"Yah, alhamdulillah!" ucapku seraya memeluk ayah ketika sampai di depan rumah.
"Wah, anak ayah tumben nih, ada apa?" jawab pria paruh baya itu.
"Ayah nggak perlu lagi pusingin SPP sama Uang Prakteknya Adam!"
"Loh, gimana maksudnya?"
"Iya, pokoknya ayah fokus aja sama pekerjaan ayah di sekolah. Nggak perlu pusing lagi juga mikirin status honorer ayah yang nggak naik-naik dari belasan tahun lalu. Aku udah bisa bantu perekonomian kita, Yah! Alhamdulillah!"
"Wah, ini kamu serius? Tapi bagaimana? Kamu sendiri kan masih kuliah."
"Begini, Yah. Alhamdulillah, aku dikenalin temenku ke temennya yang kerja di dunia produksi film. Nah, dia bilang, perias utama mereka lagi cuti sakit karena terjangkit flu burung yang lagi mewabah ini. Alhasil mereka cari pengganti, dan setelah dia lihat kemampuan merias aku, dia langsung ajak aku gabung ke produksi mereka. Bayarannya cukup besar, dan seenggaknya cukup untuk aku bayar tagihan di sisa masa kuliah aku."
"Alhamdulillah, ayah turut seneng dan bangga banget sama kamu setelah kamu ngomong gini. Oh iya, emangnya filmnya tentang apa?"
"Tentang pembunuhan berantai oleh psikopat gitu, Yah. Jadi tugas aku nantinya untuk membentuk wajah para korban yang mati mengenaskan. Konsepnya ada yang wajahnya terbakar, ada yang seperti dirobek silet, ada juga yang..."
"Ih, udah ah, nggak usah disebutin! Tapi, emangnya kamu bisa? Setahu ayah, kamu kan jagonya untuk rias aktris dan yang berhubungan dengan kecantikan gitu?"
"Alhamdulillah, Yah. Aku belajar merias nggak cuma yang dasar. Aku juga nyari tahu langkah-langkah untuk kustomisasi wajah dalam beberapa bentuk. Aku bisa bentukin wajah pucat, dahi yang seakan-akan ditembak, dan lain-lain. Sekali lagi, Alhamdulillah, aku bisa nguasain semua itu dan siap untuk pekerjaan ini."
"Ayah betul-betul bangga punya anak seperti kamu! Jujur, kalau ayah boleh cerita sedikit, ayah sedikit pusing mikirin uang praktiknya Adam nanti. Kamu tahu sendiri kan? Dia STM, untuk praktiknya tinggal dua bulan lagi, namun akhir bulan ini udah harus dilunasi. Nggak tanggung-tanggung loh, tiga juta! Sementara kamu juga harus bayar cicilan semester, belum buat ibu untuk kebutuhan rumah. Sementara kamu tahu sendiri kan? Ayah masih guru honorer dan kayaknya kecil kemungkinan untuk naik kelas. Gaji ayah cuma tiga koma dua."
"Ayah tenang aja, kalau nanti aku udah terima honor, kelebihan yang aku punya dari sisa bayar kuliah bakal aku kasih ke ibu untuk bantu-bantu supaya dapur ngebul. Yang penting, ayah prioritaskan gaji ayah untuk Adam dulu ya!"
Mata ayah nampak berkaca-kaca. Ia langsung memeluk aku dengan erat.
•••••
"Kamu dimana, Ris??"
Dari sambungan ponsel ini, aku mendapati nada suara ayah terdengar begitu panik.
"Masih di lokasi syuting, Yah."
"Nak, ayah mohon, pulang sekarang. Kamu sudah denger kan beritanya?"
"Iya, Yah. Tugas aku juga udah selesai, aku langsung izin ke Crew Leader aku untuk pulang duluan ya, Yah."
"Iya, ayah tunggu. Hati-hati di jalan, Nak!"
Perjalanan ke rumah terasa sangat mencekam. Orang-orang berlarian di sisi jalan. Tak jarang, bercak darah terlihat berceceran di trotoar dan aspal jalan raya. Sesekali, kendaraan roda empat berhenti mendadak sehingga beberapa motor yang berada di belakangnya mengerem mendadak sampai terjatuh.
Untung saja pengendara ojek daring yang aku naiki saat itu cukup cekatan. Kecepatan sepeda motor yang cukup tinggi berhasil ia kontrol dengan sangat baik. Beberapa belas menit kemudian, sampailah aku di rumah.
"Kunci pintunya, Yah," ucap Ibu setelah aku dan ayah yang tadi menungguku di halaman masuk ke dalam.
"Stok sampai berapa lama, Bu?"
"Empat atau lima hari Insya Allah kuat, Yah."
•••••
Hari ketiga, bising-bising suara manusia dari luar membuat Adam yang sedang sibuk mengotak-atik radio langsung bergerak menuju jendela dan mengintip keluar.
"Yah, Bu, tentara! Mereka pasti mau evakuasi kita!" ucapnya dengan semangat.
Ayah langsung mengambil kaos putih dari lemari, kemudian berlari ke atas. Beberapa saat kemudian, pintu yang terkunci rapat langsung rubuh setelah didobrak oleh beberapa tentara itu. Lalu mereka masuk ke dalam dan menodong kami dengan senjata.
Awalnya, mereka hanya ingin membawa ayah, ibu, dan Adam. Entahlah apa alasannya, namun mereka bertindak seperti itu setelah satu persatu dari kami menyatakan keahlian kami masing-masing. Sepertinya mereka terlalu meremehkan keahlian meriasku.
Memang, secara logika, dalam kondisi darurat seperti ini, kecil kemungkinannya agar kemampuanku berguna untuk menunjang kehidupan. Namun kemungkinan yang kecil sekalipun tetaplah kemungkinan yang bisa saja terjadi bukan?
•••••
Siapa yang sangka kalau pagi tadi adalah sarapan terakhirku bersama mereka bertiga?
Entahlah apa yang terjadi, setelah sebelumnya mendarat untuk mengevakuasi orang dalam jumlah banyak, kami kembali mendarat lagi di sebuah tanah lapang.
Karena banyak orang yang ingin buang air kecil, akhirnya kami sekeluarga pun ikut turun keluar helikopter. Saat itu pula aku melihat tentara-tentara itu berlarian ke arah dimana sebuah asap terlihat membumbung tinggi.
Setelah beberapa belas menit berlalu, akhirnya mereka kembali. Dengan tergesa-gesa, mereka menginstruksikan semua orang untuk kembali naik ke helikopter. Aku dan keluargaku terpisah karena kapasitas helikopter yang kami tumpangi terlanjur penuh saat aku ingin naik. Setelah perdebatan yang alot antara tentara tersebut dengan keluargaku agar aku naik ke helikopter yang satu lagi, akhirnya kami mengalah.
"Tak apa, Yah. Toh hanya beda helikopter, kita masih bareng kok," ucapku kala itu.
Beberapa menit kami berada di udara, telingaku mendengar suara dentuman yang begitu kencang. Hiruk-pikuk dari orang-orang di dalam helikopter langsung menggerakkan aku untuk melihat keluar jendela. Jantungku serasa ingin copot setelah melihat helikopter yang ditumpangi keluargaku sudah diselimuti api dan terjun bebas ke bawah.
Tiba-tiba semuanya gelap.
•••••
25 Mei 2022
Cileungsi, Kabupaten Bogor
--Seharusnya masih ada satu bagian lagi yang perlu aku tuliskan di buku catatanku kala itu. Namun salah seorang tentara tiba-tiba menerobos masuk ke tendaku sehingga aku kaget.
"Kamu Risa Amara betul?"
"Iya, Pak. Ada apa ya?"
"Ikut saya, kemampuan kamu akan kita pakai untuk misi penting!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Jejak: 31 Hari (Tamat)
Science FictionSaat pandemi mayat hidup melanda Indonesia, sekelompok orang di Pemerintah berusaha mengumpulkan informasi melalui jejak para penyintas yang pernah (atau masih) bertahan hidup. Sembari melakukan tindakan evakuasi, akhirnya mereka dipertemukan dengan...