"Ada apa dengan laki-laki ini?" gumamku dalam hati.
Sesi tatap muka lanjutan dengan Pak Deddy berlangsung. Namun aku dikecewakan oleh adab pria bodoh ini yang memandangku dengan tatapan penuh nafsu sedari aku memasuki ruangan.
"Apa karena saat ini aku memakai baju lengan buntung dan celana ketat? Dasar bajingan!" lanjutku dalam hati.
"Selamat siang," ucapku ketus.
"Selamat siang, cantik. Sini, duduk," jawabnya dengan nada yang mengerikan.
•••••
13 Mei 2022
Gunung Cikuray, GarutTernyata tempat ini cukup tinggi. Lahan sempit yang berada di bibir jurang ini berhadapan langsung ke arah timur dan memiliki pemandangan yang cukup indah. Lautan awan menggulung-gulung di bawah sana. Aku sempat bergidik ngeri tatkala melihat ke arah bawah dan mendapati jarak menuju dasar jurang yang ternyata cukup dalam.
Semburat cahaya jingga terlihat di kejauhan. Aku melirik jam tanganku yang masih menunjukkan pukul lima pagi. Entah darimana datangnya, sesosok orang gila yang mengenakan keril berlari dan menerjangku hingga aku terjatuh.
Kini jarak antara aku dan mulut jurang kurang dari satu meter. Sekuat tenaga aku menahan leher orang gila tersebut agar mulutnya tidak menggapai tubuhku. Sejurus kemudian, Azam berlari keluar tenda dan menancapkan sebilah pisau di kepalanya.
Seketika orang gila tersebut tak bergerak. Pisau yang menembus hingga dahinya membuat darahnya menetes membasahi wajahku. Kini aku tidak dapat bergerak karena sekujur tubuhku yang terasa sakit akibat benturan tadi harus tertimpa oleh orang gila dengan keril yang kini terkulai lemas di atasku.
Azam langsung menyingkirkan orang gila tersebut dari atasku dan menggeledah kantung celana cargo-nya.
Kemudian ia melepas keril yang orang gila itu pakai, dan menyeret orang gila tersebut serta menghempaskannya ke jurang. Suara benturan tubuhnya terdengar beberapa detik kemudian.
Aku hanya terbengong melihat cueknya wajah Azam kala itu. Dengan santai, ia mengeluarkan berbagai macam barang dari keril oren yang telah ia amankan
Dua bungkus pasta coklat, sebungkus rokok Djarum Super, sekantung keripik singkong, dua bungkus mie instan, dua kaleng gas portabel, lima botol air mineral ukuran besar, dua buah pisau lipat, serta satu buah alat setrum ia keluarkan dari keril itu. Setelah memastikan tidak ada lagi yang bisa ia manfaatkan, Azam melempar keril tersebut ke jurang.
"Nih, cuci muka lo sampe bersih," ucapnya sembari menyerahkan salah satu air mineral botolan yang isinya sisa setengah.
Setelah selesai mencuci muka, aku mendapati Azam sedang memanaskan air dengan kompor portabelnya.
"Sini, ngeteh dulu kita." Ia menyulut sebatang rokok, sebuah tindakan tak patut yang dilakukan anak seumurannya.
"Emang umur lo berapa?" tanyaku ketus
"Makasihnya mana?" yanyanya balik dengan wajah meledek.
"Ih! Iya, makasih loh, Zam!"
"Sama-sama, Nyonya Elsa," jawabnya sambil cengegesan.
"Eh, gue nanya tadi. Umur lo berapa emang? Kok udah ngerokok?"
"Umur lo berapa?" Lagi-lagi ia bertanya balik.
"Enam belas"
"Nah, itu umur gue juga. Perihal ngerokok, gue udah ngerokok dari SD kelas enam. Jadi nggak perlu kaget."
"Kok bisa? Emangnya lo nggak dimarahin sama orang tua lo?"
"Orang tua gue nggak peduli sama anak-anaknya. Dan gue nggak mau bahas ini, oke?"
"Hm.."
Sungguh nikmat rasanya tatkala teh hangat mengaliri tenggorokan kami. Bertemankan angin sejuk yang sepoi-sepoi, kami bercerita banyak hal yang kebanyakan tentang kehidupan kami masing-masing sebelum semua ini terjadi.
Ternyata Azam adalah orang yang menyenangkan. Kami bahkan baru kenal tadi malam—dengan cara perkenalan yang sangat tidak menyenangkan—namun aku merasa nyaman bercerita banyak hal dengannya. Selain itu, fakta lain yang kudapat dari Azam yaitu ia berasal dari Jakarta, dan rumahnya pun cukup dekat dari rumahku.
"Berarti, kalo kita udah di Jakarta, gue musti ke rumah lo nih. Lo masak yang banyak ya buat gue. Hahaha," candanya.
"Enak aja lo! Boleh sih, tapi bayar!" balasku.
"Hm, ngomong-ngomong, kira-kira sampe kapan ya kita bertahan disini?" ucap Azam kemudian dengan raut wajah serius.
"Nggak tau deh. Tapi apakah bakal ada yang nolongin kita?"
"Um, semoga aja. Tapi kalau pun nggak ada, mau nggak mau kita harus turun. Kita nggak mungkin bisa lama kalo bertahan di area terbuka gini."
Aku bergidik ngeri membayangkan kalau nantinya kami harus turun dan berhadapan lagi dengan orang-orang gila itu.
"Kita cuma beruntung, udah tiga hari belom ujan. Kalo sampe ujan lebat, risiko longsor di tebing sesempit ini bakal besar banget loh, Sa," lanjutnya.
Dan benar saja apa yang ia ucapkan, menjelang sore, awan naik melingkupi area kami berkemah. Menit demi menit berlalu, angin berhembus semakin kuat dan menggoyang-goyangkan tenda kami. Tak lama berselang, hujan lebat turun membasahi tanah.
Satu jam, dua jam, kini jam tanganku sudah menunjukkan pukul lima sore. Tiba-tiba kami dikagetkan oleh suara bergemuruh yang kemudian disusul oleh bergetarnya tanah dimana kami berada.
Kami segera melompat keluar tenda tanpa memikirkan barang bawaan. Beberapa detik kemudian, kentalnya lumpur menyeret tenda kemah dan segala isinya ke dalam jurang.
Udara dingin menyelimuti tubuh kami yang kebasahan. Azam tak henti-henti memotivasi aku agar terus bergerak. Ia bilang, kami berdua akan selamat bilamana kami mau berjuang.
Ternyata memang benar demikian, ditengah kedinginan hebat yang hampir membuatku hipotermia sebuah cahaya putih menyorot kami berdua. Tiga orang—dua wanita dan satu pria—dengan jas hujan menghampiri kami dan segera memberikan jas hujan kepada aku dan Azam. Mereka mengajak kami berdua untuk bergabung di kemah mereka yang berada di Pos 1 Jalur Pemancar. Entah apakah aku salah lihat, samar-samar mataku melihat sebuah pistol yang tembus pandang di balik jas hujan yang si pria kenakan.
Dengan memaksimalkan sisa tenaga yang ada, akhirnya kami berhasil menyusuri licinnya jalur hingga tiba di Pos 1 dalam waktu kurang lebih dua jam. Tepat di depan sebuah warung yang dipagari kawat besi, tubuhku ambruk akibat lelah yang tak mampu kubendung lagi.
•••••
"Stop dulu," potong Pak Deddy.
"Iya, Pak. Ada apa?" jawabku.
"Begini loh, Elsa. Disini kamu bercerita dengan terlalu bertele-tele, sementara di luar sana ada banyak orang yang harus sesi tatap muka dengan saya. Jadi, kita cukup dulu sampai sini, nanti kita lanjut di lain waktu."
"Iya, Pak. Saya minta maaf."
"Iya, enggak apa-apa."
Tiba-tiba wajahnya mesumnya timbul lagi. Tatapannya yang seakan-akan menyapu seluruh tubuhku dari ujung kaki hingga ujung rambut menimbulkan atmosfer yang sangat menyeramkan di ruangan itu.
"Atau kalo kamu mau lama-lama.."
Ia menghentikan ucapannya sejenak.
"Di kamar saya aja nanti," lanjutnya dengan cengiran yang menyebalkan.
"Terima kasih, Pak, saya pamit dulu," ucapku yang langsung berpaling darinya.
"Sebentar, dimana sopan santun kamu? Kita nggak salaman?" Panggilnya dari belakang.
Aku pun kembali menghadap ke arahnya dan menjabat tangannya yang telah terulur.
Begitu kagetnya aku tatkala aku berbalik, ia menepuk dan meremas bokongku. Aku begitu marah, namun terlalu takut untuk melawan. Aku memilih untuk berpura-pura tidak tahu sembari menahan tangis dan meninggalkan ruangan itu secepatnya.
"Nanti sore kita lanjutkan cerita kamu setelah antrian selesai," pungkasnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jejak: 31 Hari (Tamat)
Science FictionSaat pandemi mayat hidup melanda Indonesia, sekelompok orang di Pemerintah berusaha mengumpulkan informasi melalui jejak para penyintas yang pernah (atau masih) bertahan hidup. Sembari melakukan tindakan evakuasi, akhirnya mereka dipertemukan dengan...