4.3: Jalur Sutera

94 29 1
                                    

21 Mei 2022
Jakarta Timur
--

"Hati-hati, Ndan! Dari arah jam tiga!"

Saking kagetnya, jantungku berdebar dengan hebat. Sesaat sebelum terjangan mayat itu sampai di tubuhku, beberapa peluru menjatuhkannya.

"Terima kasih," ucapku pada personil yang menyelamatkanku barusan.

Kami terus bergerak maju. Setiap jalan akses yang dilewati langsung kami blokade dengan kawat untuk mencegah masuknya mayat ke area jalur protokol yang telah kami amankan sebelumnya.

Pukul setengah dua siang, akhirnya kami berhasil mensterilkan Jalan Alternatif Cibubur, area yang kami sebut sebagai Jalur Sutera.

"Markas Pusat, Beta monitor!"

"Masuk, Azka!" jawab Pak Deddy dari ujung sana.

"Tujuh jam, Jalur Sutera telah siap dipakai."

"Kerja bagus! Ada korban kah?"

Sejenak, aku terdiam.

"Sedang kami data, Pak."

•••••

"Ndan! Coba lihat itu!" ujar salah seorang anggotaku.

Dari kejauhan, sebuah mobil Kijang melaju ke arah kami.

"Bersiap dalam posisi, kita kedatangan tamu." ucapku melalui HT.

Mobil itu semakin dekat, kemudian berhenti di ujung Jalur Sutera yang berada tepat di depan sebuah Restoran Jepang ternama.

"Alpha?" ucapku refleks ketika melihat Komandan Zaki serta beberapa tentara yang belum pernah aku lihat sebelumnya turun dari mobil tersebut.

"Bagaimana proses disini?" tanyanya kemudian setelah menjabat tanganku.

"86, Ndan! Semua berjalan dengan lancar. Jalur Sutera juga sudah terbentuk!"

"Bagus, jangan lupa juga cek barikade di jalan akses, terutama di perempatan-perempatan. Takutnya ada beberapa mayat yang berhasil menembus kawat."

"Ngomong-ngomong, perkenalkan, mereka ini dari Tim Delta." Kami pun saling berjabat tangan.

"Saya ingin menyerahkan ini," ujarnya sembari menyerahkan dua kantong plastik yang berisi beberapa lembar kertas.

"Plastik yang hitam adalah jejak yang Tim Delta temukan di Palembang, sementara yang putih adalah jejak di Bali."

"Apakah Tim November juga ada di Halim, Ndan?" tanyaku cepat setelah mendengar kata Bali.

"Tidak, ceritanya panjang, nanti saja saya ceritakan. Saya harus segera kembali ke Halim. Lakukan semua yang kalian bisa secepat mungkin. Pastikan seluruh area aman, agar besok pagi, pemindahan ke Halim sudah bisa dimulai."

"Jangan lupa pula, utus tentara untuk antarkan jejak ini pada hari ini juga. Tim Investigasi mungkin akan menemukan beberapa petunjuk melalui ini," pungkasnya.

Ia menjabat tanganku lagi dan berbalik ke mobil. Perlahan, Kijang itu pun hilang di kejauhan.

"Ndan, empat belas personil gugur. Satu masih bertahan," lapor Viki, salah satu rekanku beberapa saat kemudian.

"Semua jenazahnya?"

"Aman, Ndan. Namun tangan milik salah satu jenazah hilang. Sepertinya habis digerogoti mayat."

Aku bergidik mendengarnya. Kemudian pria itu mengantarkan aku ke sebuah tempat dimana terdapat empat belas jenazah terkapar di tanah. Tubuh mereka nampak ditutupi kain putih. Terlihat bercak darah di bagian kepala mereka masing-masing.

"Sudah dieksekusi semua kan kepalanya?"

"Sudah, Ndan."

Aku melirik jam tanganku, masih pukul setengah tiga.

"Antarkan mereka ke Cileungsi untuk dimakamkan. Lalu mana yang satunya lagi?"

Viki kembali mengantarkan aku ke sebuah tenda darurat yang berdiri tak jauh dari situ. Di sana, aku mendapati salah satu rekanku sedang duduk di kursi kayu dalam posisi terikat.

"Ndan, maafkan saya," ucapnya pelan.

"Hei, tenang ya. Biar saya lihat luka kamu."

"Dimana?" tanyaku kepada Viki.

Viki pun menggunting bagian bahu seragam pria itu. Disana, terdapat sebuah luka yang menganga lebar.

"Ah," ucapku refleks setelah melihatnya.

"Arman," panggilku kepada pria itu.

"Iya, Ndan," jawabnya pelan sambil menunduk.

"Saya minta maaf. Namun, kamu sudah tahu kan konsekuensi dari satu luka akibat gigitan?" ucapku pelan sembari mengangkat kepalanya.

Pria berotot itu pun menangis.

"Saya minta maaf sekali lagi," lanjutku.

"Ndan," ucapannya terjeda.

"Silahkan, saya sudah siap. Namun saya mohon, tolong jaga Cindy. Putri tunggal saya itu masih kecil." Ia menangis tersedu-sedu.

"Lusa nanti, dia akan berulang tahun yang ke empat. Bahagiakan dia. Buatlah dia merasa nyaman sekalipun ibu dan ayahnya sudah berbeda alam dengannya," lanjutnya.

Aku memeluk Arman dengan erat. Pelukan yang sama hangatnya dengan pelukan saudara sendiri, kemudian mengelus punggungnya pelan.

Sesaat setelah tangisnya mulai mereda, aku memberi kode kepada Viki yang telah berdiri dengan sebilah pisau di belakang.

•••••

"Ah! Bagaimana sih?! Laporan kan sudah hampir selesai disusun! Kalau begini kan artinya kita harus mempelajari lagi jejak-jejak yang baru sampai ini!" keluh Andre kepadaku.

"Kalian kan tidak tahu kalau saat ini kami sudah telat menyetor laporan!" lanjutnya mencibir.

"Ya, mau bagaimana. Saya hanya dimintai tolong oleh Alpha," jawabku.

Aku memutuskan ikut ke Cileungsi untuk mengantarkan jenazah prajurit yang gugur sekaligus jejak yang dititipkan Zaki setelah memastikan seluruh rekanku dapat memastikan kekondusifan Jalur Sutera.

Kami tidak lama di sana. Setelah upacara penguburan yang singkat, kami pun kembali bersiap-siap untuk kembali ke Jalur Sutera sebelum hari mulai gelap.

Sesaat sebelum aku ingin keluar lagi, Elsa memanggilku. "Kak Azka!"

"Eh, Elsa.. Iya, ada apa ya?"

"Enggak apa-apa sih, manggil doang. Kakak mau keluar lagi ya?"

"Iya, betul. Banyak yang perlu aku urus di luar."

"Hmm.. Ya udah, hati-hati ya, Kak," jawabnya lesu.

Jejak: 31 Hari (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang