2.1: Catatan I; Raditya Alamturo (21), Mahasiswa

751 77 5
                                    

12 Mei 2022
Jakarta Barat
--

12 Mei adalah hari yang sangat bersejarah bagi masyarakat Indonesia. Semangat reformasi yang telah berlalu dua puluh empat tahun silam nyatanya tak pernah luntur. Hal tersebut mampu terwujud karena kepercayaan kami akan abadinya api perlawanan terhadap kesewenang-wenangan.

Aku Raditya Alamturo, Mahasiswa, umurku 21 tahun saat ini.

Bersama pacarku, Akila, kami dan ribuan rekan mahasiswa se-Indonesia memenuhi sisi jalur di bawah jalan layang Grogol hingga sedikit menjorok ke arah Jalan S Parman guna melakukan persiapan longmarch menuju kantor Dewan Perwakilan Rakyat.

Agenda kami kala itu adalah menuntut penghapusan salah satu rancangan peraturan perundang-undangan yang menyatakan perpanjangan masa kepemimpinan Presiden menjadi 10 tahun, dan menyampaikan protes atas semakin masifnya kebakaran hutan—yang kami yakini dilakukan oleh oknum tertentu—di Pulau Kalimantan dan Sumatera.

Acara yang awalnya berlangsung dengan tertib berubah menjadi panas setelah salah satu orator berteriak-teriak dengan ucapan yang memprovokasi dari atas mobil bak milik salah satu pihak kampus lain. Lantas, beberapa puluh massa yang terprovokasi mulai melakukan tindakan-tindakan diluar asas ketertiban.

Sebagai tuan rumah, tentu saja pihak kampus kami tidak terima dengan tindakan oknum tersebut, dan menghimbau agar seluruh peserta tidak mau terpancing. Sayangnya, efek dari copycats riot terlalu besar. Massa mulai bertingkah irasional dan diluar kontrol. Sekelompok mahasiswa terlihat sedang menyulut api pada sebuah ban yang entah darimana mereka dapatkan. Beberapa yang lain terlihat menyalakan petasan dan berusaha memprovokasi pihak aparat.

Jujur, kami merasa kecewa. Longmarch bahkan belum dimulai, namun keadaan sudah ricuh. Hal ini dapat berdampak pada pelarangan total demonstrasi yang implikasinya menggagalkan agenda penyampaian aspirasi kami. Sekuat tenaga kami membujuk para demonstran agar mau tunduk pada satu komando, namun tetap saja, semuanya nihil.

Di tengah situasi yang semakin tidak kondusif, sebuah kendaraan besar milik aparat kepolisian melaju dengan kencang dari arah Pluit. Massa yang semakin brutal malah mencegat mobil tersebut dan melakukan persekusi kepada belasan anggota kepolisian di dalamnya. Tentu saja para polisi tersebut kuat, namun jumlah mereka kalah jauh dengan massa yang menggila.

Selang kurang lebih dua menit, belasan kendaraan yang sama melaju lagi. Melihat hal tersebut, massa yang mengeroyok belasan anggota polisi tadi segera kocar-kacir meninggalkan mereka dengan kondisi berdarah-darah.

Anehnya, belasan konvoi kendaraan tersebut seakan-akan tidak peduli dengan terkaparnya rekan mereka dan malah menambah laju kecepatan kendaraannya. Di waktu yang sama pula, aparat kepolisian dan militer yang bertugas mengawal kegiatan kami pun secara tiba-tiba meninggalkan lokasi dan ikut melaju mengikuti konvoi tadi ke arah Slipi.

Tiba-tiba, kami dikejutkan oleh dentuman yang luar biasa kencang. Sebuah truk kontainer, dengan beberapa orang yang nampak menggelantung di sisi sampingnya, terjun bebas dari atas jalan layang Grogol dan menghantam puluhan demonstran di bawahnya. Saking kencangnya tumbukan tersebut, daratan sampai bergetar hebat, telinga kami juga sampai berdengung.

Debu mengepul menutupi lokasi pendaratan truk tadi. Orang-orang berlari ke arah Jalan S Parman, sementara sisanya menuju ke sana. Ada yang berusaha menolong, ada pula yang tersulut emosi dan berusaha membantai pengemudi truk maut tersebut.

Lagi-lagi dari arah Pluit, sebuah bus melaju dengan kecepatan tinggi. Seakan mabuk, pengemudi bus tersebut menabrakkan kendaraannya ke arah gerombolan demonstran yang kini terkonsentrasi di Jalan S Parman. Membuat keadaan semakin kacau.

Aku menggenggam erat tangan Akila. Mataku begitu awas ke segala penjuru untuk memastikan tidak ada bahaya yang mengarah ke kami.

Tiba-tiba, seseorang dengan wajah yang penuh darah berlari menerjang Akila hingga genggaman kami terlepas. Orang tersebut seperti kesetanan. Ia menggigit dan merobek leher Akila, serta menggerogoti daging di dalam lehernya.

Aku hanya tertegun, berusaha membawa diriku kembali pada dunia nyata. Berusaha meyakinkan diri sendiri kalau semua yang aku lihat saat ini bukanlah sekedar mimpi. Aku perlu bertindak.

Pikiranku membuyar setelah kepalaku menghantam tanah. Sebuah granat yang entah darimana datangnya meledak di jarak yang tak jauh dari tempatku berdiri. Aku terpental beberapa meter, kesadaranku berangsur hilang. Entah halusinasi atau nyata, aku sempat melihat Akila yang lehernya telah berlubang kembali bangkit dan berlari ke arah seorang demonstran, kemudian menerjangnya hingga jatuh.

Hingga akhirnya, semuanya gelap.

•••••

14 Mei 2022
Jakarta Barat

Aku diselamatkan oleh seorang Polwan dan beberapa mahasiswa. Disinilah kami, delapan belas orang yang terjebak di dalam aula. Polwan yang tadi menolongku telah mati syahid dalam tugasnya. Ini adalah hari ketiga, dan persediaan makanan serta minuman di ruangan ini telah menipis. Oleh karena itulah, kami akan memilih untuk keluar dan mengadu nasib kami di luar sana.

Dari situ pula aku terinspirasi untuk menulis catatan ini. Harapanku, siapapun yang menemukan tulisan ini dapat memanfaatkan kesaksianku sebaik-baiknya bilamana dibutuhkan.

Aku berdoa setiap saat kepada Allah SWT, agar kita semua diberi keselamatan.

Kupasrahkan takdir kami kepadaMu...
Selamatkan Indonesiaku, ya Allah...

Jejak: 31 Hari (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang