5.9: Bunglon

72 24 1
                                    

Jantungku berdebar dengan hebat. Muncul keraguan dan rasa takut akan kematian yang begitu tinggi setelah tanganku kuletakkan di atas gagang pintu itu.

"Bismillahirrahmanirrahim.." batinku.

CKLEK.

Raungan dari mulut salah satu mayat yang berada di depanku langsung menyeruak masuk ke indra pendengaran. Mayat itu sempat baju beberapa sentimeter, sebelum akhirnya berhenti setelah menubrukku. Mata menyeramkan miliknya memandangiku dengan penuh selidik. Sesaat kemudian, ia mendekatkan wajahnya di dada, leher, dan perutku.

"Rrrrr, nggrrr.." racaunya sambil terus memandangiku.

"Ya Allah.. Ternyata berhasil.." batinku lega.

"Rrrrr, rrrakkk!!" geramku pula, berusaha menyamai suaranya.

Aku pun langsung memajukan tubuhku hingga membuat mayat itu terdorong ke depan. Anehnya, ia tidak melawan dan seakan-akan menuruti aku serta mengikuti langkahku yang sengaja kuseret.

Aku sedikit geli melihat gerakan mayat itu yang sedikit tersentak-sentak. Mayat itu merupakan tipe yang berlari, sementara aku memainkan peran sebagai mayat yang lamban. Sesekali ia berlari kencang, namun berhenti. Mayat itu terlihat seperti menunggu aku agar pergerakan kami dapat disejajarkan.

"Krrrrkkkr, arrkkk.." geramku lagi yang disambut balik dengan raungan mayat itu.

Sesampainya di jalan raya, aku mendapati belasan mayat lain yang merupakan tipe lamban. Mayat-mayat itu kemudian mengikuti jejak kami yang aku sendiri pun tidak tahu kemana.

Jantungku berdebar lebih keras dari sebelumnya setelah melihat matahari semakin turun, sementara mayat-mayat ini masih mengikutiku. Beruntung, aku melihat sebuah peternakan sapi di sisi kanan jalan.

Aku pun langsung menggiring mereka menuju pintu masuk peternakan tersebut, sambil berharap kalau di dalamnya masih ada mangsa yang tersisa.

"Rrrrrrrr!" geramku dengan kencang sembari menjulurkan tanganku ke arah dua ekor sapi yang nampak diam di salah satu kandang pembatas.

Melihat itu, mayat yang pertama segera berlari kencang ke arah sapi tersebut dan menerjangnya. Mayat-mayat lamban lain pun tampak ikut mengarah ke kandang tersebut.

Setelah memastikan perhatian mereka telah teralihkan, aku langsung berbalik dan berjalan senatural mungkin menjauhi peternakan tersebut. Hati sedikit teriris tatkala mendengar erang kesakitan dari sapi-sapi malang itu.

"Risa! Kamu jenius!" puji Pak Azka dengan suara yang begitu antusias.

"Kak Risa!! Terima kasih!!!" sahut Elsa yang kemudian memelukku erat. Gadis ini seakan tidak peduli dengan bau busuk dari darah yang berlumuran di sekujur tubuhku.

"Mereka kamu alihkan kemana?" tanya Pak Deddy kemudian. Pria itu memandangku dengan tatapan jijik, sangat kontras dengan pandangannya saat kami bergumul beberapa hari silam.

"Kandang sapi. Di dekat sini ada kandang sapi dan mereka langsung memangsa sapi di sana," jawabku datar.

"Terima kasih banyak, Risa," ujar Pak Andre pula.

"Sama-sama, Pak."

"Tapi.. Bagaimana bisa itu berhasil?" tanya Pak Azka lagi penasaran. Raut wajahnya seakan-akan belum percaya dengan keajaiban yang baru ia saksikan.

Aku hanya mengangkat bahuku. Kalau boleh jujur, aku sendiri pun tidak percaya kalau aku berhasil kembali ke sini dengan selamat.

"Baiklah, Tuan dan Nyonya, mari kita masuk dulu karena disini berbahaya dan malam sudah datang," celetuk Pak Deddy dengan nada yang menjengkelkan.

Dalam keadaan gelap gulita, kami duduk di lantai dapur. Mata kami yang mulai beradaptasi dengan gelap adalah satu-satunya bantuan penglihatan yang kami punya. Telinga pun kami pasang rapat-rapat agar dapat menangkap suara apapun yang mengindikasikan kehadiran mayat.

"Kita sudah melihat sendiri celah untuk berkamuflase dengan mereka. Artinya kita sudah bisa langsung ke Halim kan?" ucap Pak Deddy membuka obrolan.

"Saya rasa belum dulu untuk sekarang," sahut Pak Azka.

"Kenapa, Ndan?" tanya Ilham kemudian. Kondisi pria itu terlihat sudah jauh lebih baik saat ini.

"Kita masih belum tahu alasan dibalik penyerangan yang tiba-tiba dilancarkan oleh kelompok bersenjata itu. Jadi, kita juga tidak tahu apakah perjanjian awal yang mereka ungkapkan masih berlaku," jawab Pak Azka lagi.

"Lalu kapan? Kita bisa mati di sini! Lihatlah, kita bahkan tidak bisa mengolah makanan karena tidak ada sumber api!" ujar Pak Deddy lagi.

"Entah," jawab Pak Azka singkat.

"Tapi ada baiknya sekarang kita tidur dulu. Kita akan butuh banyak tenaga esok hari," pungkasnya kemudian.

Malamnya, sayup-sayup aku mendengar tangisan seorang wanita. Aku pun langsung terduduk, dan berusaha memfokuskan pandanganku terhadap orang-orang di sekitar. Setelah beberapa saat mengamati, ternyata mereka semua lengkap dan nampak pulas dalam lelapnya masing-masing.

Kemudian aku bangkit berdiri, dan berjalan ke ruangan depan. Sesampainya disana, suara tangisan itu terdengar makin jelas dan berasal dari luar rumah. Aku pun menyingkap hordeng yang menutup jendela, dan mengintip keluar.

Betapa kagetnya aku saat melihat seorang wanita sedang berdiri tertunduk sembari memegang lentera. Cukup lama aku memperhatikan wanita itu, namun setelah melihat kakinya yang menapak di tanah, aku semakin yakin bahwa beliau adalah manusia.

Beberapa detik kemudian, wanita menengok ke arah jendela tempatku mengintip hingga aku tersentak kaget. Setelah itu, ia pun berlari ke arah kebun pisang dan menghilang di gelapnya malam.

"Apa itu?" gumamku.

"Kamu kok belum tidur?" celetuk seorang pria tiba-tiba.

"Eh.. Iya, Pak.. Saya.. Iya," jawabku gelagapan. Ternyata itu adalah Pak Azka. Pria itu menatapku aneh.

"Aku tadi denger cewek nangis. Terus aku ngintip, dan ternyata beneran ada. Terus sekarang dia udah lari," jelasku kemudian.

"Cewek? Ah, udahlah. Kamu lagi kecapekan mungkin. Ayo, tidur lagi. Kita masih punya tiga jam sebelum pagi," ujar Pak Azka sembari menarik tanganku.

"Pak," ucapku kemudian. Aku sendiri pun tidak paham mengapa aku memanggilnya.

"Iya?" tanyanya seraya berhenti melangkah.

Aku hanya menggeleng. Entah mengapa, rasa sedih menyeruak di pikiranku. Aku begitu merindukan ayah, ibu, dan Adam. Sepertinya, wajah senduku masih dapat Pak Azka lihat walaupun dalam kondisi gelap. Ia pun memegang pundakku dan seakan memberi motivasi agar aku kuat.

"Tidak apa-apa, saya tahu kalau kamu lagi teringat akan hal-hal yang sudah kamu lalui," ujarnya yang seakan-akan dapat mengetahui isi kepalaku.

Refleks, aku memeluknya. Aku tak peduli sekalipun bajuku yang masih penuh darah dapat mengotori seragam militernya. Untungnya, Pak Azka nampak tidak keberatan dengan hal itu. Ia malah memelukku balik dan mengelus-elus punggungku.

DUAK!!

Pelukan kami terlepas setelah mendengar suara itu. Kami berdua langsung mematung beberapa saat, sebelum gedoran di pintu terdengar lagi.

DUAK DUAK DUAK!!

"Itu mereka, bangunkan yang lain!" ujar Pak Azka dengan panik.

Jejak: 31 Hari (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang