14 Mei 2022
Jakarta Selatan
--"Sisir semuanya! Pasti masih banyak di sekitar sini!"
Sembilan belas bus dan enam truk militer milik kelompok Tikus 2 kami parkirkan di ruas Jalan Mampang Prapatan. Bebauan yang menyengat langsung menusuk indra penciuman kami tatkala kami keluar dari kendaraan masing-masing. Kami pun memecahkan diri lagi menjadi beberapa kelompok untuk menyusuri kawasan itu.
Satu, sepuluh, mungkin ratusan mayat telah tumbang oleh peluru yang dimuntahkan oleh moncong senjata kami. Awalnya, kami merasa tidak nyaman saat melihat mereka ambruk oleh tembakan kami. Bagaimanapun pula, mereka adalah bagian dari masyarakat, dan kami sebagai aparat harus menerima kenyataan bahwasanya mereka harus mati di tangan kami.
Namun lama-kama kami terbiasa. Melalui HT, aku terus menggaungkan doktrin agar terus merubuhkan mereka tanpa perlu memandang wujudnya. Anak-anak, lansia, ibu hamil, dan siapapun yang kami identifikasi sebagai mayat harus ditumbangkan. Begitu pula bau-bau anyir yang menyengat itu, hidung kami mulai terbiasa dengan semuanya hingga rasa mual yang awalnya kami rasakan perlahan menghilang.
Instruksiku berhasil, kami sukses menerobos ke pemukiman penduduk dan memboyong beberapa penyintas beserta jejak-jejak yang para korban tinggalkan. Dalam kurun waktu tiga jam, kawasan Mampang Prapatan dan Pancoran berhasil kami sapu bersih.
Walau demikian, tidak semuanya berjalan mulus. Beberapa warga sakit yang tidak kami ajak ikut serta membuat anggota keluarga mereka melakukan perlawanan. Beberapa dari mereka memaksa agar rekan mereka yang sakit tersebut kami izinkan untuk ikut. Sayangnya, prosedur tetaplah prosedur. Sebagian dari mereka akhirnya mengiyakan peraturan yang kami buat, sebagian lagi memilih untuk enggan dievakuasi.
Kami tidak mau ambil pusing. Toh, ini demi kepentingan orang banyak. Satu orang sakit berpotensi membunuh ribuan orang sehat. Sebanyak tujuh puluh delapan korban selamat kami bawa ke dalam rombongan setelah mereka lolos dari tes kesehatan singkat.
Kami pun tidak mau melakukan ini. Perpisahan mereka yang sehat dan sakit yang begitu mengharukan. Ibu dan anak, suami dan istri, seseorang dengan kekasihnya. Namun aku berusaha meyakinkan ke semua personil, bahwa yang kami lakukan adalah hal yang tepat.
Selesai dari sana, kami melaju menuju kawasan Warung Jati, Pejaten, dan Pasar Minggu. Dalam perjalanan, masing-masing perwakilan di setiap kendaraan segera mendata korban selamat. Nama, usia, serta keahlian khusus yang mereka kuasai merupakan data terpenting yang perlu kami ketahui.
Malam telah tiba. Hari itu, Kecamatan Setiabudi, Mampang Prapatan, Pancoran, Tebet, Kebayoran Baru, dan Pasar Minggu telah kami sapu bersih dalam waktu sepuluh jam. Total dua ratus sembilan puluh sembilan warga berhasil kami evakuasi hari itu. Esoknya, kami akan menyisir kawasan Pesanggrahan, Kebayoran Lama, Cilandak, dan Jagakarsa.
Demi keamanan, kami memutuskan untuk menepi dan membiarkan orang-orang beristirahat secara bergantian, serta akan melanjutkan penyisiran pada subuh hari nanti. Seluruh tim lain pun melakukan hal yang sama.
Aku lega tatkala mendengar operasi yang digelar tim lain juga berjalan dengan lancar dan tidak ada satupun dari prajurit yang gugur dalam operasi hari ini. Tim Tikus 1 juga memberi kabar bahwa mereka membawa tiga orang dokter dari rombongan penyintas. Hal ini, tentu memberi kami harapan baru untuk dapat bertahan dengan lebih layak sekembalinya ke Cileungsi nanti.
"Mohon izin, anda nggak tidur, Ndan?" tanya Amri, salah satu anak buahku yang merupakan perwakilan dari Bus 12.
"Saya nggak bisa tidur. Oh iya, kalo kita lagi ngobrol, kamu panggil saja saya Zaki, Ri. Saya kurang nyaman kalau dipanggil Komandan. Terkecuali melalui HT yang didengar banyak personil, silahkan kamu panggil nama saja ke saya," jawabku.
"Oalah, baik, Zak."
Amri pun duduk di sebelahku dan menyulut sebatang rokok. Kemudian ia melemparkan bungkus rokok itu ke depanku. Melihat itu, akupun mengambil satu batang dari bungkus tersebut, menyulutnya, dan menarik asap tersebut dalam-dalam.
"Arien," ucapku membuka pembicaraan.
Amri menatapku.
"Harusnya, September nanti kami nikah," ucapku sembari memainkan cincin di jari manisku.
Aku menghela nafas, berusaha membendung tangis yang aku tahan.
"Tapi bangsat-bangsat ini.. Mereka ngancurin semuanya," lanjutku dengan suara tercekat.
Aku pun meninju tanah tempat kami duduk sekuat tenaga hingga darah melumuri tanganku.
"Zak," panggil Amri pelan.
"Gue frustasi, Ri! Seharusnya jiwa ksatria gue mampu untuk membendung semua rasa sedih ini! Tapi nyatanya? Gue nggak bisa! Arien terlalu berharga dalam hidup gue!"
Amri masih diam.
"Dan tanggal 10 kemarin, Arien dipanggil Allah," lanjutku sembari menangkupkan kedua tanganku di wajah.
Kini aku menangis tersedu-sedu.
"Kita masih manusia, Zak," ucap Amri dengan hati-hati.
Dengan mata sembab, aku menoleh ke Amri dan menatapnya beberapa saat.
"Dari zaman di akmil dulu, lo emang sahabat gue yang paling bijak!" ucapku sembari meninju pelan dadanya.
Kami pun tersenyum.
"Terima kasih, Ri."
KAMU SEDANG MEMBACA
Jejak: 31 Hari (Tamat)
Научная фантастикаSaat pandemi mayat hidup melanda Indonesia, sekelompok orang di Pemerintah berusaha mengumpulkan informasi melalui jejak para penyintas yang pernah (atau masih) bertahan hidup. Sembari melakukan tindakan evakuasi, akhirnya mereka dipertemukan dengan...