27 Mei 2022
Cileungsi, Kabupaten Bogor
--"Saya optimis kamuflase kita akan berhasil, Ndan!" ucap Ilham.
"Ya, kamu benar. Gadis itu melatih mereka dengan baik," jawabku.
Geraman dan erangan-erangan serak sahut menyahut dari mulut mereka. Seakan-akan mayat betulan, gerakan terseok yang mereka praktikkan sepanjang jalan itu betul-betul terlihat nyata.
Aku melirik ke arah jam tanganku.
"Sudah tengah hari," gumamku.
Aku pun meniupkan peluit yang kini bertengger di mulutku dengan kencang, sembari memberi kode ke Risa untuk menyudahi simulasi dan bersiap-siap untuk jeda makan siang.
"Elsa!" panggilku ketika aku melihat gadis itu sedang berjalan ke arah Komplek Kenari.
"Eh.. Hai, Kak!" jawab Elsa sembari berbalik menuju ke arahku.
Seperti biasa, gadis itu selalu membawa kesan ceria saat aku menjumpainya.
"Mau kemana? Belum makan siang kan?" tanyaku membuka obrolan.
"Belum, Kak. Nggak kemana-mana sih niatnya, cuma iseng aja jalan-jalan. Makan bareng yuk, Kak!"
"Ayo, aku juga mau ke tempat makan."
Berbeda dengan kemarin, lauk kami hari ini cukup banyak dan mewah. Para pemilik ternak memutuskan untuk menyembelih hewannya masing-masing mengingat subuh nanti kami akan meninggalkan tempat ini. Artinya, makan siang dan makan malam nanti adalah yang terakhir.
"Bagaimana menurut kamu?" tanyaku pada Risa.
Saat ini, aku, Risa, Elsa, dan Ilham sedang duduk sembari menyantap lauk pauk di piring kami masing-masing.
"Sepertinya cukup, Pak. Selepas makan siang nanti kita akan langsung mendandani orang-orang kan?"
"Um, setelah saya pikir-pikir, ada baiknya kita pakai waktu setelah istirahat ini untuk tidur sampai Maghrib. Setelah menyelesaikan makan malam dan sholat Isya, barulah kita langsung dandani orang-orang, agar kita bisa langsung ke Halim setelahnya."
"Oh, artinya, kita tidak jadi berangkat saat subuh, Ndan?" celetuk Ilham.
Aku menggeleng.
"Tidak. Estimasi saya, jam satu atau dua dini hari nanti semua persiapan sudah selesai, lalu kita bisa langsung berangkat," jelasku.
"Tapi mayatnya..."
"Iya, itulah mengapa saya tegaskan rekan-rekan di perimeter untuk mengejar waktu dalam mengumpulkan tubuh mayat-mayat itu sebanyak mungkin," ucapku lagi memotong jawaban Ilham.
Orang-orang nampak berlalu lalang ke meja prasmanan raksasa. Wajar, sudah lama kami semua tidak menikmati hidangan senikmat ini. Kami membiasakan diri untuk menyetok makanan-makanan instan kecuali mie untuk hanya dikonsumsi bilamana panen tanaman gagal.
Namun siang ini berbeda. Sarden kaleng, kornet, spaghetti, dan makanan-makanan mewah lain terpaksa kami habiskan sebelum meninggalkan tempat ini.
Setelah menyelesaikan makan siang, para sipil itu menyebar ke berbagai tujuannya masing-masing. Ada yang kembali ke tenda, ada yang ke masjid, ada pula yang memilih untuk duduk-duduk di pinggir jalan.
Sebelum orang-orang semakin memencar, aku langsung mengambil toa dan berbicara dengan lantang.
"BAPAK IBU! PERHATIAN SEBENTAR! PERHATIAN, PERHATIAN!" teriakku.
Mereka semua berbalik arah dan menatapku.
"Setelah menyelesaikan sholat, bapak dan ibu saya persilahkan untuk kembali beristirahat di tenda masing-masing. Silahkan dipakai untuk tidur sepuas mungkin, namun pastikan setelah Isya, kita sudah kembali berkumpul di tempat ini. Terima kasih!" ujarku dengan suara lantang namun tidak sekeras yang sebelumnya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Jejak: 31 Hari (Tamat)
Science FictionSaat pandemi mayat hidup melanda Indonesia, sekelompok orang di Pemerintah berusaha mengumpulkan informasi melalui jejak para penyintas yang pernah (atau masih) bertahan hidup. Sembari melakukan tindakan evakuasi, akhirnya mereka dipertemukan dengan...