"Bagaimana dengan Jimin?"
Chanyeol mengangguk. Matanya terpaku pada cangkir cappucino yang ada di depannya. "Jimin, dia sudah mulai bisa tidur dengan baik. Tentu saja harus ada aku di sampingnya. Dia mulai berhenti mengonsumsi obat tidurnya."
"Sudah membicarakannya dengan Jimin?" Daniel mengetuk-ngetukkan jarinya pada meja. "Dan keputusanmu?"
"Dia sama sekali tidak mengizinkanku pergi lagi. Tidak peduli jika pada akhirnya hubungan mereka akan terganggu." Chanyeol menghela nafas lalu meraih cangkir cappucino dan menyeruputnya. "Dia sudah egois."
"Wajar saja." Daniel melipat kedua tangannya lalu kembali menatap Chanyeol. "Siapa yang tidak iri jika selama ini saudaranya pergi dari rumah dan tinggal dengan teman sekelasnya selama bertahun-tahun. Bahkan lebih lama daripada waktu tinggal dengannya."
"Kau benar. Aku lebih lama tinggal dengan Yoongi daripada dengan Jimin." Chanyeol tertawa hambar, mengingat betapa bodohnya dia selama ini. "Bagaimana dengan Yoongi?"
"Dia selalu bertengkar dengan Hyera saat di rumah dan menjadi pendiam saat di sekolah. Itupun aku minta bantuan teman mereka yang kepala biru. Aku lupa siapa namanya, Kim apa ya?"
"Kim Taehyung. Aku sedih kau melupakan nama temanku."
Dua kepala pemuda itu langsung menoleh dan mendapati Hyera dengan segelas vanilla frappe di tangannya. Gadis itu menarik kursi dan duduk tanpa permisi, seperti biasa.
Daniel tersentak. "Kau? Kenapa disini? Bukannya ini jam sekolah?"
"Aku membolos. Diam-diam meminjam motor Hoseok untuk membeli frappe disini dan tidak menyangka akan bertemu kalian disini."
"Kebetulan? Niel, seketika aku tidak yakin dia benar-benar kesini karena hal tak disangka yang dikatakannya." Chanyeol melirik Daniel yang hanya bisa menghela nafas.
"Aku memang mengabarinya akan bertemu denganmu disini tapi tidak menyangka dia akan datang kesini. Ditambah lagi dengan membolos. Apa Yoongi tahu kau akan kesini?"
Hyera menggeleng sambil menyeruput minumannya. "Aku hanya mengatakan pada Taehyung akan membeli vanilla frappe disini lalu mengambil kunci Hoseok."
"Kau bukan meminjamnya, sialan!" Daniel benar-benar memukul kepala sepupunya itu tanpa peduli status gender.
"Sakit, Niel." Hyera mengeluh sambil mengusap keningnya yang memerah. "Mau aku adukan pada Yoongi?"
Chanyeol mengernyitkan keningnya sambil menatap Hyera. "Oh, sekarang kau sudah mempunyai tempat mengadu ya?"
"Tentu saja. Aku sudah tidak membutuhkan Daniel. Dia selalu memukulku seperti tadi."
"Kau pantas mendapatkannya." Daniel membalas dengan mencebik. "Kembali ke topik utama, bagaimana keputusanmu?"
"Aku ingin membicarakannya pada mereka berdua dan juga kalian." Chanyeol kembali menyandarkan tubuhnya pada kursi. "Aku ingin membawa Yoongi tinggal di rumahku tapi aku yakin dia tidak akan pernah mau. Ditambah lagi, sepertinya Ibu belum menerimaku dengan baik. Dia bahkan bertingkah tidak peduli."
"Jangan. Biarkan Yoongi tinggal di rumah saja. Kau ambil saja Daniel untuk pajangan di depan rumah."
Oh, ayolah! Daniel ingin memukul gadis itu lagi. Kelewat sangat ingin malah. Tapi dia harus menahan diri karena café tempat mereka berada semakin ramai oleh pengunjung.
"Aku tidak membutuhkan junior yang tidak hormat pada seniornya. Ambil saja."
Tuhkan, bahkan Chanyeol mulai ikut-ikutan menjatuhi dirinya. Tidak ingin berlarut pada kekesalan, Daniel memutuskan untuk melanjutkan argumennya.
"Seperti apapun keputusanmu, kau harus membicarakan pada mereka berdua." Daniel mengambil gelas minumannya lalu kembali menatap Chanyeol. "Sebenarnya, Ayahku juga setuju jika Yoongi tinggal di rumah. Dia bilang setidaknya Hyera ada teman saat kami semua pergi. Akan lebih menyenangkan lagi jika Yoongi sendiri mau."
Daniel hanya pasrah saat melihat interaksi dua remaja di ruang tengah. Dia merasa sedang berada di dunia yang berbeda. Hei, padahal dia juga ada disana. Entah kenapa rasanya dia sedang menonton televisi.
"Jadi maksudmu sebenarnya ini hanya pengalih?"
"Sudah aku katakan dari tadi. Ya ampun, pantas saja Daniel bilang otakmu sering bertukar."
"Bagaimana dengan yang dikatakan Namjoon? Harusnya ini bisa digunakan."
"Otakmu benar-benar tertinggal di suatu tempat ya? Dia menjelaskan soal sebelumnya, bukan yang ini."
"Jadi aku salah?"
"Kau positif salah semuanya. Bagaimana bisa kau masuk ke dalam sepuluh besar jika otakmu saja seperti ini?"
"Yoon, seluruh penghuni kelas juga tahu aku terlalu bodoh untuk pelajaran ini."
"Makanya, lain kali otakmu itu dibawa. Disegel kalau perlu."
Daniel dapat melihat, sepupunya itu sedang mencebik. Dia heran, kenapa saat bertengkar dengan Yoongi, gadis itu tidak pernah berkata kasar? Padahal jika itu dia, pasti umpatan dan sumpahan tidak akan terlepas dari mulut Hyera.
"Apa kalian sibuk?"
Tiga kepala itu langsung menoleh ke sumber suara dan mendapati Minhyuk yang baru saja tiba sedang melangkah mendekati mereka.
"Tidak terlalu. Aku hanya menonton drama."
Minhyuk langsung menoleh ke arah televisi yang dalam keadaan mati lalu kembali melirik putranya. "Drama apa?"
"Itu." Daniel menunjuk ke arah Hyera dan Yoongi dengan bibirnya. "Bertengkar karena tugas."
"Seperti kalian tidak bertengkar saja." Minhyuk menepuk puncak kepala putranya lalu duduk di sebelah Daniel. "Hyera, kau masih bisa main piano, 'kan?"
Hyera mengerjap beberapa kali sebelum akhirnya mengangguk.
"Paman dapat tugas dari atasan untuk menyelesaikan lagu ini." Minhyuk mengeluarkan beberapa lembar kertas yang berisi coretan nada. "Produser utama kami dipecat karena ketahuan melakukan korupsi. Jadi semua pekerjaannya dilimpahkan pada Paman."
"Aku jadi heran, sebenarnya Ayah bekerja di bidang apa? Sekretaris, iya. Keuangan, iya. General manager, iya. Sekarang apa? Produser musik?"
"Ayah sendiri tidak tahu. Selama bisa memenuhi kebutuhan kalian, itu tidak masalah."
Hyera merangkak lalu mengambil lembaran-lembaran kertas tadi. "Butuh waktu berapa lama?"
"Deadline-nya besok tapi Paman meminta tambah dua hari. Apa bisa?" Minhyuk memandang keponakannya itu cemas. Ini pertama kalinya dia meminta bantuan seperti ini kepada Hyera.
"Hmm," Hyera mengamati setiap lembaran kertas dengan tangan kanannya sedangkan tangan kirinya bergerak seolah menekan tuts piano.
"Ibunya Seokjin memang benar-benar hanya mengandalkan Paman ya?"
Minhyuk menoleh ke arah Yoongi yang baru bersuara lalu tersenyum. "Bisa dibilang begitu. Apalagi sekarang sedang perombakan jabatan dan pemeriksaan habis-habisan. Siapa yang ketahuan berbuat curang, positif dikeluarkan dan untuk sementara beberapa karyawan yang dipercayai harus merangkap untuk mengisi bagian-bagian yang kosong."
"Paman, mungkin ini akan selesai sedikit lebih lama. Sepertinya produser itu hanya memberikan dasar-dasar yang sedikit tidak sesuai."
Minhyuk baru sadar jika keponakan perempuannya itu sudah mencoret beberapa bagian yang terdapat pada setiap lembaran kertas.
"Jadi, apa yang perlu Paman lakukan? Ah, Ibu Kim pasti akan menuntut Paman. Padahal itu baru melodinya. Paman belum mendapatkan orang yang pas untuk menulis liriknya dan ini harus selesai dalam waktu kurang dari seminggu."
"Maaf, Paman," Yoongi yang tadinya sedang mengamati catatan di lembar kertas itu langsung menatap Minhyuk, "aku rasa aku sedikit bisa membantu menyusun melodi dan liriknya."
"Benarkah?"
Yoongi mengangguk ragu tapi dengan senyum tipis yang meyakinkan.
Oh, sepertinya ada satu alasan yang bisa menahan Yoongi disini.

KAMU SEDANG MEMBACA
Fiapeless Class [ COMPLETED ]
Fiksi PenggemarFiapeless Class adalah kelas 2-F yang terkenal sebagai kelas yang berisi siswa-siswa yang tidak memiliki harapan. Seluruh murid yang pernah menghuni peringkat 10 besar harus rela terdepak ke peringkat akhir. Ini adalah tentang bagaimana para penghun...