"Kecuali ada yang menanyakan, sembunyikan hal ini dari semua orang diluar Kelompok Elang 1!" tegasku kembali.
Rehan masih terikat di kursi kayu itu. Sesekali ia mengerang kesakitan akibat luka terbuka di jari tengahnya.
"Berapa lama sejak tadi?" Tanyaku lagi kepada salah seorang anggotaku.
"Satu jam, Ndan. Ada kemungkinan infeksinya sudah menyebar."
"Komandan, tolong, saya mohon! Cukup tembak saya di kepala!" Ucap Rehan memelas.
Aku menatap nanar pria itu. Kemudian meninjunya lagi hingga ia setengah pingsan. Dengan cepat, aku segera mengambil pedang katana yang sebelumnya telah diasah oleh anggotaku.
"Tahan! Kamu kuat! Kamu harus hidup demi anak dan istrimu yang menunggu di Cileungsi! Paham kamu?!" ucapku menguatkannya.
Setelah mengumpulkan segenap keyakinan, aku langsung mengayunkan katana tadi tepat di atas tali yang mengikat bahunya.
Tangan kirinya jatuh ke tanah. Darah menyembur deras dari bagian tangannya yang terputus. Dengan sigap, beberapa anggotaku langsung melepas ikatan Rehan dan menutup lukanya yang terus mengeluarkan darah.
"Ayo, kamu kuat, Rehan!" teriakku lagi di sela jerit lemah yang keluar dari mulut Rehan.
Satu menit, dua menit, tiga menit, tubuh Rehan semakin memucat. Hingga pada menit keempat, Rehan menghembuskan nafas terakhirnya karena kehabisan darah.
Lantas, kami semua terdiam beberapa saat.
"Innalillahi Wainnailaihi Roji'un," ucap beberapa dari anggotaku yang berada di tempat itu.
Aku berlutut ke tanah. Hatiku sungguh hancur saat melihat rencanaku gagal total dan justru malah menyiksa Rehan di akhir hayatnya. Air mataku berlinang, begitu pula dengan beberapa anggotaku yang ada disana.
"Ksatria muda telah gugur dalam perang. Kitalah yang akan meneruskan jiwa patriotnya!" teriakku dengan tegas sembari berlinang air mata.
Tiba-tiba tubuh Rehan kembali bergerak. Kepalanya terangkat dan langsung menerjang diriku. Aku berusaha menahan kepalanya yang henti-henti berupaya menggigitku. Melihat hal tersebut, salah satu anggotaku segera menembak kepala Rehan hingga ia terkulai lemas di atasku.
•••••
14 Mei 2022
Pandeglang, Banten
--"Persiapan lepas landas!" ucapku melalui HT ketika kami telah sampai di tanah lapang yang cukup luas di daerah Pandeglang. Lahan tersebut begitu lebar dan cukup untuk menampung sebelas unit helikopter besar dengan kapasitas empat puluh orang.
Helikopter kami lepas landas secara bergantian setelah sebelumnya menurunkan beberapa personil dengan tali baja untuk mengamankan situasi di area tersebut.
Setelah semuanya mendarat, kami langsung membentuk barikade darurat karena nantinya kawasan ini akan kami jadikan markas komando saat kami menyisir seluruh Provinsi Banten.
"Saya rasa, pemerintah kurang memikirkan dengan matang persiapan kita dalam operasi ini," ucapku saat membuka apel sebelum memulai penyisiran.
"Dengan daya tampung total sebanyak 440 orang, dikurangi jumlah kita yang sebanyak 200 orang, itu berarti kita hanya mampu membawa pulang 240 orang," lanjutku.
"Maksud saya disini, akumulasi nilai dari setiap orang yang nantinya akan kita evakuasi sangat penting. Kita tidak bisa membawa serta mereka yang tidak memiliki nilai."
"Sederhananya, demi kepentingan orang banyak, kita hanya akan mengevakuasi mereka yang memiliki keahlian khusus di bidang yang nantinya dapat menunjang kehidupan masyarakat Indonesia di masa yang akan datang."
KAMU SEDANG MEMBACA
Jejak: 31 Hari (Tamat)
Fiksi IlmiahSaat pandemi mayat hidup melanda Indonesia, sekelompok orang di Pemerintah berusaha mengumpulkan informasi melalui jejak para penyintas yang pernah (atau masih) bertahan hidup. Sembari melakukan tindakan evakuasi, akhirnya mereka dipertemukan dengan...