28 Mei 2022
--"Siapa mereka, sayang?" tanya wanita itu membuka omongan.
Kami berlima hanya pasrah saat duduk terikat di kursi ini. Sebelumnya, beberapa anggota paramiliter tadi menyeret kami dengan kasar ke sebuah bangunan yang mereka pakai sebagai markas.
"Mereka.. Teman-temanku," jawab Deddy pelan. Aku cukup terharu tatkala Deddy masih menganggapku sebagai teman setelah semua hal yang telah kami lewati sebelumnya.
"Oh.. Apakah mereka berguna?" tanya wanita itu lagi. Deddy hanya mengangguk.
"Baiklah, berhubung saya adalah wanita yang sopan, maka saya ingin memperkenalkan diri terlebih dahulu," ujarnya sembari menatap kami satu persatu. Lagi-lagi wanita itu menunjukkan senyum yang membuatku bergidik ngeri.
"Saya Karina Vivian, bisa dipanggil Vivi atau Karin. Tapi jangan panggil saya Rina, karena nama itu menurut saya terlalu mainstream! Hahahaha!"
Kami hanya melongo mendengar cara perkenalan yang begitu buruk itu. Tiba-tiba wanita itu menyentakkan kakinya dengan kencang hingga pantofel yang ia kenakan menimbulkan bunyi yang menggema di seluruh ruangan. Kami cukup kaget mendengar suara itu.
"Ayo, sekarang gantian dong! Kenalin diri kalian satu persatu. Mulai dari kamu, manis?" ujarnya lagi sembari mengelus dagu Elsa. Hal itu sontak saja membuat Elsa membuang wajahnya. Elsa nampak begitu ketakutan.
"A.. Aa... Aku Elsa.." ucap Elsa tergagap.
"Oh, halo, Elsa! Tenang aja, aku nggak makan orang kok. Jangan mandang aku sambil ketakutan gitu dong," ujarnya lagi dengan wajah yang diimut-imutkan.
Sejujurnya, secara wujud memang bisa dibilang wajahnya imut. Namun iblis yang seakan bertengger di kepalanya membuat aura cantiknya berganti kengerian.
"Umur kamu berapa?" tanya Vivi melanjutkan.
"16, Bu.." jawab Elsa lagi dengan suara yang lebih tenang.
"Ohh, kamu seumuran sama almarhum adek saya. Panggil saya 'kak' aja ya, cantik?" ucap wanita itu dengan ramah. Baru kali ini senyumnya nampak tulus.
"Hei, buka ikatan si Elsa! Kasih dia makan!" perintah Vivi kepada salah satu anggotanya.
"Apa yang sebenarnya ada di kepala wanita ini?" gumamku dalam hati. Jujur, aku bingung melihat tingkahnya yang seperti orang psikopat. Beberapa detik lalu, ia seperti iblis. Namun sekarang, ia seperti malaikat bagi Elsa.
"Kamu kenapa senyum-senyum? Ada yang aneh?!" teriak Vivi tiba-tiba. Aku langsung mengalihkan pandanganku ke arah Risa. Benar saja, tawanya yang sedari tadi ia tahan akhirnya terlepas.
"Kenapa?! Apa yang kamu ketawain??!" bentak Vivi lagi.
"Lo! Lo aneh!" sahut Risa dengan tegas. Mata mereka saling bertatapan tajam. Tak ada seujung kuku pun rasa gentar yang terpancar dari wajah Risa.
Melihat itu, beberapa anggota paramiliter disana mengarahkan senjatanya ke kepala Risa.
"Oh, ada yang mau jadi jagoan disini," ujar Vivi. Ia pun menepuk kedua tangannya pelan sembari berjalan mengitari kursi Risa.
"Kalo kamu punya nyali, lepasin saya. Kita duel satu lawan satu!" celetuk Risa lagi.
"RIS!" bentakku reflek. Aku tidak tahan melihat kelakuan Risa yang tentu saja dapat memberi dampak buruk kepada kami semua.
"Diam kamu!" bentak Vivi kemudian kepadaku.
"Ris.. Ris siapa nama kamu?" tanya Vivi dengan dahi yang ia kerutkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jejak: 31 Hari (Tamat)
Ciencia FicciónSaat pandemi mayat hidup melanda Indonesia, sekelompok orang di Pemerintah berusaha mengumpulkan informasi melalui jejak para penyintas yang pernah (atau masih) bertahan hidup. Sembari melakukan tindakan evakuasi, akhirnya mereka dipertemukan dengan...