobohan kamu! Kalau kamu nggak ceroboh.."
"Lah mana saya tahu! Saya juga buru-buru untuk menyelamatkan kalian!" potong Andre dengan suara yang semakin meninggi.
"Menyelamatkan atau membunuh kami pelan-pelan?!! Sekarang lihat, kita terjebak di jalanan antah berantah ini! Kamu mau tanggung jawab kalau tiba-tiba kita mati diserang mayat?!" sahut Deddy lagi dengan nada yang tak kalah tinggi.
Kemudian mereka terlibat adu mulut dengan suara yang makin kencang. Sampai di satu titik setelah aku tidak sabar dengan kelakuan mereka, kepalan tinjuku secara reflek menghantam langit-langit mobil hingga kendaraan yang kami tumpangi ikut berguncang.
"Masih mau berantem??" tanyaku pelan namun penuh emosi.
"MASIH MAU BERANTEM?! BIAR GUE PECAHIN NIH PALA LO SATU-SATU?!" teriakku kemudian. Emosiku begitu meledak sampa-sampai aku menodongkan pistol di masing-masing tanganku ke kepala mereka.
Wajah semua orang tegang. Ilham hanya menatapku dengan lemah. Sementara Risa berusaha menenangkan Elsa yang kini menangis ketakutan.
Bagaimana dengan pria yang bersama anak-anaknya tadi? Mereka semua mendesak ingin diturunkan di pertigaan Klapanunggal. Entahlah apa yang ada di kepala mereka, namun kami malas memperpanjang urusan akhirnya menuruti permintaan mereka.
"Ayolah, anjing! Kalian semua udah dewasa!" bentakku lagi.
"Ndan.."
"Diem, Ham! Lu nggak paham sama apa yang ada di kepala gua sekarang!" bentakku pula secara refleks kepada Ilham.
"Sekarang, kita semua turun. Bawa semua barang yang bisa kita bawa. Di luar juga mendung, jadi kita cari bangunan yang bisa kita pakai untuk berteduh malam ini." tegasku.
"Oh iya, sekali lagi. Saya tidak mau dengar lagi ada konflik, adu mulut, dan sebagainya. Kalau kita mau selamat, kita bekerja sama. Semua orang harus bisa bertindak dan berucap dengan kepala dingin. Bukan sekedar untuk keselamatan masing-masing, tapi untuk keselamatan kita semua!" pungkasku.
Dimulai dari aku, satu persatu dari kami melompat turun. Aku memerintahkan Deddy untuk membantu memapah Ilham yang masih berjalan pincang. Selanjutnya, aku dihadapkan oleh dua pilihan dilematis.
Kami bisa berjalan ke arah sebelumnya, karena disana ada komplek perumahan. Namun risikonya akan besar, karena tadi mataku menangkap lima sosok mayat di pagar kompleknya. Praktis, di dalamnya pun pasti ada mayat-mayat lain.
Selain itu, kami juga bisa berjalan maju. Tapi masalahnya, tidak ada satupun dari kami yang tahu seberapa jauh ujung dari jalan yang bagian kiri dan kanannya didominasi hutan ini.
Setelah mempertimbangkan banyak hal, akhirnya aku memutuskan untuk berjalan ke arah depan, sambil berharap agar kami bisa dipertemukan dengan bangunan selekas mungkin.
"Ded, kuat kan?" tanyaku pada Deddy yang tampak mulai kelelahan.
"Semoga," jawabnya pelan.
"Ndre, bisa tolong gantian papah si Ilham? Kasihan si Deddy sepertinya mulai lelah," pintaku pada Andre.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jejak: 31 Hari (Tamat)
Научная фантастикаSaat pandemi mayat hidup melanda Indonesia, sekelompok orang di Pemerintah berusaha mengumpulkan informasi melalui jejak para penyintas yang pernah (atau masih) bertahan hidup. Sembari melakukan tindakan evakuasi, akhirnya mereka dipertemukan dengan...