“Terima kasih untuk mimpi serta dongeng pelaut di samudera biru. Kita jumpa lagi. Di suatu hari. Di kapal abadi.”
***
Bahkan sebelum Anita mematikan mobil. Dodit keluar membuka pintu sesaat mereka sampai di parkiran rumah sakit Tulus. Dodit terjatuh dan pergelangan kakinya terpelintir karena mobil Anita masih jalan sedangkan dia memaksakan diri untuk keluar.
“Mas Dodit.”
Anita memanggil nama Dodit dengan cemas. Namun Dodit tidak punya waktu untuk membalas, ataupun menuruti keinginan Anita agar berhati-hati. Dia bangkit berdiri, walaupun lututnya berdarah, dan pergelangan kaki nyeri. Dodit menegakkan tubuh dan langsung berlari ke dalam rumah sakit. Pikirannya kacau, dia berlari tanpa arah tujuan, beberapa kali dia menyenggol tanpa sengaja kepada orang-orang, mendapatkan umpatan marah ataupun teriakan kesal namun Dodit tidak mengacuhkannya. Dia menuju meja informasi. Dengan napas tersenggal, Dodit langsung mendekati perawat yang ada duduk di belakang meja.
“Instalasi gawat darurat di sebelah mana, sus?” tanya Dodit. Dia terengah. Mengatur napas.
“Instalasi gawat darurat ada di gedung sebelah kiri Pak,” beritahu perawat itu sembari menunjukkan arah. “Sebaiknya Bapak keluar dari pintu depan dan kalau Bapak bisa lihat, Instalasi gawat darurat di gedung berlantai dua. Dengan cat warna hijau.” Perawat itu menjelaskan dengan mendetil.
Dodit menganggukkan kepala. Tanpa memperdulikan paru-parunya yang masih butuh oksigen. Dodit berlari lagi, dia mendorong pintu keluar dan hampir bertabrakkan dengan Anita.
“Mas, kaki kamu nggak pa-pa?” Anita mencemaskan Dodit. “Kaki kamu pasti terkilir.”
“Nggak papa, IGD di gedung sebelah, saya harus ke sana,” ucap Dodit. Dia melewati Anita dan berlari lagi.
Napas Dodit memburu cepat, semuanya menjadi sekelebat dalam pandangannya, mengabur ketika pikiran Dodit hanya tertuju pada ayahnya. Dia berlari dengan langkah pincang, dia tidak menghiraukan nyeri yang memberontak di pergelangan kaki, dan dia merasa bersalah tidak bisa memberikan perhatian kepada Anita yang ikut berlari mengejarnya di belakang. Sesekali perempuan itu memanggil namanya, meminta Dodit untuk tenang.
Dodit membaca tanda papan “IGD Rumah Sakit Tulus” di depan sebuah gedung, Dodit berada di tempat yang benar. Tentu saja dengan banyak ambulance yang terparkir di halaman depan dan suara sirine yang tidak berhenti bergema. Dodit juga melihat para petugas medis terlihat sibuk, mengeluarkan pasien dari ambulance dan mendorong brankar mereka untuk masuk ke dalam ruangan.
“Ini tempatnya! Bapak. Bapak di mana?” Dodit bergumam bingung, dia meraup rambutnya dengan frustasi ketika masuk ke dalam ruang IGD yang sibuk. “Ibu. Telpon Ibu.” Dia bicara pada diri sendiri lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jodoh Terbaik Nadia [End]
Espiritual"Kamu membuatku hanya memiliki satu pilihan. Melepaskan kamu, itu yang bisa aku lakukan." - Nadia Humaira Nadia Humaira adalah perempuan yang terobsesi dengan penyempurnaan diri. Dia tidak mempercayai cinta walaupun umurnya sudah siap untuk menikah...