12 Mei 2022
Cileungsi, Kabupaten Bogor
--"Bapak Wakil sudah tiada," ucap Pak Perdana dengan mata sembab.
Lantas, tangisku pun pecah dan kami saling memeluk.
"Innalillahi Wainnailaihi Roji'un," ucapku di sela-sela tangis kami.
Ya, lagi-lagi aku harus kehilangan seseorang yang berharga.
Sebagai sahabat karib yang telah saling mengenal semenjak di Pondok Pesantren dulu, Sofyanarif Aliatas adalah seseorang yang memiliki banyak kontribusi dalam memberi dukungan terhadapku untuk mencapai jalan hijrah.
Pergaulan yang salah sempat membuat aku terjerumus pada dunia gelap. Sejak memasuki bangku putih biru, aku telah membuat begitu banyak masalah yang tentunya merepotkan keluargaku dan juga pihak lain. Masalah terakhir yang aku buat membuat orang tuaku memutuskan untuk mengirim aku ke salah satu Pesantren di daerah Kudus.
Disitulah aku mengenalnya, pria berdarah Sunda-Padang yang telah menghafal 30 juz semenjak SD. Perkenalan kami pun tidak semulus itu. Kebiasaan berbuat onar yang masih melekat pada diriku kala itu membuat santri-santri disana enggan berteman denganku. Namun berbeda dengan pria ini. Ia kerap mengajak aku mengobrol dan berusaha akrab denganku.
Awalnya aku enggan meresponnya. Aku memandang sifatnya yang begitu religius tidak akan masuk dengan tingkahku saat itu. Namun kuasa Allah begitu besar, Ia melunakkan hatiku dan menggunakan Sofyan untuk memperbaiki hidupku.
Waktu berlalu, kami merintis bisnis dengan konsep syariah bersama-sama. Disitu pula kami mendapatkan dukungan moral dan materi dari organisasi keagaaman yang mengedepankan jargon Islam Nusantara untuk mengembangkan bisnis kami. Bank Perkreditan Rakyat Syariah milik kami akhirnya naik level menjadi Bank Syariah.
Pada musim pemilihan Kepala Negara dan Wakilnya pada 2019 silam, salah satu partai politik beraliran nasionalisme melirik Sofyan sebagai kandidat untuk mewakili Bapak Perdana Haliman. Allah menyetujui dan melancarkan semuanya, mereka mendapatkan suara terbanyak dalam proses demokrasi dan dinyatakan sebagai pemenang pemilihan umum kala itu.
Entah apa yang ada di kepala beliau, kala itu ia merekomendasikan aku kepada Presiden sebagai Penasihat Kenegaraan. Setelah melewati proses yang cukup ketat, lagi-lagi Allah menyetujui hal tersebut.
Aku, Kodri Alfarizi, diangkat menjadi Penasihat Kenegaraan Republik Indonesia periode 2019-2024.
Namun kini pria itu sudah tiada. Allah telah mengutus Malaikat Izrail untuk menyudahi tugasnya di Bumi. Doaku, semoga pintu Jannah dibuka untuknya. Semoga segala amal ibadahnya diterima dengan baik, dan segala dosa serta kesalahannya diampuni.
"Bagaimana bisa?" tanyaku sembari masih sesenggukan.
"Nanti saya ceritakan. Kita punya agenda rapat. Ayo, segera ikut saya," jawab Pak Perdana.
Kamipun dibawa menuju sebuah bangunan sekolah yang katanya akan digunakan sebagai Pusat Pemerintahan sementara.
"Ngomong-ngomong, istri dan anakmu, Kod?"
•••••
"Ayah pergi saja duluan. Indonesia sedang membutuhkan ayah," ucap Abdel, putra semata wayangku yang sedang duduk di samping istriku yang mulai melemah.
"Nak, kamu enggak paham.."
"AYAH! TOLONG JANGAN MEMBUAT ABDEL DURHAKA, YAH!" teriak Abdel tiba-tiba.
Matanya yang sedari tadi memerah mulai basah.
"Abdel jagain ibu disini! Nanti Abdel nyusul kalo ibu udah sehat!"
"Perlukah kita seret paksa, Pak?" tanya salah seorang petugas keamanan yang sedang mengevakuasi kami.
"Tidak, dia sudah dewasa."
"Ayo pergi!" lanjutku.
Akupun mencium kening istriku yang semakin memucat, lalu kemudian memeluk Abdel dengan erat seakan-akan itulah pertemuan terakhir kami.
•••••
"Saya.. Saya minta maaf," ucap Pak Perdana setelah aku menceritakan hal tersebut.
"Kalau Fransisca, Pak?"
"Belum ada kabar, setahu saya, dia sedang di Riau."
"Semoga Allah menyertai dia, Pak.."
"Amin, terima kasih atas doa anda.."
Rapat darurat digelar. Namun ada apa dengan orang-orang ini? Setelah pengangkatan Bapak Deddy Prasetya sebagai Wakil Presiden, setiap orang yang hadir disitu diberikan kesempatan untuk menyampaikan saran perihal pergerakan kami selanjutnya.
Mirisnya, rata-rata dari mereka menyarankan untuk segera mengamankan perangkat pemerintahan dulu, tanpa mempedulikan keselamatan masyarakat. Orang-orang ini begitu takut akan kematian, sampai mereka rela mengorbankan sipil yang sejatinya sederajat dengan mereka; manusia.
Berulang kali aku mengucap istighfar, sembari tiada henti memanjatkan doa kepada Allah agar bisikan-bisikan iblis itu tidak diacuhkan oleh Pak Perdana selaku pengambil keputusan.
Doaku diijabah oleh Allah, berdirilah seorang pria yang merupakan Camat Kecamatan Cileungsi. Pria tersebut menyampaikan rencana brilian yang sangat berisiko, namun rencana ini lebih manusiawi.
Meskipun aku yakin nantinya akan mengorbankan banyak hal, akan tetapi setidaknya kami berusaha untuk menjalankan amanat dari Allah untuk melindungi rakyat kami dan memberikan rasa tenang kepada mereka.
Operasi tersebut kami sebut sebagai "Operasi Sapu Saksi".
Seusai rapat, Pak Perdana memanggilku untuk bicara empat mata. Dia meminta pendapat dariku perihal beberapa masukan yang kami terima kala rapat tadi. Tentu saja aku segera menyarankan agar ia menjalankan saran dari Camat tadi. Alhamdulillah, dia menerimanya.
Ia segera mempublikasikan keputusan tersebut kepada seluruh elemen dan menetapkan 14 Mei sebagai hari dimulainya Operasi Sapu Saksi.
"Bagaimana anda bisa sebegitu tenang ini, Pak?" tanyaku kepada beliau tatkala kami dan beberapa ahli intelijen militer sedang menyusun skenario Operasi Sapu Saksi.
"Maksudnya?"
"Putri anda.."
Ia tersenyum, mengangkat alis dan bola matanya ke atas. "Ketidakpedulian akan hal-hal yang seharusnya saya pedulikan."
"Hah?"
"Fransisca memang putri saya. Seharusnya saya khawatir terhadap kondisinya saat ini kan?"
"Bahkan saya tidak tahu apakah beliau masih bernafas atau tidak." Ia menghela nafas.
"Namun, tiga ratus juta manusia di seluruh Nusantara ini adalah anak, orang tua, dan saudara saya pula."
"Mereka pun layak saya khawatirkan. Apakah mereka kelaparan? Kedinginan? Kesakitan di luar sana?" Semua orang di ruangan itu mengangguk-angguk menatapnya.
"Kalian pun demikian, dan fakta yang harus saya terima, raga saya, yang berada di tempat ini, harus fokus terhadap segala sesuatu yang pasti dapat saya urus."
"Memikirkan putri saya hanya akan mengganggu fokus terhadap penyelamatan anggota keluarga saya yang lain."
"Itulah alasan mengapa saya harus mengurangi kepedulian terhadap putri kandung saya, yang saat ini, sekali lagi saya katakan, saya tidak mengetahui apakah beliau masih bernafas atau tidak." Kami masih menatapnya dengan serius.
"Saya pernah mengalami kehilangan, seluruh Indonesia juga tahu kan kepergian istri saya?" tanyanya sembari melanjutkan.
"Saya menerapkan ini, dan itu berhasil. Saya harap pula kali ini Tuhan memuluskan semuanya, dan mengizinkan saya menyelamatkan sebanyak mungkin anggota keluarga saya di luar sana, dan mampu mengungkap titik terang agar mereka semua tidak lagi merasa resah maupun dendam," pungkasnya mengakhiri jawaban.
"Masya Allah," ucapku reflek.
Pembahasan berlanjut. Hari itu, kami berhasil merumuskan komposisi aparat bersenjata yang diturunkan dalam operasi, dan meminta Deddy Prasetya menjalankan dua fungsi dalam masa jabatannya sebagai Wakil Presiden, yaitu dengan memimpin Tim Investigasi OSS.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jejak: 31 Hari (Tamat)
Khoa học viễn tưởngSaat pandemi mayat hidup melanda Indonesia, sekelompok orang di Pemerintah berusaha mengumpulkan informasi melalui jejak para penyintas yang pernah (atau masih) bertahan hidup. Sembari melakukan tindakan evakuasi, akhirnya mereka dipertemukan dengan...