4.1: Selayang Pandang

106 26 0
                                    

18 Mei 2022
Cileungsi, Kabupaten Bogor
--

"Kak Azka!" Aku baru saja keluar dari pagar Kantor Pemerintah ketika gadis itu memanggilku.

"Iya, Elsa?"

"Dari mana? Aku cariin rupanya kamu disini. Abis tugas ya, Kak?"

"Iya, aku habis ngasih kesaksian ke Tim Investigasi tentang hal-hal apa aja yang terjadi di Garut dan waktu perjalanan kita kesini," jawabku.

"Oh, begitu, terus gimana kak?"

"Gimana apanya?"

"Tadi di dalem, gimana?"

"Ya nggak gimana-gimana dong, Sa. Aneh deh kamu!" jawabku sembari tertawa.

"Oh iya, ada apa ya ngomong-ngomong?" tanyaku kemudian.

"Nggak ada apa-apa sih, Kak, hehehe," jawabnya sambil nyengir kuda.

"Yeh, aneh-aneh aja kamu ini!"

"Kak, pindah yuk. Masa ngobrol di tengah jalan gini," usulnya.

Kamipun berjalan kaki menuju ke arah Komplek Kenari Mas dan kemudian melanjutkan obrolan di sana.

"Kak, kira-kira kita sampe kapan ya disini?"

"Wah, kurang tau, Sa. Tapi yang pasti, nanti kita bakal pindah."

"Pindah? Pindah ke mana kak?"

"Maluku Utara."

"Hah?! Jauh banget kak!" Aku hanya tersenyum.

"Terus nanti kita semua naik apa kesananya?"

"Pesawat. Jadi gini, lusa nanti.."

Tiba-tiba, omongan kami dipotong oleh suara yang keluar dari HT.

"Beta, Alpha Monitor!" panggil Zaki.

"Masuk, Ndan!"

"10-2?"

Aku diam beberapa detik.

"Kenari, Ndan. Ada urusan."

"86, bisa merapat ke markas? Kita punya acara."

""

Akupun kembali mengaitkan HT tersebut di celanaku.

"Sa, kita lanjut lagi nanti ya. Aku dipanggil komandan," pamitku pada Elsa.

•••••

"Hari ini, kita semua telah melebur menjadi Tim Pancasila. Jadi mulai sekarang, saya tidak mau lagi mendengar ada istilah "Orang Foxtrot" dan "Orang Giant". Kita semua kini sudah menjadi satu," ucap Zaki membuka omongan.

"Selain itu, saya juga mau semuanya saling kenal satu sama lain, tanpa terkecuali. Karena kita semua adalah saudara di sini!" lanjutnya.

Kini, semua orang disana bertepuk tangan.

"Sekarang, mari angkat gelas masing-masing."

Semua orang kini mengangkat gelas yang berisi bir non-alkohol.

"Untuk semua prajurit yang gugur di medan perang," ucapnya.

"Untuk semua prajurit yang gugur di medan perang," jawab kami serempak, lalu kami menenggak minuman tersebut.

"Azka."

"Siap, Ndan!"

"Saya mau bicara."

Ia pun membawa aku ke ruangannya, kemudian menutup pintu.

"Apakah kamu sudah mengetahui skenario Operasi Jalur Sutera?"

"Mohon maaf, belum, Ndan."

"Baik, jadi rencananya begini."

Ia menyulut sebatang rokok.

"Pertama, jumlah personil Tim Pancasila keseluruhan yaitu sebanyak empat ratus lima puluh satu personil, yang tiga ratus tiga puluh enam diantaranya merupakan peleburan eks Tim OSS-Foxtrot dan Tim Giant, serta seratus lima belas sisanya merupakan eks Tim Markas Pusat Foxtrot."

"Formasi kedepannya akan tetap sama, seratus lima belas personil ini akan tetap disiagakan untuk mengamankan area steril. Artinya, hanya tiga ratus tiga puluh enam tadi yang akan diutus keluar."

Ia menjeda lagi ucapannya sembari membentuk huruf O dari asap rokok yang keluar melalui mulutnya.

"Rencananya begini, pada 20 Mei pagi, sebanyak enam puluh personil dengan dua truk akan diturunkan pada kloter pertama untuk langsung menuju ke Halim. Karena kita baru mendapat informasi dari Pak Deddy kalau Tim Delta dari Palembang sudah mendarat di sana."

Aku begitu senang mendengar berita tersebut, namun juga heran. Bagaimana mungkin Tim Delta bisa mencapai Halim tanpa adanya koordinasi dengan seorang manusia pun di sana?

Zaki nampaknya membaca raut wajahku yang bingung, ia pun menjelaskan.

"Asumsi dari Pak Deddy, sepertinya mereka nekat dalam melakukan pendaratan. Untungnya mereka berhasil mendarat dengan baik sekalipun tanpa koordinasi dengan pihak ATC Halim."

Aku mengangguk-angguk mendengar penjelasannya.

"Nah, nantinya enam puluh personil itu akan berkoordinasi dengan anggota Tim Delta untuk mempersiapkan kelayakan beberapa pesawat komersial beserta stok avtur di gudang Halim, serta melakukan pengamanan maksimal pada dinding bandara. Waktu yang kita berikan untuk mereka menyelesaikan semua itu adalah satu hari. Karena subuh pada tanggal 21, tiga ratus enam personil yang tersisa akan melakukan pembersihan di sepanjang Jalan Alternatif Cibubur."

"Selain melakukan pembersihan, kita juga akan memasang kawat besi di seluruh jalan akses menuju Jalan Alternatif Cibubur, khususnya di beberapa titik perempatan, untuk memaksimalkan keamanan jalur dan mencegah mayat-mayat yang datang dari luar memasuki jalur. Sama seperti sebelumnya, kita memberikan waktu sebanyak satu hari dalam pelaksanaan ini."

"Lalu pada hari ketiga, tiga ratus enam personil tadi melakukan pengawasan serta pengamanan di jalur, karena rombongan evakuasi pertama akan menuju Halim."

"Sebentar, Ndan. Jadi, jalur yang diamankan hanya Jalan Alternatif Cibubur?"

"Betul. Jalur itulah yang nantinya akan kita namakan sebagai Jalur Sutera. Setelah rombongan evakuasi keluar dari Cibubur, mereka akan dikawal oleh dua puluh empat tentara yang sudah menunggu di ujung jalur steril menuju Halim. Tentara-tentara itu nantinya akan kita bekali sepeda motor."

Aku kembali mengangguk sebagai tanda bahwa aku dapat memahami maksud omongannya.

"Begitu terus setiap harinya, satu persatu rombongan akan bergantian menuju Halim. Tiap rombongan terdiri dari enam truk dan dua bus. Setiap kali satu rombongan telah mencapai Halim, rombongan selanjutnya akan keluar dari Cileungsi. Lalu rombongan yang di Halim tadi kembali ke Cileungsi untuk mengangkut rombongan lainnya."

"Harapan Presiden, evakuasi secara keseluruhan dapat selesai pada tanggal 24 Mei, agar gelombang penerbangan pertama dapat lepas landas pada 25 Mei."

"Bagaimana? Sudah paham?"

"86, tersalin, Ndan!" Jawabku.

"Nah, nantinya saya yang akan memimpin enam puluh personil di kloter pertama. Lalu kamu akan memimpin tiga ratus enam personil saat pembersihan jalur. Sanggup?"

"86, Ndan! Saya siap!"

"Bagus, kalau begitu, silahkan kamu kembali dengan rekan-rekan di luar, saya nanti menyusul. Ada beberapa hal yang perlu saya selesaikan disini."

"Siap, Ndan. Terima kasih."

Aku pun bangkit berdiri dan berjalan menuju pintu.

"Eh, Azka!" panggil Zaki sesaat sebelum aku membuka pintu.

"Siap, Ndan?"

"Tolong jaga mulut kamu rapat-rapat akan setiap agenda kita. Jangan sampai siapapun dari sipil mengetahui rencana ini, karena mereka tidak berhak. Mengerti?" ucapnya dengan tegas.

"Baik, Ndan," jawabku pelan.

Jejak: 31 Hari (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang