6.7: Hasut

74 24 0
                                    

03 Juni 2022
--

"Azka atau Hendro, ada yang bisa saya pinjam dulu?" ujar Vivi yang tiba-tiba menyelonong masuk ke area kerja kami.

Kini, tugasku dibantu oleh Hendro yang juga diberi tanggung jawab oleh Vivi. Tak hanya Hendro, Vera pun demikian.

Sahabat terdekat Hendro itu mendapatkan tugas di bagian kesehatan, yaitu sebagai Konselor Psikologi. Jenis jabatan baru itu dipercayakan oleh Vivi karena beliau sudah mulai lelah menampung beberapa keluhan yang bersifat psikis dari orang-orang disana.

Ia berharap, dengan kehadiran Vera yang merupakan mahasiswi tingkat akhir Psikologi, maka tugas konseling mental terhadap warganya akan berjalan efisien, dan tentunya memberi implikasi pada peningkatan produktifitas kerja.

"Gue aja boleh, Vi," jawabku mengajukan diri. Raut wajah Hendro nampak lega setelah mendengarkan ucapanku barusan.

"Kita kemana?" tanyaku pada Vivi saat kami berdua berjalan ke depan.

"Mal," jawabnya singkat.

"Gue serius, Vi.."

"Ya, memang ke Mal! Sudah, kamu diam aja deh. Jangan kebanyakan nanya!!" tegasnya.

Sebuah Range Rover melaju dengan kencang. Kendaraan roda empat itu aku kendarai untuk mengantarnya ke sebuah Mal yang terletak di depan perumahan elit.

"Ini dia, markas senjata utama kita," ujar Vivi bangga setelah kami turun dari mobil.

"Markas senjata seluas ini?" tanyaku yang lagi-lagi penasaran.

"Kan tadi sudah saya bilang. Diam aja!" teriak Vivi tepat di depan lubang telingaku.

Pintu dan bagian dinding Mal itu dilapisi kaca. Aku langsung tersentak tatkala melihat rombongan mayat dalam jumlah yang begitu banyak nampak dan menyeringai ke arah kami dari dalam.

"Ini, senjata utama kita! Hahaha!" ujar Vivi lagi sembari tertawa.

"Mayat sebanyak ini, untuk apa, Vi?" tanyaku bergidik.

"Untuk apa, kamu bilang?? Menurut kamu untuk apa?! Ya sudah pasti untuk menyerang bangsat-bangsat di Halim sana!" jawabnya ketus.

"Maksudnya?"

"Ayolah, Azka. Hendro juga udah cerita semuanya ke saya. Rekan-rekan kalian itu bangsat! Kalo pun kamu mencoba kesana, nasibmu nggak akan jauh beda dengan Hendro. Menyedihkan ya, ditolak oleh saudara seperjuangan? Hahahahaha!"

Aku tertegun mendengar jawaban Vivi. Semenyedihkan apapun pernyataan itu, aku tetap tidak dapat memungkiri kalau apa yang ia ucapkan adalah sebuah kebenaran.

"Fakta tidak pernah memikirkan perasaanmu, Azka," ucap Vivi lagi pelan.

"Ayo, ada sesuatu yang ingin saya tunjukkan," pungkasnya sembari menarik tanganku.

Kami pun berjalan menuju bagian belakang pusat perbelanjaan itu. Setibanya kami di sebuah pintu bertuliskan "Tangga Darurat", Vivi merogoh saku celananya dan mengeluarkan gantungan kunci yang terdiri dari beberapa buah kunci. Ia pun membuka pintu tersebut.

"Ayo.." ajaknya.

Setelah pintu itu terbuka, nampaklah sebuah tangga permanen yang menjulang ke atas. Butuh beberapa menit sebelum akhirnya kami sampai di anak tangga terakhir yang terhalangi oleh sebuah pintu lain. Vivi pun kembali memilah kunci-kunci tadi dan mengambil salah satunya untuk membuka pintu tersebut.

"Alat transportasi utama kita.." ujar Vivi sembari menyajikan pemandangan yang membuat mataku terbelalak melihatnya. Ternyata, tangga tersebut merupakan akses langsung menuju atap dari bangunan ini.

Jejak: 31 Hari (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang