2.3: Catatan III; Zakaria Yunus (-), Pendeta

359 56 0
                                    

Namaku Zakaria Yunus.

Aku adalah Pendeta di salah satu gereja beraliran kharismatik yang tempat peribadatannya berada pada sebuah aula di Mall Citraland.

Entah apa yang membuatku terdorong menuliskan hal ini. Namun, aku merasa kalau Tuhan sedang memberikan cobaan yang nyatanya tidak bisa aku tangani.

Aku merasakan diriku tenggelam dalam pusaran krisis identitas. Berulang kali, aku meminta dan terus memohon kepada Tuhan Yesus agar Ia mencurahkan berkatnya dan memberikan kami—atau setidaknya jemaatku—keselamatan.

Namun ia terus diam. Ia membiarkan jemaatku mati satu persatu. Ia membiarkan domba-dombanya menderita saat kulit mereka ditembus oleh gigi para serigala dan panasnya timah peluru.

Dan aku, aku yang kebetulan adalah domba tertua. Aku terlalu lemah untuk mengayomi mereka semua. Aku tak kuasa melindungi mereka semua, atau paling tidak sekedar menenangkan mereka kalau Tuhan tidak akan meninggalkan kita.

Tapi nyatanya apa? Aku panik.

Aku terlalu panik.

Aku terlalu takut akan kematian.

Aku meragukan kekuasaan-Nya.

Aku kehilangan imanku.

Apakah Kau kecewa, Bapa?

Atau Kau malah tertawa geli melihat anak-Mu yang begitu rapuh saat Kau tinggal sebentar saja?

Kemarin malam, sekelompok orang menggeledah tempat ini. Dua diantara mereka mengenakan pakaian dokter, sisanya berpakaian ala tentara, namun yang aku ketahui, itu bukan seragam yang dikenakan oleh aparat keamanan maupun militer resmi di Indonesia. Semuanya diperlengkapi dengan senjata api.

Sementara orang-orang itu masih mendobrak pintu, dengan sigap jemaatku menyembunyikan aku di kolong mimbar bekas yang ada di pojok kanan bagian depan ruangan.

"Pak Gembala harus dilindungi," ucap mereka.

Orang-orang itu menanyakan satu nama yang awalnya tidak aku kenali; Francisca Kimberly Kawung—yang belakangan ini aku ingat bahwa itu adalah Putri dari Pak Presiden—. Mereka mendesak jemaatku untuk segera mengakui tempat persembunyian Fransisca.

Tentu saja hal ini membuat mereka kaget. Beberapa dari mereka mengenal nama tersebut, namun mereka tetap tidak mengetahui apalagi menyembunyikan keberadaan beliau.

Setelah beberapa kali mendesak, orang-orang itu naik pitam. Aku sempat beberapa kali mendengar bunyi pukulan dan tamparan. Namun tidak ada satupun dari jemaatku yang berani melawan.

Sampai akhirnya, seseorang dari mereka meminta agar Kania, anak gadis dari salah satu jemaatku, dapat mereka bawa. Tentu saja hal ini menimbulkan penolakan keras dari orangtuanya dan beberapa jemaatku yang lain.

Penasaran dengan suara adu mulut yang semakin meninggi, aku mengintip dari celah kecil yang merupakan sebuah retakan dari mimbar lama tempat aku disembunyikan.

Tarik menarik Kania terjadi. Pihak jemaatku kekeuh tidak akan melepaskan Kania begitu saja. Karena biar bagaimanapun, kami semua paham akan maksud dan tujuan mereka membawa Kania. Merasa kesal, salah satu dari mereka mengangkat senjatanya dan dengan mudahnya menarik pelatuk senjata tersebut.

Kini, kepala Pak Thomas, ayahanda dari Kania, orang yang paling kekeuh mempertahankan tarikan terhadap anaknya, berlubang oleh tajamnya timah panas tersebut. Selang beberapa detik, tembakan beralih ke jemaat yang lain. Satu persatu jatuh, sampai akhirnya setelah mereka semua habis, barulah sekelompok orang itu merasa puas dan menyeret Kania.

Sebelum mereka pergi, aku sempat mendengar salah satu percakapan dari mereka yang kurang lebih isinya seperti berikut:

"Kepalanya, nanti bangun lagi."

Jejak: 31 Hari (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang