"Azka! Elsa! Sini!" teriak Deddy setelah aku dan Elsa keluar dari tenda.
Aku mendapati Deddy dan Risa dengan pakaian yang penuh dengan debu. Dari bangunan-bangunan yang telah hancur, Ilham berlari dengan terpincang-pincang.
"Ndan! Tunggu kami!" pinta Ilham. Dari belakangnya, terlihat sosok Andre yang mengenakan ransel hitam. Ransel itu terlihat begitu penuh. Mereka pun menghampiri kami berempat.
"Cepat!" teriakku. Aku langsung melingkarkan tangan Ilham di pundakku, lalu menyeretnya agar bergerak lebih gesit.
Separuh wajah Ilham dipenuhi darah yang mengalir dari kepalanya. Sesekali, ia meringis kesakitan saat goresan-goresan di tangannya tak sengaja bergesekan dengan tubuhku.
"Saya duluan, saya ambil mobil dulu!" celetuk Andre kemudian. Ia langsung berlari ke arah SMPN 1 Cileungsi sebelum kami menjawabnya.
Kami terus bergerak. Sesekali, desing peluru yang entah darimana datangnya terdengar sahut menyahut seiring dengan bangunan-bangunan yang dibidik roket hingga hancur.
Orang-orang berlarian tanpa arah, beberapa langsung ambruk tatkala tembakan yang membabi buta bersarang di tubuh mereka. Anggotaku yang ada di sana nampak berjuang mati-matian memukul mundur para penyerang kami. Namun persenjataan mereka yang lebih canggih sukses membuat satu persatu dari kami gugur.
Beberapa belas meter dari SMPN 1 Cileungsi, mobil Carry yang dikendarai Andre nampak berjalan mundur mendekati kami.
"Masuk!" teriak Andre dari kursi kemudi.
Deddy langsung membuka pintu belakang mobil tersebut dan membantuku mengangkat Ilham.
"Pak, tunggu! Kami ikut, Pak!" teriak seorang pria yang berlari bersama keluarganya.
"Tinggalkan mereka! Kita harus cepat!" tegas Pak Deddy kepada Andre setelah kami semua naik.
"Tidak! Tunggu mereka, bangsat!" maki Elsa tiba-tiba.
"Ya, tunggu mereka. Berhenti menjadi bajingan, Ded!" sahutku. Aku pun langsung melompat turun dan menghampiri mereka, kemudian memprovokasi mereka supaya berlari lebih cepat.
Dua anak yang taksiranku berusia di bawah 10 tahun, satu laki-laki dan satu perempuan, beserta ayah dan ibunya kini sudah berada tepat di belakang mobil.
"Hati-hati, ya," ujar Ibunya tiba-tiba.
"Rin! Ayo naik! Kamu nunggu apa?!" jawab suami dari wanita itu.
Beberapa puluh meter di belakang sana, kami terdapat puluhan mayat yang berlari ke arah kami.
"Enggak," jawab singkat wanita itu seraya menggeleng. Matanya tiba-tiba berkaca-kaca.
Kemudian ia menyingkap sedikit kaos yang ia kenakan. Terlihat luka terbuka di sisi sebelah kanan perutnya yang sedikit buncit. Dia tergigit.
"Ya Allah.. Rin," kini suami dan anak-anaknya ikut menangis. Mereka begitu kaget sekaligus marah begitu mengetahui kenyataan dimana sang ibu telah terinfeksi.
Wanita itu tersenyum dengan manis. Senyuman yang penuh dengan sendu dan kepasrahan. Beberapa saat kemudian, ia berlari menjauh dari tempat dimana kendaraan kami berhenti.
Melihat itu, suami dan anak-anaknya langsung bereaksi. Mereka menjerit-jerit sembari berusaha menyusul wanita itu. Namun aku langsung bergerak cepat dan menutup pintu belakang.
Elsa dan Risa pun tampak menenangkan mereka. Melihat jarak dari mayat-mayat tadi yang semakin dekat dengan kami, Andre langsung tancap gas dari tempat itu.
Baru beberapa detik kendaraan melaju, tiba-tiba Andre mengerem mobil yang membawa kami.
"Anjing, gua lupa!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Jejak: 31 Hari (Tamat)
Ciencia FicciónSaat pandemi mayat hidup melanda Indonesia, sekelompok orang di Pemerintah berusaha mengumpulkan informasi melalui jejak para penyintas yang pernah (atau masih) bertahan hidup. Sembari melakukan tindakan evakuasi, akhirnya mereka dipertemukan dengan...