P A R T 15

1.6K 72 0
                                    

"Oh, udah berani pulang? Sekalian aja gak usah pulang, hidup papa lebih tenang tanpa kamu." Ucap ayahnya saat Ara bahkan belum jauh lima meter dari pintu masuk.

"Pa, maafin Ara. Ara cuma butuh waktu sendiri."

"Waktu sendiri?! Omong kosong! Pasti kamu pergi karena mau berduaan sama cowok itu kan?!"

"Gak, pa! Dia bukan siapa-siapa Ara." Ada sedikit rasa sakit yang menjalar saat mengatakan hal itu.

"Kamu ini, sudah berani menjawab orangtua?!" Satu tamparan yang cukup keras menjalar perih yang membuat tubuhnya berdesir hebat. Air matanya meleleh lagi. Jujur ia sudah tak kuasa terus-terusan menangis.

"Pa, udah.. Kasihan Ara." Ucap Ibu yang hanya memandang lemah suaminya itu.

"Anak ini begini karena didikan kamu! Jadi ibu gak becus!" Ayahnya hampir melayangkan pukulan kepada ibunya.

"Pa! Kalo mau tampar, tampar Ara aja! Jangan tampar mama! Kasian mama!"

"Kalian sudah berani ya, jawab saya."

"Ya, memangnya anda siapa?" Ucap Ara sedikit menantang yang membuat ayahnya naik darah.

"Saya papa kamu!"

"Gak ada seorang papa yang tega mukulin anak perempuan dan istrinya karena kesalahan kecil! Gak ada seorang papa yang mabuk-mabukkan setiap malam dan mengamuk! Gak ada papa seperti itu!"

"Diam kamu."

"Papa yang Ara kenal dulu gak seperti ini! Apa perlu Ara mati dulu biar kalian sadar?! Biar kalian gak bertingkah seperti anak kecil lagi, apa perlu?!" Tanpa mendengar balasan ayahnya, Ara langsung berlari menaiki tangga sambil menangis.

Tanpa memikirkan apa-apa lagi, gadis malang itu tertidur pulas dengan bekas air mata yang sudah mengering.

****

Ara terus memandangi cermin, antara takut ke sekolah tapi malas mendengarkan orangtuanya yang sedang berdebat lagi di bawah. Orangtuanya tak pernah naik ke atas, karena di atas hanyalah kamarnya dan gudang tak terpakai. Jadi sebenarnya Ara bebas jika ingin membolos.

Ara menatap pantulan wajahnya sekali lagi, berusaha menutupi jejak-jejak tangisannya kemarin. Simpel saja, ia tak ingin semua orang tau. Setelah dirasa puas, ia langsung bergegas ke bawah dan cepat-cepat keluar rumah tanpa memberikan salam. Rasanya seperti tinggal sendiri saja.

Langkah kakinya terhenti saat mobil hitam itu terparkir di depan rumahnya. Ara terus memandanginya, sesekali mengerjapkan mata. Ia takut salah liat yang nantinya hanya menimbulkan lubang kecewa yang sangat besar di hatinya.

Siluet orang itu benar-benar nyata. Itu bukan hanya sekedar ilusi. Namun Ara tetap berpendirian bahwa ia akan pergi dari hidup orang itu, tapi kenapa sekarang dia yang menghampiri Ara duluan?

Tanpa basa-basi Ara berjalan lurus menuju halte bus yang tak jauh dari rumahnya.

TIN.

Ara, jangan noleh. Ucapnya dalam hati.

TIN.

TIN.

Jangan, Ara. Jangan.

TIN.

TIN.

TIN.

BASKARA ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang