6.2: Ajakan Berkhianat

71 23 0
                                    

Vivi sempat bengong beberapa saat, sebelum akhirnya membuka pertanyaan.

"Dimana dia?"

"Dia siapa??!"

"Presiden."

"Waktu itu kan gue udah bilang ke anak buah lo! Presiden udah gugur!"

"Yakin?" tanyanya penuh selidik.

"Ya Allah, Demi Allah!" ucapku berbohong. Tentu saja aku berdosa setelah mengucap saksi dusta itu. Namun apa boleh buat? Lebih baik aku mati tersambar petir daripada harus memberitahu keberadaan Presiden.

"Oke. Kalo begitu, kemana mengarahnya pesawat yang dari Halim?" tanyanya lagi. Pertanyaan itu sukses membuatku diam selama beberapa saat.

"Nggak tahu!" jawabku ketus.

"Jangan bohong! Kamu ini wakil Komandan! Nggak mungkin kalo kamu nggak tahu!" bentaknya. Lagi-lagi aku heran, darimana dia mengetahui kalau aku ini Wakil Komandan? Deddy, kah?

"Samarinda!" bohongku lagi.

"Terima kasih. Sepertinya kamu sudah mulai minat berbisnis ya?" ujarnya dengan senyum laknat itu lagi.

"Hei, kalo saya lepasin ikatan kamu. Kamu bisa janji supaya nggak aneh-aneh kan?"

Aku mengangguk dengan cepat. Jujur, ikatan ini mulai membuat tanganku kebas. Aku tidak mungkin melewatkan kesempatan ini.

"Ada puluhan senjata yang mengarah ke kamu. Jadi kalo kamu mau diri kamu dan teman-teman kamu mati konyol, ya silahkan aneh-aneh," ancamnya.

Tanganku langsung kukipas-kipaskan setelah ikatan itu terlepas. Aku pun kembali mendengarkan omongannya.

"Saya bisa ngelepas kalian, tapi antarkan kami ke Halim."

"Anterin? Buat apaan segala pake kami anterin?? Bukannya kalian bisa jalan sendiri?!"

"Kamu ini banyak tanya ya?! Mau apa enggak?!"

"Mau. Tapi gue mau tahu juga, kenapa kalian harus kami anterin?"

"Oke. Begini. Pertama, kalian lepas dari sini, tapi kalian nggak boleh balik ke Halim. Kenapa? Karena kalian udah ngeliat saya; si pemimpin. Saya nggak mau identitas saya terbongkar. Nah, kalo kalian datang ke sana bersama kami, otomatis kalian bakal dicap sebagai pengkhianat. Artinya, kalian nggak akan lagi diterima di sana," jelasnya.

"Kok lo egois banget sih??! Gini deh, biarin kami gabung ke rekan-rekan kami. Kami nggak akan bocorin hal ini kok.." jawabku berusaha persuasif.

"Gabung kemana? Kami ke Halim mau membantai mereka!"

"Lah, terus buat apa takut identitas lo bocor kalo memang mereka mau lo bantai?!"

"Itu bandara. Setiap hari, kalian bakal bergantian terbang ke Samarinda kan? Potensi disaat kita nyerang yang bersamaan dengan berangkatnya pesawat pasti ada," ujarnya.

"Gak masuk akal alasan lo!" sanggahku.

"Kamu mau apa enggak?"

Aku terdiam. Jujur, akal sehatku mulai mendorong agar aku menyetujui hal itu. Meskipun tindakan ini akan membuatku menjadi pengkhianat, namun tetap saja; tanpa atau dengan kami, mereka akan tetap menyerang Halim. Sementara kalau aku menolak, sudah dapat dipastikan kalau kami semua akan dibantai disini.

"Oke, gue mau," jawabku pelan.

"Tapi setelah ini, kalian nggak akan gangguin kami lagi kan?" tanyaku memastikan.

"Ya, Azka. Setelah ini, kalian bebas. Kalian mau kesini pun akan kami sambut. Kalian berpapasan dengan kami di jalan akan kami sapa. Silahkan mengembara, dan nikmati dunia yang penuh kebebasan ini!" jawabnya.

"Tapi.." ucapnya lagi.

"Hanya kamu, Elsa, dan Deddy. Risa tetap disini," pungkasnya. Bagai tersambar petir, aku langsung menyahut kalimat terakhirnya.

"Hah? Kenapa?!"

"Saya suka Risa. Kelak, dia akan jadi orang hebat disini. Kalo kalian kangen dia, kalian kan bisa mampir kesini? Menginap pun akan kami sambut," jelasnya. Nada bicaranya kali ini terdengar lebih bersahabat.

"Sebentar.." aku teringat akan satu hal.

"Kalo kalian emang mau bebasin kami, kenapa lo nyuruh mereka ngebunuh Andre?!" tanyaku dengan nada yang meninggi. Perlahan, emosiku kembali naik setelah kembali teringat akan kejadian beberapa belas menit lalu.

"Saya tidak suka dengan dia," jawab Vivi datar.

Kemudian wanita itu mendekati tubuh Andre yang kini sedang menggeram ganas. Ya, Andre telah bangkit beberapa menit lalu karena ia meninggal dalam keadaan kepala yang "sehat".

"Kalian semua kooperatif sebelum kami ikat. Kalian mau menyerahkan semua senjata kalian."

"Tapi ini.." Vivi pun mengambil sepucuk pistol revolver dari kantong jaket Andre.

"Entah kenapa, insting saya kuat mengatakan bahwa kamu sendiri pun tidak tahu kan kalo dia memiliki ini?" ucapnya sambil tertawa kecil. Aku terkejut melihatnya. Ucapan Vivi benar. Namun sekali lagi, bagaimana wanita ini bisa tahu? Apakah dia memiliki indra keenam?

"Azka. Terima kasih atas kerjasama yang kamu terima. Sekarang, makanlah. Kami juga punya kamar mandi kalo kamu mau bebersih," pungkasnya, kemudian berlalu dari hadapanku.

•••

"Apa yang baru saja aku lakukan?" gumamku dalam hati.

Pancuran air hangat itu terus mengguyur tubuhku yang tertegun. Tatapanku kosong, pikiranku kalut merenung akan rentetan peristiwa yang baru saja terjadi.

"Ya Allah, dengan menikmati ini, apakah aku bisa dikategorikan sebagai pengkhianat?"

Wajah mereka muncul. Kedua rekanku yang telah gugur itu menatapku nanar.

"Bagaimana kalau anda yang selanjutnya, Ndan?" tanya Ilham. Wajahnya membiru, seakan-akan tidak ada darah yang mengalir disana.

"Entahlah.." jawabku pelan.

Ilham tersenyum kecut. Kemudian ia menertawakanku, pelan namun penuh dengan emosi; antara marah atau sedih.

"Diamlah, Ham," tegasku.

Kali ini Andre yang angkat suara. Lehernya yang hampir putus nampak terdongak ke atas.

"Setelah ini.." ujarnya sembari menunjuk pada luka menganga di lehernya itu.

"Kamu masih tega bermain aman dengan para bajingan itu?"

"Diamlah, kalian tidak paham!" jawabku dengan suara yang mulai tercekat.

"Anda yang seharusnya tutup mulut, Ndan," sahut Ilham.

"Kamu ketakutan.." celetuk Andre pula.

"Ketakutan itu mengantarkanmu pada kematian.."

"Bisa jadi, anda berikutnya, Ndan.."

"Bagaimana kalau..."

"DIAM!!!" teriakku sembari melemparkan botol shampoo ke arah mereka. Ajaib, secara tiba-tiba mereka menghilang.

"Ya Allah!!!!" teriakku di bilik satu kali dua meter itu.

"Ya Allah.." ucapku lagi sambil sesenggukan. Tangisku yang sedari tadi kutahan akhirnya pecah juga.

"Azka!" teriak Deddy yang tiba-tiba menerobos masuk.

"Ada apa, Azka?" tanya Deddy lagi dengan khawatir.

Aku hanya bersender di dinding kamar mandi itu. Pelan-pelan, tubuh telanjangku merosot ke bawah hingga akhirnya terjongkok.

"Tenanglah, kawan. Mungkin kamu hanya kurang tidur," pungkasnya.

Jejak: 31 Hari (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang