3.7: KS

119 28 0
                                    

"Terlalu banyak," tolakku tegas pada anggotaku.

"Lalu bagaimana, Ndan?"

"Seleksi," jawabku cepat.

"Massa ada sebanyak ini. Kita nggak akan bisa mengontrol mereka, Ndan," sahut yang lain.

"Maka kita tunjukkan kalau kita kuat!"

•••••

15 Mei 2022
Cilegon, Banten
--

"Persiapan lepas landas!" ucap pilot yang membawa kami kepada pilot di helikopter yang satunya.

Pagi harinya, kami melanjutkan operasi setelah sebelumnya mengebumikan jenazah Rehan di lahan itu. Kawasan pertama yang akan kami sisir adalah Cilegon, karena kami akan melandaskan pesawat di salah satu lahan terbuka yang terletak di komplek Krakatau Steel.

Beberapa belas menit berlalu, kami hampir sampai di komplek Krakatau Steel. Kemudian salah satu personil yang berada di posisi dekat pintu helikopter memanggilku.

"Ndan, coba lihat" ucapnya.

"Itu KS kan?" tanyaku kepadanya.

Ratusan sosok di bawah sana bukanlah mayat, melainkan penyintas. Mereka terus menerus melambaikan tangan ke arah kami dengan harapan agar kami melihat keberadaan mereka.

"Seluruh personil, persiapan pendaratan!" tegasku melalui HT.

"MOHON UNTUK MENGOSONGKAN AREA PENDARATAN!" ucapku melalui pengeras suara disaat helikopter kami semakin menurun ke bawah.

Angin kencang yang berasal dari baling-baling seakan menyisir rerumputan di lapangan itu. Beberapa detik kemudian, helikopter mendarat dengan mulus.

Satu persatu dari kami melompat turun dengan posisi sigap. Beberapa memencar mengelilingi area pendaratan kami guna memastikan keamanan lokasi.

"Ada pemimpin disini? Saya mau bicara," ucapku sembari menodongkan senjata ke arah mereka.

"Tidak ada, Pak. Kami semua kolektif disini," jawab salah seorang penyintas.

Sesekali, letupan senjata terdengar senapan milik personilku yang sedang merubuhkan beberapa mayat yang menghampiri kami. Sepertinya mereka terdistraksi oleh bisingnya suara baling-baling helikopter.

"Ayo berangkat, Pak!" ucap seorang wanita yang sedang menggendong bayi.

"Betul! Disini tidak aman!" sahut yang lain.

Kemudian sahut-sahutan itu merembet hingga menimbulkan suara yang lebih bising yang tentunya memancing lebih banyak mayat ke arah kami.

"Harap tenang! Suara bising kalian dapat memancing lebih banyak mayat!" teriakku melalui pengeras suara.

Suasana perlahan hening.

"Begini, sebelumnya, kami tidak mampu mengangkut kalian semua, setidaknya untuk saat ini."

Lagi-lagi mereka semua sahut menyahut hingga suara yang tak kalah bising dari sebelumnya kembali menggema di udara.

"Kami perlu membawa beberapa orang disini yang memiliki kemampuan khusus di bidang medis, pendidikan, dan mekanik, untuk ditampung di area steril pemerintahan. Setelah itu, kami akan kembali dan menjemput kalian semua," teriakku.

"Yang kalian perlukan disini hanyalah kooperatif, kami akan memaksimalkan segala upaya agar kalian selamat. Namun untuk sekarang, hanya orang-orang yang memiliki kemampuan khusus seperti yang sebelumnya saya sampaikan yang dapat ikut," lanjutku.

Dorong-dorongan massa dari belakang yang disertai lemparan batu seakan menunjukkan ketidaksetujuan mereka terhadap pernyataanku barusan. Orang-orang itu menuntut kami agar sesegera mungkin mengevakuasi mereka keluar dari tempat itu. Melihat keadaan yang mulai tidak kondusif, seluruh personilku segera bersiap dalam posisi siaga.

"Kami mohon kerjasamanya, Bapak dan Ibu!" teriakku sekali lagi.

Sayangnya, mereka semakin beringas. Teriakan penolakan dari mereka semakin kencang sehingga mayat-mayat yang menuju ke arah kami pun bertambah banyak.

"Ndan, bagaimana?" tanya salah seorang personilku.

"Terlalu banyak," tolakku tegas.

"Lalu bagaimana, Ndan?"

"Seleksi," jawabku cepat.

"Massa ada sebanyak ini. Kita nggak akan bisa mengontrol mereka, Ndan," sahut yang lain.

"Maka kita tunjukkan kalau kita kuat!"

Tiba-tiba, seorang pria dengan parang keluar dari kerumunan dan berlari menuju ke arah kami. Pria tersebut ambruk seketika setelah peluru milik anggotaku bersarang di kepalanya.

Maka semakin beringaslah semua orang. Beberapa oknum memprovokasi massa untuk menyerang kami semua.

"Saudara kita telah dibunuh oleh peluru aparat! Kita balaskan darah beliau!"

"Eksekusi sampai mereka semua patuh!" ucapku tanpa gentar.

Kini, peluru-peluru yang seharusnya dipakai untuk merubuhkan mayat hidup telah dilepaskan untuk melumpuhkan siapapun oknum yang berusaha menyerang kami. Untungnya, rombongan massa tersebut tidak solid. Hanya beberapa dari mereka yang berani melakukan kontak fisik. Dalam waktu singkat, kami kembali menguasai keadaan.

"Kalian tidak punya pilihan. Kami berusaha melakukan langkah terbaik untuk menyelamatkan sebanyak mungkin orang. Namun kalian memilih melawan hingga kami terpaksa menggunakan tindakan tegas terukur," ucapku.

Beberapa anggotaku segera memunguti senjata tajam milik massa yang telah mereka lemparkan ke tanah sebagai tanda menyerah.

"Siapa di antara kalian yang memiliki kemampuan medis?" tanyaku.

Beberapa orang mengangkat tangan. Anggotaku pun masuk ke dalam kerumunan dan membawa mereka.

"Siapa di antara kalian yang merupakan seorang tenaga pendidikan?" Tidak ada satupun yang mengangkat tangan.

"Siapa di antara kalian yang merupakan tenaga mekanik?" Kali ini, belasan orang mengangkat tangan. Cukup banyak dari yang sebelumnya.

Total dua puluh orang tadi kami masukkan ke dalam helikopter.

"Kami masih punya lima belas kuota. Silahkan, bagi anda yang memiliki anak di bawah umur 13 tahun, agar membiarkan anak-anak kalian ikut serta dengan kami."

Hanya ada delapan anak yang dilepas oleh orang tuanya. Kebanyakan dari mereka tidak ingin terpisah dengan buah hatinya.

"Pak, apakah kalian akan betul-betul kembali menjemput kami?" tanya seorang penyintas sesaat sebelum kami kembali lepas landas.

"Jika Allah berkenan, kami akan memaksimalkan setiap energi yang kami miliki," jawabku.

Kami pun lepas landas dari tempat itu dan memilih untuk kembali ke Pandeglang dikarenakan ketersediaan amunisi kami mulai menipis setelah melumpuhkan mayat-mayat yang berusaha mendekati kami tadi.

Beberapa orang nampak menangis karena mesti terpisah dengan sanak saudaranya. Namun inilah pilihan yang terbaik. Kami tidak mungkin mengambil risiko, bukan?

Lebih baik kami mengorbankan seribu nyawa agar seratus ribu nyawa dapat terselamatkan.

Jejak: 31 Hari (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang