5.2: Opsi

88 25 0
                                    

25 Mei 2022
Ruang Kantor Tim Investigasi, Cileungsi, Kabupaten Bogor
--

"Bagaimana mungkin catatan sepenting ini bisa terlewat dari publikasi laporan?! Tugas kalian apa saja memangnya?!" tanyaku sembari menggebrak meja.

Deddy dan Andre hanya menunduk.

"Nggak becus! Sampah! Kalian itu ditugaskan untuk mengabdi pada kepentingan orang banyak! Tapi malah asal-asalan!" lanjutku.

"Sudah, Ndan," ucap Ilham menenangkanku.

"Kalau memang ini benar, kita bisa keluar dari sini tanpa membawa senjata atau kendaraan apapun. Semoga saja paramiliter bajingan itu tidak berubah pikiran," ujarku.

"Kakak yakin dengan rencana ini?" tanya Elsa.

"Ya, aku yakin."

"Lalu bagaimana dengan mereka yang tidak mau?" sahut Ilham.

"Persetan, tinggalkan mereka semua yang membangkang. Kita sudah cukup kesulitan untuk menyelamatkan diri sendiri, jadi siapapun yang tidak ingin patuh terhadap solusi ini, tidak perlu diikutsertakan," tegasku.

"Begini, Ndan. Satu saja dari rombongan kita bertindak gegabah, keselamatan kita terancam. Kita butuh kerjasama yang baik agar kamuflase kita berhasil tanpa memakan korban."

"Ah, iya, saya paham. Saat kita melebur dengan mayat, pasti ada saja yang merasa panik. Bilamana orang yang panik tersebut menunjukkan gerak-gerik aneh, tentunya para mayat akan langsung menyerangnya bukan?"

"Iya, itu yang saya maksud. Belum lagi orang-orang yang tidak mampu meniru gerakan mayat dengan baik, kita perlu seseorang untuk mengajari mereka. Kira-kira bagaimana solusinya, Ndan?"

Aku menghela nafas. Jawaban itu sebenarnya telah ada di kepalaku, namun sulit untuk diungkapkan.

"Begini." Aku menjeda omonganku beberapa detik.

"Kita akan cari orang yang mampu melatih mereka. Pastinya, di tempat ini ada..."

"Eh, Kak, aku tahu..."

"Diam dulu, Elsa. Jangan biasakan potong omongan orang!" tegas Ilham.

Kali ini aku setuju dengan tindakan Ilham kepada Elsa, jadi aku hanya diam, dan melanjutkan omonganku.

"Baik, saya lanjutkan. Setelah menemukan orang tersebut, kita akan menyusun aturan-aturan mutlak yang wajib dijalankan semua orang. Setiap pelanggar akan menanggung konsekuensinya sendiri."

"Aturan pertama, setiap orang yang berada di rombongan kita wajib untuk melakukan gerakan yang mirip dengan mayat. Sedikit terseok-seok, sambil sesekali menggeram. Begitu terus sampai kita sampai di Halim."

"Kedua, tidak ada makan, minum, istirahat, maupun buang air selama perjalanan. Semua orang harus terus bergerak tanpa jeda sampai Halim."

"Ketiga, tidak ada satupun sipil yang dibekali senjata tumpul maupun tajam. Semua orang pergi dalam kondisi steril. Hanya tentara yang diperbolehkan membawa senjata, itu pun hanya pisau lipat."

"Sampai sini paham?"

Semua orang di ruangan itu mengangguk.

"Sekarang kita akan bahas risiko dan konsekuensi pelanggaran. Untuk risiko, saya rasa sudah jelas. Siapa pun bisa tertimpa sial dan terbongkar penyamarannya oleh mayat-mayat itu."

"Konsekuensinya inilah yang cukup berat. Ini mungkin akan melawan batas-batas kemanusiaan. Namun dalam kondisi ini, tidak ada yang mampu kita lakukan untuk menolak. Sederhananya, lebih baik mana, sepuluh orang yang meninggal, atau seratus orang yang meninggal?"

Jejak: 31 Hari (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang