"Jangan kayak anak kecil lah, Ver!" ujarku yang mulai pusing dengan tingkah teman baruku ini.
"Ya wajar dong aku nangis! Aku kan cewek!" sanggahnya.
"Heh! Bukan masalah kamu cewek atau cowok! Jangan seksis gitu dong!" cecarku setelah mendengar alasan konyol itu.
"Suka-suka aku lah!" jawabnya tak mau kalah.
"Dengerin aku!" tegasku sembari mencengkram kedua lengannya.
"Ini tentang mencintai diri kamu sendiri. Jangan biarin seseorang merenggut kebahagiaan itu. Kebahagiaan itu hanya kamu yang bisa ciptain!" pungkasku kemudian.
•••
"Hendro, akhirnya aku berhasil!" Gadis itu langsung mengucapkan hal tersebut saat menemuiku di kafe.
"Berhasil apa, Ver?" tanyaku bingung.
"Mencintai diri aku sendiri! Beberapa bulan lalu setelah aku putus sama Seno, kamu kan ngasih nasihat itu ke aku!"
"Oh ya? Terus sekarang gimana?"
"Seandainya nanti aku jatuh cinta lagi, aku akan lebih rasional. Aku akan mencari dia yang nggak butuh aku, karena aku juga nggak akan butuh dia. Namun kami hanya ingin bersama-sama."
•••
"Sini aku bantuin!" tawarku yang tak tega melihat Vera mengangkat galon di rumahnya.
"Nggak usah! Aku bisa sendiri! Emangnya cewek selalu lemah ya??!" jawabnya ketus.
"Ah terserah. Ngomong-ngomong, Ver. Besok aku udah harus dinas lagi.."
"Ya terus kenapa? Ayolah, Ndro! Memang tanggung jawab kamu untuk negara kan? Jangan terlalu takut dengan kegiatan aku lah! Aku tahu kalo kamu sahabat aku, tapi bukan berarti kamu harus terlalu protektif gini! Aku tuh bisa jaga diri aku!"
•••
"Ayo, Ver! Kita harus ke Cileungsi! Area steril evakuasi ada di sana!" ujarku yang menyempatkan diri untuk menjemput Vera disaat keadaan sudah mulai tidak kondusif.
"Ih, harusnya kamu nggak usah segala jemput aku kesini! Kamu kan bisa kabarin lokasi supaya aku kesana sendirian. Aku ini cewek mandiri, Ndro! Emang kamu dibolehin sama komandan kamu?!" jawabnya yang lagi-lagi dengan nada menyebalkan.
"Ver, jangan banyak bacot deh! Ayo, buruan!" pungkasku kesal sembari menarik paksa tangannya.
•••
28 Mei 2022
Cileungsi, Kabupaten Bogor
--"Mimpi apa sih, Ndro? Sampe senyum-senyum gitu?" tanya Vera yang tiba-tiba memandangiku setelah mataku terjaga.
"Ah, ngagetin aja kamu, Ver! Masih pagi juga!" jawabku kesal sembari mengucek mata.
Semalam, aku memimpikan beberapa momen penting dengan Vera; sahabat yang kucintai dalam diam, yang tadi malam untuk pertama kali mencumbuku.
"Bangun, buruan! Jangan cengar-cengir aja kamu! Kita harus gerak hari ini!" ujar Vera yang kini telah memasang wajah jutek menyebalkannya.
"Berisik ah!" jawabku sambil mengulat.
"Buruan ah! Kita harus ke Halim hari ini!" cecarnya.
"Halim?! Ngapain, Ver?" tanyaku balik. Aku langsung duduk karena terkejut dengan pernyataannya barusan.
"Ngapain, kamu bilang? Ya menurut kamu ngapain? Nyelamatin diri kita lah!" sahutnya kesal.
"Kamu emang tahu keadaan di jalan menuju Halim kayak gimana?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Jejak: 31 Hari (Tamat)
Ficção CientíficaSaat pandemi mayat hidup melanda Indonesia, sekelompok orang di Pemerintah berusaha mengumpulkan informasi melalui jejak para penyintas yang pernah (atau masih) bertahan hidup. Sembari melakukan tindakan evakuasi, akhirnya mereka dipertemukan dengan...