3.5: Jalan dan Pahlawan yang Tertelan

136 30 0
                                    

Laju kendaraan kami terhenti tepat sebelum mencapai lampu merah Ragunan.

"Sialan, padahal tinggal Jagakarsa, Ndan!" ucap Amri yang mendampingiku melongok melalui kaca kemudi.

"Berapa banyak, Ndan?" kontak seseorang dari HT.

"Entah, ratusan? Atau mungkin ribuan," jawabku.

"Memutar arah pun mustahil, ini rencana bunuh diri," gumamku dalam hati.

•••••

15 Mei 2022
Jakarta Selatan
--

Wajah-wajah itu, wajah yang berbinar dan penuh oleh pengharapan tatkala orang-orang berbaju loreng menjemput mereka.

"Ini kelurahan terakhir di Cilandak, rekan-rekan dari Pesanggrahan dan Kebayoran Lama sedang menuju kesini, estimasi waktu tiba sekitar 15 menit," ucap Doni, salah satu anggotaku di Tim Tikus 2.

Kemarin malam, aku memutuskan untuk memecah Tim Tikus 2 untuk mempersingkat waktu. Sebagian dari kami bergerak menuju Pesanggrahan dan Kebayoran Lama, sementara sebagian dari kami menyusuri area Cilandak yang notabene cukup luas.

"Berapa penyintas dari sana?" tanyaku pada Doni.

"Seratus empat puluh tujuh, Ndan!" jawabnya.

"Masih aman, Ndan, kita masih sanggup tampung dua ratusan orang lagi," pungkasnya.

Bilamana ditotalkan dengan tiga puluh penyintas di Cilandak, seratus empat puluh tujuh dari Pesanggrahan dan Kebayoran Lama, serta dua ratus sembilan puluh sembilan dari wilayah lain sedari kemarin, maka kami telah membawa sebanyak empat ratus tujuh puluh enam penyintas. Menurut keterangan Doni, jumlah tersebut masih bisa dimaksimalkan hingga dua ratus penyintas lagi.

Untunglah kami dimodali dua puluh bus dan sembilan belas truk militer. Kalau tidak, mungkin kami akan kewalahan menampung korban-korban selamat itu.

Dari arah Lebak Bulus, iring-iringan rekan kami telah tampak. Kami yang sedari tadi menunggu mereka di kolong lampu merah Fatmawati pun langsung bersiap-siap untuk menyisir kawasan terakhir; Jagakarsa.

Memasuki lampu merah Ampera, kami memelankan kecepatan setelah melihat puluhan mayat yang berjalan tanpa arah di tengah jalan.

"Instruksi pembersihan!" kontakku dari HT.

Aku melirik dari spion dan mendapati belasan anggota dari beberapa kendaraan di belakang melompat turun. Perlahan, peluru-peluru itu berhasil membuat satu persatu dari mayat-mayat tersebut ambruk. Setelah area perempatan telah kosong. Mereka segera menggeser mayat-mayat itu agar jalanan di depan dapat kami lalui.

Begitu kagetnya aku setelah melihat serbuan puluhan mayat berlari dari arah Ampera. Dengan cepat, mayat-mayat tersebut mengepung dan menerjang belasan anggotaku yang berada di luar sana. Peluru mereka kalah cepat, kini mereka semua telah terkapar di tanah dan dikerubungi oleh mayat-mayat yang jumlahnya semakin bertambah itu.

Seluruh anggotaku tentu menunggu instruksi. Otakku yang  seakan membeku setelah melihat peristiwa itu akhirnya kembali mampu untuk berpikir. Dengan ragu, aku mengangkat HT-ku.

"Instruksi tinggalkan lokasi. Beri penghormatan terakhir terhadap teman-teman kita yang telah gugur," ucapku dengan suara yang bergetar.

Sedetik kemudian, bus yang aku tumpangi segera melesat dengan kecepatan maksimum dan diikuti oleh kendaraan-kendaraan lain dari belakang.

Rasa syok akibat peristiwa tadi bahkan belum reda, namun kami harus dihadapkan dengan sesuatu yang lebih besar. Beberapa jam lalu, jalanan ini kosong melompong. Lantas dari mana asal mereka? Apa yang membuat rombongan mayat sebanyak ini dapat terdistraksi?

"Sialan, padahal tinggal Jagakarsa, Ndan!" ucap Amri yang mendampingiku melongok melalui kaca kemudi.

"Berapa banyak, Ndan?" kontak seseorang dari HT.

"Entah, ratusan? Atau mungkin ribuan," jawabku.

"Kita tidak bisa putar balik, bagian belakang Bus 19 dan 20 sudah dikerumuni mayat yang dari Ampera tadi!" ucap seseorang yang lain.

"Berpikir! Ayo berpikir, bangsat!" gumamku sembari memukul-mukul kepalaku sendiri.

Sesuatu tersirat di kepalaku. Entahlah, namun aku rasa pengorbanan ini adalah pilihan terbaik.

"Kita terobos, semua kendaraan bersiap! Bus 5 dan 6 tolong ke sisi kanan Bus 1."

Akupun memerintahkan pengemudi Bus yang aku tumpangi untuk sedikit menggeser posisi Bus ke kiri agar Bus 5 dan 6 memiliki celah yang cukup di sisi kanan.

"Semua kendaraan harap dalam posisi, jangan bergerak sampai saya instruksikan."

Kini mayat-mayat itu mulai bergerak ke arah kami. Untunglah tidak ada satupun dari mereka yang mampu berlari.

Akupun membisikkan rencana yang sebenarnya kepada pengemudi Bus 1, lalu kepada para personil yang berada bersamaku di Bus itu. Awalnya, mereka sedikit kaget, namun dengan cepat mereka segera mengangguk dan berusaha menerima semuanya.

"Bus 6, nanti saya instruksikan agar kalian maju terlebih dahulu menabraki mereka, lalu disusul Bus 5, lalu dibantu rentetan tembakan dari belakang oleh Bus 1 sampai 4. Tersalin?"

"Diterima, Ndan!" jawab Bus 5

"Diterima, mohon bantuan tembakannya sesegera mungkin setelah benturan, Ndan!" sahut Bus 6

"Bus 6, tabrak mereka!"

Bus 6 melesat dengan kencang.

"Bus 5, bantu!"

Bus 5 ikut melesat di sisi kiri Bus 6.

Seperti yang telah kami prediksikan sebelumnya, Bus tersebut terhenti lajunya saat bertubrukan dengan mayat yang jumlahnya teramat banyak.

"Komandan! Mohon bantuan tembakannya!" teriak seseorang dari Bus 5.

"Komandan! Tolong!" sahut Bus 6.

Setelah memastikan keadaan sekitar, aku keluar dari Bus 1 sambil berlinangan air mata. Granat di tangan kiriku aku genggam dengan gerat. Sesekali desing peluru terdengar saat anggotaku dari Bus 1 menembaki beberapa mayat yang berjalan ke arahku.

Aku menundukkan kepalaku sejenak. Berusaha meyakinkan diri bahwa ini adalah pilihan yang terbaik bagi semua orang di sana.

Pengunci granat telah terlepas. Sekuat tenaga, aku melemparkan granat tersebut tepat di posisi dimana Bus 5 dan 6 berada, dan segera berlari kembali ke Bus 1.

Ledakan api yang begitu dahsyat membuat jalanan di lampu merah Ragunan ambles ke bawah dan menimbun underpass yang berada di jalan tol.

•••••

"Kita dan apa yang melekat dalam diri kita tidak akan pernah abadi, Nak," ucap Ayah saat kami sedang berjalan kaki.

Sore itu, kami baru saja selesai memancing di salah satu sungai yang berjarak sekitar empat kilometer dari rumah. Aku membuka obrolan tentang hal apa yang ada di pikiran orang jahat sehingga mereka mau berbuat jahat.

Pria berkumis tebal itu memberikan jawaban yang begitu bijak. Sebuah pedoman hidup untuk paham, bahwa di dunia ini tidak ada yang baik maupun jahat.

"Semua tergantung situasi, kondisi, dan urgensi sebuah keputusan."

"Kamu pun tidak akan selamanya menjadi orang baik."

"Sekali lagi, kita dan apa yang melekat dalam diri kita tidak akan pernah abadi."

Jejak: 31 Hari (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang