3.6: Pertemuan

144 30 0
                                    

Setelah militer mendapatkan instruksi dari Plt. Gubernur Jawa Barat, aku diangkat oleh Dandim 0611/ Garut Letkol Inf. Ahmad Irwansyah untuk mewakili dirinya yang sebelumnya diutus menjadi Komandan Tim Giant.

Jujur, awalnya aku merasa heran. Pertimbangan apa yang beliau ambil dengan menunjuk aku yang masih berpangkat Lettu? Biar bagaimanapun, masih banyak Mayor maupun Kapten di luar sana yang seharusnya ia pilih ketimbang aku yang masih kacangan.

Namun setelah mendengar kabar dari beberapa sumber yang menyatakan Tim Foxtrot juga memilih wakil berpangkat Letda, aku menyimpulkan bahwa wakil muda adalah salah satu bagian dari strategi yang pemerintah terapkan—walaupun sampai sekarang aku masih belum memahami maksud dan tujuannya—.

Tanggal 12 Mei malam, kami semua bergerak menuju area steril yang ditunjuk oleh Pemerintah, Gunung Cikuray. Setelah mempertimbangkan beberapa aspek, akhirnya kami menetapkan kawasan Pos Pemancar sebagai markas utama kami mengingat kontur alamnya yang tinggi dan lengang dapat mempermudah kontrol kami terhadap pendatang maupun mayat dari bawah sana.

Dini harinya, konvoi puluhan kendaraan militer tersebar di beberapa titik Kabupaten Garut guna menjemputi warga yang masih bertahan hidup. Setelah perlawanan yang cukup berat untuk menumbangkan mayat-mayat itu, kami berhasil mengumpulkan setidaknya empat ratusan warga sipil dari beberapa wilayah dan memutuskan untuk menghentikan proses evakuasi untuk menghemat amunisi.

Tepat pukul enam pagi, kami bertemu dengan rombongan Militer dari Sumedang, Bandung, dan Tasikmalaya yang sedang menuju kawasan Pos Pemancar. Kami pun memutuskan untuk bergerak bersama menuju area tersebut.

Sayangnya, kami menemui kendala saat tiba di beberapa ratus meter sebelum pintu masuk area Gunung. Jalan yang terlalu sempit untuk kendaraan militer membuat kami harus berjalan kaki dan hanya memasukkan beberapa mobil jenis pick-up ke atas sana.

Mengawal ratusan orang ternyata bukanlah perkara mudah. Jumlah pengungsi dari Garut yang cukup banyak nantinya harus berbagi ruang dengan sipil yang diajak serta dari Sumedang dan Bandung. Hanya Tasikmalaya yang tidak melakukan evakuasi terhadap warganya. Alasannya, logistik, persenjataan dan anggota mereka sangat terbatas sehingga mereka harus pintar-pintar mengelola persediaan.

Sambil menahan kantuk, kami menyusuri jalan yang diapit pepohonan rindang. Sesekali tembakan dilepaskan tatkala beberapa mayat berlari ke arah kami. Sekitar beberapa menit, akhirnya kami sampai di pintu masuk area Gunung dan menepi disitu.

"Kita tidak mungkin membiarkan mereka semua jalan kaki, Ndan!" ucapku kepada Komandan Ahmad.

"Iya, terlalu berisiko juga untuk anggota kita sendiri. Kamu ada solusi?" balas pria itu sembari bertanya balik.

"Bagaimana kalau bolak balik menggunakan pick-up?"

"Hmm.." Ia menimbang-nimbang saran tersebut.

"Cek dulu bahan bakarnya." lanjutnya.

"Siap laksanakan, Ndan!" Aku pun memastikan ketersediaan bahan bakar pada dua belas mobil pick-up yang kami parkirkan di sana.

"Mohon izin koordinasi, Ndan! Dengan asumsi satu mobil pick-up bisa mengangkut dua belas penumpang, maka satu rit bisa membawa seratus empat puluh empat penumpang. Bensin mungkin hanya cukup empat rit, yang dalam artian hanya bisa menampung lima ratus tujuh puluh enam orang. Sementara jumlah orang tujuh ratusan," laporku kepada Komandan Ahmad.

"Kamu harus pertimbangkan juga cadangan bensin di mobil pick-up, sebagai jaga-jaga bilamana nanti kita harus turun dengan cepat," jawab pria tersebut.

"Lalu bagaimana, Ndan?" tanyaku lagi.

"Mobil bak hanya boleh 1 rit, setelah itu semuanya di-standby-kan di atas. Seleksi seratus empat puluh empat orang yang terdiri dari anak kecil, lansia, dan wanita hamil. Naikkan mereka ke mobil bak, lalu sisanya berjalan kaki," ucapnya menginstruksikan.

Jejak: 31 Hari (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang