06 Juni 2022
--"Selamat siang, semuanya!" ucap Vivi dari atas mimbar.
"Selamat siang!" sahut kami serempak.
Selepas makan siang, semua orang dikumpulkan pada aula utama. Hari itu, Vivi akan melakukan proses pelantikan terhadap Aku, Elsa, Hendro, dan Vera. Acara yang sama seperti beberapa hari lalu dimana Risa telah terlebih dahulu dilantik.
"Baiklah, sebelumnya, saya harap kita semua dalam kondisi sehat baik secara fisik maupun psikis. Adapula tujuan kita semua berkumpul pada siang hari ini yaitu sebagai acara peresmian sekaligus pelantikan beberapa saudara baru kita," lanjutnya.
Vivi tampak berbeda hari itu. Penampilannya yang biasanya cenderung kasual kali ini tidak ia gunakan. Ia nampak anggun dan lebih feminim dengan gaun merah yang membalut tubuhnya. Wujudnya siang itu seakan membuat orang-orang lupa, bahwasanya yang berdiri di mimbar sana merupakan seorang psikopat berdarah dingin.
"Silahkan, Mas Azka, Mas Hendro, Mbak Vera, dan Mbak Elsa," ujarnya dengan ramah. Panggilan "mas" dan "mbak" yang ia lekatkan pada kami membuatku sedikit tergelitik.
Kami berempat pun maju ke depan dan berdiri beberapa meter di samping Vivi.
"Ini mereka. Orang-orang hebat yang nantinya pula akan membuat tempat ini hebat. Selain hebat, mereka pun bijaksana dalam berpikir dan mengambil keputusan. Kebijaksanaan itu direpresentasikan dengan persetujuan mereka akan penawaran yang saya buat agar mereka mau bergabung dengan kita; Sembah Ibu Bumi!" ucapnya lagi yang disambut dengan riuhnya tepuk tangan dari para hadirin siang itu.
•••
"Aku nggak nyangka kalo kita bakal tiba di fase ini," celetuk Elsa sembari memutar-mutar tubuhnya di depan cermin. Gadis itu tampak cantik dan energik dengan seragam Sembah Ibu Bumi yang melekat di tubuhnya.
"Hahahaha, nikmatin aja!" sahutku.
"Ngomong-ngomong, lo cakep deh, Sa, kalo pake kemeja kayak gini," ujarku lagi tanpa sadar.
Elsa langsung menengok ke arahku dan memasang ekspresi tidak percaya dengan ucapanku barusan. Beberapa detik kemudian, Elsa langsung menunduk, wajahnya nampak tersipu malu. Melihat reaksi itu, aku pun mendekatinya dan berniat menggodanya lagi.
"Gimana? Pas ukurannya?" tanya Vivi yang tiba-tiba masuk ke kamar Elsa. Aku pun langsung melepaskan tanganku yang berada di bahu Elsa, serta sedikit mendorong gadis itu.
"E.. Eh.. Iya, cocok, Vi!" jawabku kikuk.
"Hahaha, nanti aja kalo mau gituan!" ujar Vivi dengan penuh makna, tawanya nampak renyah dan bersahabat kala itu.
"Apaan sih, hahahahaha!" sahutku pula yang berpura-pura menutupi rasa canggung.
"Kita ada rapat lima belas menit lagi. Saya tunggu di markas paramiliter ya, Azka. Sudah tahu kan letaknya?"
"Sudah, Vi. Nanti gua kesana."
"Oke, jangan telat!" tegas Vivi yang kemudian keluar dan menutup kembali pintu kamar Elsa.
"Yah, cuma lima belas menit, Sa," ucapku sembari menyengir genit pada Elsa.
"Apaansih! Aneh-aneh aja kamu, Kak!" jawab Elsa dengan tawa malu-malu.
•••
"Kalo nggak salah, kemaren kata si Vivi sih gedungnya yang ini," gumamku.
Gedung dua tingkat yang terletak dalam pagar yang sama di komplek perkantoran ini merupakan tempat dimana elemen paramiliter Sembah Ibu Bumi bermarkas. Tak lama kemudian, telingaku menangkap suara seorang pria yang menyebut namaku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jejak: 31 Hari (Tamat)
Science FictionSaat pandemi mayat hidup melanda Indonesia, sekelompok orang di Pemerintah berusaha mengumpulkan informasi melalui jejak para penyintas yang pernah (atau masih) bertahan hidup. Sembari melakukan tindakan evakuasi, akhirnya mereka dipertemukan dengan...