"Kamu membuatku hanya memiliki satu pilihan. Melepaskan kamu, itu yang bisa aku lakukan." - Nadia Humaira
Nadia Humaira adalah perempuan yang terobsesi dengan penyempurnaan diri. Dia tidak mempercayai cinta walaupun umurnya sudah siap untuk menikah...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
"Jangan menilai saya dengan mudah."
***
Anita Cendana meletakkan tas serta kopernya di atas lantai, disertai keluhan panjang, tubuhnya langsung berbaring di lantai rumah kayu beratapkan alang-alang. Anita mengedarkan pandangannya keluar jendela, pada padang sabana yang mengering karena musim kemarau yang melanda di Desa Baloko, dekat perbatasan dua negara Indonesia-Timor Leste.
"Apa? Kamu ingin menjadi dokter relawan di perbatasan? Jangan konyol Anita! Itu tempat terpencil."
Suara Halim Cendana, ayahnya seketika langsung terngiang di otak Anita. Ketika lelaki itu mendengar keinginan Anita melepas pekerjaannya di Jakarta dan memilih mengabdi sebagai dokter di perbatasan.
"Aku tetap pergi Pah, aku sudah mengurus semuanya. Aku sudah mendaftarkan diri di salah satu yayasan sosial. Aku nggak bisa mundur," jawab Anita kala itu. Makan malam yang seharusnya menyenangkan berubah menjadi dingin.
"Apa karena lelaki itu?" terka Halim. "Karena Dodit Dirgantara?"
Nama Dodit membuat Anita kesulitan untuk menelan makanan. Dia memilih berhenti dan meminum banyak air, tiba-tiba saja tenggorokannya terasa amat perih.
"Sudah bertahun-tahun berlalu Anita, seharusnya kamu melepaskannya. Seharusnya kamu mengikhlaskan kepergiannya," nasihat Halim. "Sampai kapan kamu terjebak di masa lalu, kamu hanya akan menyakiti diri sendiri."
"Karena itulah aku butuh pergi Pah!" Anita berkata dengan suara gemetar. "Kalau aku tetap di sini, jujur aku nggak bisa! Aku selalu melihatnya di mana-mana. Aku selalu melihat Mas Dodit di depanku, selalu mendengar suaranya, selalu melihat senyumnya."
Anita menundukkan kepala, jangan sampai dia menangis lagi. Sudah tak terhitung air mata yang dia tumpahkan kepada lelaki yang meninggalkannya dengan cara yang perih.
"Aku bisa gila kalau terus seperti ini! Jadi, tolong biarkan aku pergi Pah. InsyaAllah." Anita menambahkan seraya menggenggam tangan ayahnya.
Halim mengerutkan kening, terkejut ketika mendengar putrinya yang mengaku atheis tiba-tiba mengucapkan lafadz Allah dengan lembut.
"Allah yang akan menjagaku, InsyaAllah, Tuhan-nya Nabi Muhammad yang akan menjagaku. Jadi tolong biarkan aku pergi Pah."
Dan setelah itu Halim tidak memperdebatkan lagi tentang Anita menjadi dokter sukarelawan, Halim bahkan membantu mengurus kepindahan Anita, memberikan bantuan dan juga obat-obat medis agar Anita bisa melakukan tugas dengan baik di perbatasan. Halim terketuk hatinya ketika mendengar Anita menyebut nama Allah.