6.6: Vera

80 23 0
                                    

01 Juni 2022
--

"Kak Azka!" panggil Elsa yang menghampiri aku di pabrik peluru.

"Iya, Sa? Kamu nggak kerja?" tanyaku bingung.

"Udah selesai dong, kan sebentar lagi jam makan siang."

Aku langsung melirik jam tanganku. Ternyata benar, sudah pukul setengah dua belas. Artinya, sebentar lagi alarm makan siang akan berbunyi.

Semenjak kematian Deddy, pertimbangan demi pertimbangan aku pikirkan matang-matang untuk menentukan tindakanku selanjutnya. Setelah mengumpulkan segenap keyakinan, akhirnya aku memberitahu Vivi bahwa aku dan Elsa akan menetap disini untuk beberapa waktu kedepan.

Alasannya sederhana; Risa tidak diperbolehkan pergi oleh Vivi. Lagipula kalaupun diperbolehkan, aku yakin kalau Risa pun tidak akan mau. Wanita itu sudah terlalu nyaman berada disini. Jabatan, fasilitas, keamanan, dan berbagai benefit lain telah menghipnotisnya untuk bergabung dengan kelompok yang menyebabkan kiamat di bumi ini.

Ketidakadaan Risa tentunya akan menyulitkanku untuk pergi. Hal ini disebabkan oleh rasa khawatir yang berlebihan terhadap keselamatan Elsa bilamana kami berada di luar. Aku tak henti-henti memikirkan skenario terburuk dimana sesuatu yang tidak mengenakkan terjadi kepadaku, dan akhirnya Elsa harus bertahan hidup sendirian di kerasnya alam saat ini.

Di sini, aku mendapatkan tanggung jawab untuk mengecek kualitas peluru yang diproduksi, mulai dari segi ketajaman, bobot, hingga tingkat kesolidan bahan timah lancip itu.

Adapula Elsa diberi tugas di bagian pengelolaan makanan. Tugasnya sederhana, ia hanya perlu membersihkan dan merapikan aula utama pada sebelum dan sesudah makan siang bersama. Tak heran bilamana tugasnya sudah selesai sekalipun waktu istirahat belum tiba.

Setiap harinya, kami yang bertugas sebagai non-militer operasional bekerja selama delapan jam mulai pukul setengah sembilan pagi sampai dengan setengah lima sore, dipotong satu jam istirahat pada pukul dua belas hingga pukul satu.

Di luar waktu kerja, kami bebas menikmati beberapa fasilitas ekstensi di tempat ini. Fasilitas tersebut berupa alat kebugaran tubuh, film, hingga area latihan menembak yang bebas dipakai oleh siapapun yang merupakan bagian dari organisasi ini.

Tak terasa, matahari sudah berada tepat di atas kepala. Artinya, makan siang telah tiba. Beberapa baskom yang diisi sup dan aneka sayuran telah berjejer di meja prasmanan. Persis seperti acara pernikahan, namun tidak ada musik dan nasi.

"Azka, kenapa nggak pakai ikan? Ayo, makan ikannya! Jangan makan sayur aja!" celetuk Vivi yang berjalan di depanku.

"Eh, iya. Terima kasih, nanti gue ambil, ya.." jawabku pelan.

Entahlah apa yang aku rasakan saat ini. Marah? Marah kepada siapa? Vivi, atau diriku sendiri? Atau jangan-jangan aku sedang merasa nyaman? Jujur, aku tidak dapat memungkiri rasa nyaman itu.

Setelah beberapa lama hidup dalam rasa takut dan teror yang tak kunjung henti, tempat inilah yang pertama kali membawaku pada suasana rumah yang sebenarnya.

Tempat dimana sistem produktifitas bekerja tanpa harus mempertaruhkan nyawa, tempat dimana aku bisa tidur di kasur empuk, hingga tempat dimana aku dapat mandi sampai dua kali sehari.

Namun tetap, tak bisa kupungkiri bahwasanya aku sedang berada di dalam sarang penyamun.

Acara makan siang telah selesai. Orang-orang nampak menaruh piring bekasnya dengan tertib di tempat yang telah disediakan.

Kedisiplinan yang diterapkan berbarengan dengan ancaman hukuman berat oleh Vivi membuat setiap individu disini mampu disiplin. Andai saja masyarakat negara ini sedari dulu bisa berlaku seperti ini, maka dapat dipastikan bahwa negara ini akan mengalami kemajuan yang pesat.

Aku kembali ke area kerjaku dan mendapati satu wagon peluru yang baru selesai produksi.

"Banyak juga yang harus gua cek.." batinku.

Akupun mendekati wagon tersebut dan mengutip satu persatu peluru di dalamnya. Anehnya, pekerjaan ini aku lakukan sepenuh hati sekalipun tidak ada yang memantau. Apakah aku telah sama seperti Risa; nyaman di tempat ini? Setiap peluru kupandangi dengan detil. Jariku pun bermain peran yang cukup signifikan karena aku harus mengandalkannya untuk meraba setiap peluru agar sesuai dengan standar yang telah Vivi terapkan.

"Azka, monitor, Azka!" ucap seorang wanita melalui HT yang mereka berikan kepadaku.

"Masuk, Vi!" jawabku.

"Kita kedatangan tamu, sepertinya teman kamu. Bisa bantu saya untuk interogasi?"

Omongan Vivi barusan sukses membuatku bertanya-tanya.

"Siapa?" batinku penasaran.

Akupun langsung mengambil langkah seribu menuju bagian depan bangunan.

•••

"Wah, gila tuh si Zaki! Kok bisa gitu sih, Ndro?" tanyaku setelah Hendro dan pacarnya telah lolos seleksi.

"Saya sendiri tidak tahu, Ndan. Saya betul-betul kecewa sama dia," jawab Hendro lesu.

"Ndro, nggak usah panggil gue dengan sebutan 'Ndan' lagi. Cukup panggil nama gue; Azka. Semuanya udah nggak sama kayak dulu, Ndro," jelasku.

"Oh, iya. Siap, Azka."

"Ndro, lihat tuh. Cewek lo udah akrab aja sama Elsa! Hahaha.."

"Dia bukan cewek gue. Dia sahabat gue."

"Sahabat tapi sayang kali?"

"Jiah, aneh-aneh aja, lo!"

Waktu yang sudah menunjukkan pukul lima sore membuat kami semua bisa mengobrol dengan santai. Disini, kegiatan makan bersama hanya dilaksanakan sekali pada siang hari.

Sorenya, orang-orang akan mengambil sendiri jatah makanan di sebuah ruangan yang masing-masing piringnya telah ditempeli nama pemiliknya. Metode ini lagi-lagi membuatku takjub akan kedisplinan mereka. Tidak pernah ada satu pun kasus kehilangan makanan yang tersiar saat jam makan malam.

Setelahnya, Elsa pamit untuk mandi. Sementara Hendro pun bersiap untuk menunaikan Sholat Maghrib. Aku kagum melihat rekanku ini, dalam keadaan begini sekalipun, ia tak pernah lupa dengan penciptanya. Setelahnya, tinggallah aku dan Vera di ruangan ini.

"Azka. Aku mau nunjukkin sesuatu. Tapi kamu harus tutup mulut," ucap Vera memecah keheningan.

"Hah?" tanyaku bingung.

Ia pun nampak melepas ritsleting celana jeans-nya, kemudian memelorotkan celananya pelan hingga celana dalamnya menyembul keluar. Mataku yang sedari tadi dipenuhi tatapan nafsu seketika langsung terbelalak melihat sebuah koreng yang menyerupai deretan gigi di pahanya.

"Tanggal 29 kemaren. Sampai sekarang, aku nggak kenapa-napa. Enggak demam, dan enggak ngerasa sakit," jelasnya.

"Heh! Kamu jangan keenakan liatin paha!" bentak Vera tiba-tiba sembari memasang lagi celananya.

"Ver, jangan-jangan, elo terkontaminasi bakteri itu?" tanyaku yang langsung teringat akan satu hal.

"Bakteri apa??" Tanya Vera balik.

Kemudian aku bercerita panjang lebar tentang almarhumah Rina, yang ternyata memiliki afiliasi dengan Dedy dan Sembah Ibu Bumi.

Sebentar! Aku teringat akan satu hal lagi. Suami dan anak-anak Rina, mereka tidak ada disini. Aku bahkan tidak melihat batang hidung mereka saat beberapa kali ada perkumpulan di aula utama maupun makan siang.

Artinya, mereka tidak dimanfaatkan oleh Vivi bukan? Namun bagaimana nantinya saat mereka telah bermutasi? Apakah mereka mampu mengendalikan kekuatan itu ke arah yang berguna? Atau justru sebaliknya?

Aku bergidik ngeri membayangkannya. Aku hanya mampu berharap agar semoga saja bakteri itu tidak membuatnya bermutasi, melainkan membunuhnya. Semoga saja tubuhnya tidak kuat.

"Aku nggak tahu apa-apa tentang itu, Demi Allah!" responnya setelah aku menceritakan hal itu.

"Aku juga nggak tahu kenapa aku bisa kebal dari infeksi ini. Tapi yang pasti, cairan dalam tubuh aku lah yang mampu menjadi petunjuk untuk menciptakan vaksin. Aku punya imunitas yang melebihi orang normal," jelasnya melanjutkan.

Jejak: 31 Hari (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang