5.11: Katalis

73 25 0
                                    

28 Mei 2022
Cileungsi, Kabupaten Bogor
--

Matahari telah muncul saat aku terjaga. Beberapa detik setelahnya, perutku dilanda keroncongan yang hebat. Rasa lapar yang begitu menggebu seakan-akan membuat pencernaanku terhisap-hisap. Aku mengangkat tangan kananku dan melirik ke arah jam yang melingkar di sana.

"Sudah jam sembilan," gumamku.

Kemudian aku melihat ke sekeliling dan mendapati orang-orang masih terlelap. Setelah otakku terkoneksi seutuhnya, barulah aku mendapati sesuatu yang janggal.

"Kemana wanita itu?" batinku dengan panik.

Aku langsung melompat dari sofa tersebut dan memutar mataku ke seluruh sudut. Ternyata benar, wanita itu menghilang. Aku langsung mengambil pistol yang kugeletakkan di atas meja dan bergeser ke ruangan lain. Sesampainya di dapur, barulah aku mendapatinya. Ternyata wanita itu sedang memasak mi instan.

"Ya ampun, saya kira anda kemana.." ujarku lega. Wanita itu langsung membalikkan badannya ke arahku.

"Hahaha, kamu nyariin saya? Ngiranya saya kabur ya?" tanyanya dengan nada ramah.

Aku hanya tersenyum sambil menggaruk-garuk belakang kepalaku. Pistol yang aku genggam pun kembali aku masukkan ke sarung pinggangku.

"Kamu punya gunting?" tanyanya lagi.

"Tidak ada, Bu. Untuk apa ya?"

"Buka bumbu mienya. Tapi kalo nggak ada ya nggak apa-apa," pungkasnya. Wanita itu pun menggigit pembungkus bumbu dan campuran dari beberapa bungkus mie instan yang sedang ia ramu.

Aku pun kembali ke ruang depan dan bermaksud membangunkan yang lain.

"Hei, bangun! Bangun!" ucapku sembari menepukkan bantal ke badan mereka masing-masing.

"Ngghhh!" racau Ilham.

"Baru jam segini, Ndan.. Tadi kan kita tidur subuh," ucapnya dengan malas. Yang lain pun sama, mereka hanya sesekali mengulat lalu kembali tidur.

"Makan dulu, kalian sedang dibuatkan mie. Nanti setelah makan, silahkan baru tidur lagi," perintahku kemudian.

"Ya sudah, tunggu mienya matang, nanti saya bangun dan membangunkan yang lain juga," pungkas Ilham sembari kembali membekap kepalanya sendiri dengan bantal.

Aku hanya menggeleng-geleng melihat tingkah laku mereka. Namun biarlah, mereka sudah lama tidak mendapatkan tempat istirahat senyaman ini. Selain itu, aku juga paham kalau mereka semua terutama Ilham pasti kekurangan waktu tidur. Lalu aku kembali ke dapur dan menemani wanita tadi memasak.

"Ngomong-ngomong, Bu, nama saya Azka," ujarku sembari menjulurkan tangan kepadanya.

"Ah, iya, Azka. Saya Rina," jawabnya sembari menyambut uluran tanganku.

"Azka umurnya berapa?" tanyanya basa-basi.

"Saya 21, Bu."

Mendengar itu, wanita tadi langsung terbelalak. Wajahnya begitu kaget begitu mengetahui umurku yang masih sangat muda.

"21? Ya Allah, umur 21 udah jadi Komandan. Kamu yang jadi Komandan di Cileungsi kemarin kan? Saya suka lihat kamu Nyuruh-nyuruh tentara lain soalnya.. Udah gitu, saya juga denger kalo mereka selalu manggil kamu 'Ndan'," ujarnya.

"Enggak, Bu. Saya punya atasan lagi kok. Namun karena beliau sudah di Halim, jadi saya yang dijadikan komando sementara. Saya juga nggak pernah nyuruh-nyuruh mereka. Saya hanya memberi koordinasi agar area aman.." jelasku meluruskan. Wanita itu hanya manggut-manggut mendengarnya.

Jejak: 31 Hari (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang