"Selamat siang," ucapku pada pria berkumis tebal itu.
"Selamat siang juga, Elsa. Silahkan duduk," jawabnya dengan nada ramah.
"Sebagai keperluan investigasi, saya mohon izin kepada kamu agar pembicaraan kita disini direkam. Apakah kamu bersedia?"
"Iya, Pak. Silahkan."
•••••
12 Mei 2022
Gunung Cikuray, Garut
--Nafasku mulai terengah-engah. Lari adalah satu-satunya yang dapat aku lakukan kala itu. Entah kemana kaki ini melangkah, yang aku sadari, aku tersesat dan buta akan arah.
Seharusnya aku tidak melawan perkataan mama sedari awal.
Seharusnya, saat ini aku sedang berbaring di rumah. Berguling-guling memeluk Teddy Bear-ku dan menikmati komik baru yang mama belikan.
Namun bodohnya, aku malah memilih mendaki Gunung Cikuray—yang notabene sedari awal, mamaku sudah melarang keras—secara diam-diam bersama ketiga sahabatku.
Dan disinilah aku sekarang;
Dingin, lapar, lelah dan tersesat. Sesekali aku tersentak kaget tatkala angin membuat dedaunan bergesek."Kayaknya mereka sudah pergi," gumamku dalam hati.
Lututku kini mulai gemetar. Setelah memastikan orang-orang gila itu sudah pergi, aku menyenderkan tubuhku pada sebuah pohon, terduduk dan berusaha mengumpulkan kembali tenagaku yang sangat habis.
Untunglah, cuaca malam itu cerah. Bulan yang merupakan satu-satunya media peneranganku masih bertengger gagah di atas sana. Setidaknya aku masih memiliki sesuatu untuk disyukuri.
Tiba-tiba sebuah benda dingin nan tajam menempel di leherku. Sekujur badanku sampai terasa lumpuh oleh karena rasa takut yang begitu menyelimuti diriku.
"Sssst.. Diem!" bisik seorang pria tepat di telinga kananku.
Kemudian ia mencengkram pergelangan tangan kiriku dari belakang, dan mendorongku dengan kasar. Dia membawaku ke arah yang sama sekali tidak aku ketahui. Saking takutnya, aku bahkan tidak berani menanyakan identitas pria itu dan kemana ia akan membawaku.
Aku juga tidak dapat melihat wujudnya karena ia mengancam akan menggorok leherku bilamana aku menoleh ke belakang. Sepanjang jalan, kami hanya diam. Jalur yang kami lalui terlihat begitu rapat oleh pohon dan rumput-rumput tinggi.
Setelah beberapa menit menanjak, akhirnya kami tiba di sebuah lahan sempit yang dikelilingi pepohonan rindang dan berbatasan langsung dengan bibir jurang. Aku mendapati satu buah tenda kemah berdiri disana.
"Silahkan kalo kamu mau lihat ke belakang."
Ternyata pria yang memboyongku masih sangat muda, mungkin seumuran denganku.
"Maaf kalo aku lancang. Tapi dalam keadaan kayak gini, aku nggak bisa sembarangan percaya sama orang," jelasnya.
Rasa takutku perlahan memudar. Ternyata orang ini tidak seburuk yang aku kira.
"Kamu tunggu sini. Kamu masih kuat lari kan?"
"Maksudnya?"
Ia pun berlalu dari hadapanku dan berjalan mengendap-endap menuju tenda tersebut. Setelah memperhatikan isi tenda tersebut dengan seksama, ia pun memberi kode kepadaku untuk mendekat.
"Ini kakak aku." Ucapnya pelan.
Seorang pria terbaring di tenda itu. Ia nampak menggigil dan sesekali meracau.
"Dia.."
"Iya, dia kena," jawabnya yang langsung memotong omonganku.
Kami berdua diam. Entahlah, aku merasa begitu canggung dalam posisi ini. Di sisi lain, aku pun merasa resah kalau-kalau kakaknya yang terinfeksi itu terlanjur berubah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jejak: 31 Hari (Tamat)
Khoa học viễn tưởngSaat pandemi mayat hidup melanda Indonesia, sekelompok orang di Pemerintah berusaha mengumpulkan informasi melalui jejak para penyintas yang pernah (atau masih) bertahan hidup. Sembari melakukan tindakan evakuasi, akhirnya mereka dipertemukan dengan...