12 Mei 2022
Palembang, Sumatera Selatan.
--Oleh: Miftahul Budi, 44 tahun.
Tujuh hari lalu, kedua putraku terjangkit virus Flu Burung yang awalnya mewabah di Jakarta. Awalnya, Agus, anak bungsuku. Ia tertular setelah dua hari sebelumnya, salah satu temannya di sekolah dinyatakan terinfeksi. Esoknya, Andika tertular dari adiknya.
Setelah berdiskusi dengan istriku, kami memutuskan untuk tidak membawa anak-anakku ke rumah sakit dikarenakan BPJS Kesehatan kami yang masih menunggak iuran. Namun setelah beberapa hari berselang dan kedua anakku tidak menunjukkan tanda-tanda membaik, akhirnya aku memutuskan untuk membawa mereka ke rumah sakit hari ini.
Sesampainya di rumah sakit, kami sedikit terkejut dengan keadaan yang begitu ramai bagaikan pasar malam. Saking ramainya, lantai pun beralih fungsi menjadi kursi tunggu dikarenakan membludaknya pasien dan waktu tunggu yang begitu lama.
Akupun mengantri di loket reguler yang antriannya tidak sepanjang loket di sampingku; loket BPJS. Antrian disana begitu mengular. Meski begitu, petugas yang berjaga di loket malah terlihat acuh tak acuh.
Sesekali, mereka malah mengobrol sambil tertawa cekikikan di balik masker yang ia kenakan tanpa mempedulikan antrian yang terus bertambah setiap menitnya. Inilah salah satu alasanku enggan memakai asuransi resmi milik pemerintah itu.
Selesai registrasi, aku kembali menghampiri istri dan anak-anakku yang duduk di lantai karena kursi tunggu yang telah penuh. Aku meraba dahi Agus dan mendapati suhu tubuhnya yang kembali meningkat.
Padahal, tadi pagi demamnya sempat turun. Andika pun mengalami hal yang sama. Istriku menyelimuti Andika dengan erat dikarenakan tubuh mungil putraku itu mulai menggigil.
Tiba-tiba, terdengar suara gaduh dari salah satu baris kursi tunggu. Terangsang untuk mencari tahu, aku menginstruksikan istriku untuk tetap di tempat agar lantai tempat kami duduk tidak diambil alih orang lain—mengingat area lantai pun semakin penuh akibat kedatangan pasien yang tak kunjung henti—.
Innalillahi Wainnailaihi Roji'un..
Ternyata seorang gadis telah berpulang ke rahmatullah.
Ibu dari gadis belasan tahun itu tak kunjung henti menangis sembari meracau. Ia terus menerus mengutuki lambannya pelayanan rumah sakit khususnya terhadap pasien BPJS yang menyebabkan putri kesayangannya terlanjur wafat.
Beberapa perawat dan petugas keamanan datang. Mereka segera menenangkan ibu tersebut dan menawarkan agar mereka mengurus jenazah putrinya.
Secara mendadak, jasad putrinya menyentak-nyentak selama beberapa detik. Kemudian terduduk. Lantas orang-orang di sekitar kaget melihat kejadian itu.
Sesaat kemudian, gadis tersebut langsung menerjang seorang perawat yang berada di dekatnya, kemudian menggigit leher perawat tersebut hingga darahnya menyembur kemana-mana. Alhasil, orang-orang menjadi panik dan berhamburan menjauhi mereka.
Beberapa petugas keamanan menyingkirkan paksa gadis tersebut hingga giginya merobek isi leher perawat yang malang itu. Sejurus kemudian, gadis itu kembali menyerang salah seorang petugas keamanan hingga bagian kanan wajah pria tersebut berlumuran darah. Seakan tidak merasakan sakit, gadis itu sama sekali tak bergeming meskipun beberapa benda tumpul sudah mendarat di tubuhnya.
Tak berselang lama, perawat yang mengalami luka parah di leher tadi pun juga bangun dan ikut-ikutan melakukan tindakan kanibalisme kepada perawat lain yang berusaha mengevakuasinya.
Melihat keadaan yang semakin tidak kondusif, aku segera menembus kerumunan orang yang berusaha melarikan diri dan kembali menemui istriku.
Aku tertegun ketika melihat kedua anakku sedang asyik mengunyah isi perutnya. Mual, sedih, kecewa, marah, takut, semua bercampur menjadi satu dan membuat aku tidak mampu melakukan apa-apa selain jatuh berlutut disana.
Dari lorong lain, terdengar pula suara ribut-ribut. Orang-orang berteriak tentang bangkitnya mayat-mayat di ruang jenazah.
"Bangun, bangun, bangun!" ucapku dalam hati.
Aku masih berusaha mensugesti diriku sendiri agar kembali pada realita dan segera pergi dari tempat itu.
Sekitar beberapa detik, barulah tubuhku mampu aku gerakkan kembali. Aku segera mengosongkan pikiranku dan menutupnya rapat-rapat agar tidak ada lagi pikiran-pikiran aneh yang dapat menghambat pelarianku. Kemudian mengikuti kerumunan orang yang berlari ke arah luar.
Sayangnya, suara-suara itu terus muncul.
"Dia keluargamu."
"Kenapa kau tinggalkan mereka?"
"Kembali, jemput mereka."
Aku menghentikan langkahku setelah beberapa meter keluar dari pintu. Tanpa sadar, kakiku kembali membawaku ke dalam. Tiba-tiba terdengar suara dentuman yang kuat dari arah luar. Dari pintu aku melihat api besar berkobar dan sebagian orang kembali masuk ke dalam.
Sayangnya, keadaan di dalam pun begitu buruk. Darah tersebar dimana-mana. Serangan demi serangan menciptakan beragam teriak kesakitan yang begitu menyayat hati.
•••••
Entahlah akan berapa lama lagi jeruji besi ini akan bertahan. Namun tembok yang menyangganya mulai menjatuhkan puing-puing kecil. Artinya, dalam beberapa saat mereka akan menembus ruangan ini dan aku akan mendapat giliran selanjutnya untuk di...
Catatan terpotong, entah bagaimana nasib si penulis.
![](https://img.wattpad.com/cover/218708804-288-k619410.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Jejak: 31 Hari (Tamat)
Ciencia FicciónSaat pandemi mayat hidup melanda Indonesia, sekelompok orang di Pemerintah berusaha mengumpulkan informasi melalui jejak para penyintas yang pernah (atau masih) bertahan hidup. Sembari melakukan tindakan evakuasi, akhirnya mereka dipertemukan dengan...