P A R T 36

991 49 0
                                    

Sudah sepersekian kalinya Sabitha men-dial nomor Ara tetapi gadis itu tetap mengurungkan niatnya untuk mengangkat panggilan telfon itu.

Sabitha sudah hampir menyerah, Lovi pun sudah tak diketahui lagi keberadaannya, gadis itu tak menghubunginya lagi saat Sabitha menolak kerjasama mereka.

Sabitha memijat kepalanya yang pening. Ia melihat ibunya yang sedang terbaring lemah di brankar rumah sakit. Ia merasa gagal menjadi seorang anak karena tak dapat melakukan apa-apa lagi untuk memperoleh uang.

"Sabitha..." Suara lemah itu memanggil dirinya, Sabitha langsung berhambur ke pelukan ibunya. Pelukan yang sangat menenangkan.

"Kamu kenapa?" Sabitha menggeleng dan hanya menangis dalam pelukan ibunya. Gadis yang sudah dewasa pun terkadan perlu tempat bersandar, seperti ibu contohnya.

"Gimana kerjaan kamu?"

"Lancar kok." Tidak. Sabitha sangat berbohong.

"Maaf, ya, mama ngerepotin."

"Gak, ma. Mama gak pernah ngerepotin aku. Tolong bertahan."

"Nak, ada waktunya seseorang akan pergi. Semua orang satu per satu akan pergi dan mungkin kamu juga akan pergi meninggalkan orang lain suatu saat nanti. Bisa pergi sementara atau selamanya. Belajar mengikhlaskan sesuatu."

"Sabitha ngelakuin hal yang bodoh, ma."

"Saat melakukan satu kesalahan, buatlah tujuh kebaikan."

"Ini salah banget, ma. Udah gak bisa termaafkan lagi."

"Tuhan itu maha pengampun, kalau manusia tak bisa memaafkan, Ia yang akan memaafkan. Lalu Tuhan akan menyembuhkan luka manusia itu untuk memaafkan kamu juga. Percaya dulu, Ta."

Gadis itu sangat bersyukur masih mempunyai ibu yang sangat amat mengerti dirinya, tak semua orang kan memlikinya?

Tring.

Tring.

"Halo, Ra? Akhirnya lo angkat telfon gue."

"Ada urusan apa?"

Sabitha memandang ibunya dan ibunya menunjukan sorot menenangkan seperti biasa.

"Gue terima apapun konsekuensinya, lo bisa tangkap Lovi."

"Emang niat gue gitu."

"Maaf, ya, Cemara."

Ara terdiam di balik sana, gadis itu seperti ikut merasakan luka yang amat dalam pada Sabitha.

"Lo di mana, Ta?"

"Di Rumah Sakit Harapan."

"Gue ke sana, tunggu. SMS ke gue nomor kamarnya."

"Iya, Ra." Sabitha tersenyum.

Tak butuh waktu lama, pintu kamar rumah sakit tempat Ibu Sabitha dirawat, diketuk.

"Halo, tante." Sapa Ara ramah sambil membawa keranjang berisi buah-buahan.

"Halo, ini Ara, ya?"

"Iya, tante."

Ibu Sabitha memaksakan diri untuk bangun dari brankarnya dan langsung memeluk Ara.

"Maafin kesalahan anak tante, ya. Semoga hati Ara terbuka untuk menerimanya kembali."

Ara tersentuh, tidak pernah ia merasakan cinta seorang ibu yang sangat besar kepada anaknya sebelumnya. Ara mengangguk dan membalas pelukan ibu Sabitha.

"Ara udah maafin kok, tante."

Ibu Sabitha melepaskan pelukan dan memegang kedua bahu Ara.

"Semoga damai dan cinta kasih terus beserta Ara."

BASKARA ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang