•
•
•Setiap orang mempunyai prosesnya tersendiri. Jadi biarkan proses itu berjalan sesuai dengan kemampuannya.
•
•
•"Liat rumah gue lebih gede dari rumah Lo kan? Inget disini gue rajanya jangan berani macem-macem!"
Jika saja Bella tidak merasa lelah karna seharian terus membereskan barang-barang untuk pindah ke rumah Om Galen—Ah, tidak Papa Galen, mungkin Bella bisa saja membuat keributan dengan pria yang kini dengan santainya melenggang masuk setelah menendang koper besarnya, dia benar-benar menyebalkan. Dua kali, dan sebanyak dua kali itu juga Bella memendam amarahnya pada pria berhidung mancung dan memiliki mata hazel yang memancarkan permusuhan kepadanya. Pertama, ketika mereka pertama kali bertemu di rumahnya saat makan malam. Kedua, adalah baru saja apa yang dilakukannya membuat Bella benar-benar harus mencoba bersabar.
Raja? Raja macam apa? Raja singa? Bella tertawa kecil membayangkan wajahnya berubah dengan wajah singa yang rambutnya berantakan. Sial humornya seketika rendah.
Bella menatap kamar barunya dengan tatapan pasrah, karna silanya lagi kamarnya tepat berada disamping kamar pria yang baru saja membuat darahnya mendidih, Adelio Russell Harrison. Bella menghela nafas dan melenggang masuk dengan membanting pintu dengan kencang mengabaikan Adelio yang menatapnya tajam, Bella tidak perduli.
Bella tersenyum senang menatap kamarnya yang begitu indah. Warna kuning dan putih yang dicampur terlihat begitu indah, terlebih lagi ada windows seat yang langsung mengarah pada taman yang membuat Bella ingin terus duduk disana. Bella memejamkan matanya menikmati sinar mentari yang menerobos masuk dari jendela dan menerpa wajahnya.
"Gue udah yakin Lo pasti akan suka sama windows seatnya."
Bella menggukan kepalanya masih sambil memejamkan matanya, Bella benar-benar masih ingin menikmati cahaya sore hari yang menerpa wajahnya. Bella rasa ia sudah cukup lama memejamkan matanya menikmati cahaya sore hari dan Ia kira pria yang tadi berbicara dengannya sudah pergi tapi saat Bella membuka matanya pria tersebut duduk diayunkan rotan dan sama sepertinya tadi—memejamkan mata menikmati keindahan sore hari.
"Gue tau gue tampan," Ucapan yang begitu percaya diri membuat Bella memalingkan wajahnya buru-buru. Bella akui dia tampan tapi begitu percaya diri.
"Bercanda," Lanjutnya dan kini menatap Bella dengan senyum kecil.
Hening. Bella tidak tahu harus berbuat apa selain menatap lantai putih dibawahnya, ini begitu canggung baginya. Bella selalu merasa sudah cukup adanya ia sendiri dan tidak pernah membayangkan akan mempunyai saudara, ini untuk pertama kalinya ia mempunyai saudara.
"Mama menyuruh semuanya turun ke bawah untuk makan. Gue duluan."
Apakah Bella sudah dibilang bahwa dirinya tipikal orang yang tidak terlalu menyukai berbagi dan sulit untuk bergaul? Dan rasanya aneh ketika untuk pertama kalinya ada orang lain yang memanggil Mamanya sebagai Mama. Bella menghala nafas dan turun untuk keruang makan, dirinya harus mencoba menyesuaikan diri pada lingkungan barunya. Menyesuaikan semua hal. Bella mematap ruang makan sudah lengkap kecuali dirinya yang baru saja datang.
Untuk pertama kalinya Bella merasakan bagaimana makan dengan keluarga lengkap, dulu ia hanya makan dengan dirinya sendiri ditemani dengan kesepian atau dengan televisi. Bukan karna Mamanya tidak mau makan bersamanya ataupun sebaliknya, hanya saja ia tau bahwa Mamanya begitu sibuk dengan pekerjaannya dan Bella memaklumi itu semua, karna semuanya untuk dirinya. Bella jadi merasa selama ini ia terlalu merepotkan Mamanya yang terus bekerja keras untuk memenuhi semua keinginannya dan membahagiakannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
MY BROTHER [END]
Teen Fiction🍃[ SELESAI BELUM DI REVISI!!!] Arrabella tidak pernah mengharapkan memiliki seorang yang melindunginya dan selalu ada untuknya di saat ia butuhkan, selain Mamanya yang selalu sibuk. 15 tahun hidupnya selalu diwarnai dengan putih diatas kertas...