Malam ini sangat indah, langit gelap yang ditaburi bintang berkelap-kelip diatas sana terus saja dipandang oleh gadis bermata bulat bening itu. Memikirkan Baskara adalah hal yang selalu dilakukannya untuk menutup hari. Bayangan senyuman Baskara selalu terngiang di dalam kepalanya. Tiba-tiba suara pecahan piring terdengar dari lantai bawah. Ara meringis, meratapi masa depan keluarganya yang jauh dari kata harmonis. Setiap malam dia selalu mengurung diri di kamar sendiri, tidak diperhatikan, dan dibuang layaknya sampah. Setidaknya itu lebih baik daripada mendapat perhatian palsu.
Bukannya Ara tidak perduli pada keluarga, namun hati kecilnya menolak untuk sakit. Dia tidak mau ikut turun tangan dalam masalah keluarganya, mereka sudah besar, bisa mandiri, walau akhirnya akan bercerai, Ara mencoba untuk tidak perduli lagi.
TING
Ara mengambil ponselnya diatas nakas, selalu berharap notifikasi itu adalah notifikasi dari Baskara.
Ardira
Udah tidur?
Belom
Temenin gue ya?Gabisa, Ara lagi belajar
Oh yaudah, gue telpon bisa? Sekalian nemenin lo belajarYaudah
"Halo? Ara denger suara gue kan?"
"Iya, Ara denger."
"Lagi belajar apa?"
"Fisika, besok ada tes."
"Semangat, ya."
"Iya, makasih, Ar."
"Ra, hari minggu bisa jalan gak?"
"Ke mana?"
"Ke mal aja, refreshing sebelum udah mulai sibuk."
"Yaudah, nanti Ara ijin dulu."
"Oke lah, tidur loh, Ra. Udah malem."
"Nanti aja, Ara belom bisa tidur."
"Mikirin gue, ya?"
"Hah? enggak kok, geer ih." Terdengar gelakan Ardira di seberang sana.
"Yaudah gue mau nemenin lo sampe tidur pokoknya."
"Ya, terserah Ardira deh."
* * * *
Baskara menimang-nimang ponsel yang berada di tangannya. Dia ingin sekali berterima kasih kepada cewek itu atas saran yang diberikan tadi pagi. Sekaligus meminta maaf telah membentaknya. Baskara takut kalau ia menelfon Ara lalu cewek itu akan semakin berharap padanya. Baskara melihat kontak cewek itu sekali lagi, tangannya sangat berat untuk digerakkan, sampai-sampai tubuhnya mengeluarkan peluh.
Akhirnya dia memutuskan untuk menekan tombol di atas layar. Saat panggilan tersambung, cowok itu merutuki dirinya berkali-kali. Seharusnya dia tidak usah menelfon Ara. Tapi jawaban operator sedetik kemudian membuatnya lega sekaligus terheran-heran. Panggilan Ara sibuk, Ara sedang menelfon orang lain. Baskara berusaha menunggu hingga waktu menunjukkan pukul satu pagi. Panggilan Ara tetap sibuk. Sampai akhirnya nomor Ara tidak aktif.
Baskara pusing bukan main, dia takut terhadap dirinya sendiri. Kalau Ara menghilang, kenapa dia mencarinya? Bukankah itu yang dia mau sejak dulu? Baskara memutuskan untuk tidur, menghilangkan nama Ara yang terngiang-ngiang di pikirannya.
* * * *
"Baskara?" Baskara menoleh ke arah suara yang sangat dikenalnya itu.
"Apa?"
"Ara gak salah lihat kan? Kemaren Baskara..."
"Shut!! Iya kemaren gue nelfon lo tapi panggilan lo sibuk terus."
"Hah? Ara mau bilang kalau kemaren Ara lihat Baskara minum susu."
"Oh." Baskara malu bukan main, kenapa dia mempermasalahkan panggilan telefon yang sibuk itu?
"Yaudah, udah gak ada keperluan kan? Gue cabut."
"Tunggu, Ara belom selesai.." Suara Ara tercekat ketika Baskara sudah belok ke koridor lain. Kenapa matahari itu susah sekali digapai?
"Hai, Ra!! Pagi-pagi udah bengong aja!"
"Astaga, Ar!! Kaget tau." Ara menabok punggung Ardira.
"Makanya jangan bengong, mikirin apa sih?"
Ara berjalan ke kelasnya dengan lesu, "Mikirin matahari."
"Kenapa mikirin matahari? Dia udah bersinar seperti seharusnya setiap pagi sampai sore."
"Tapi kenapa tidak bisa digapai?"
"Karena matahari terlalu jauh dari lo sekarang ini. Kalau lo mendekat, lo yang akan sakit secara perlahan."
"Kalau Ara menggapai mataharinya malam? Gak akan sakit dong, kan matahari itu udah gak bersinar lagi."
"Dia memang gak bersinar di depan lo, tapi dia bersinar di sudut berbeda, sudut yang lain."
Ara merenungkan perkataan Ardira. Ada benarnya juga, karena matahari tidak pernah redup kemanapun mereka pergi. Hanya saja bumi yang terlalu enggan untuk melihat matahari itu terus-menerus. Mungkin bumi takut jatuh cinta.
Ara menggelengkan kepalanya, berusaha menghilangkan pikiran anehnya. Ardira pasti hanya menganggap matahari sebagai benda, bukan Baskara.
"Ra.. Ra?"
"Eh, kenapa?"
"Kelas lo udah ketinggalan jauh di belakang."
"Hah, iya? Terus kenapa Ardira ngikutin Ara terus?"
"Biar kita konyolnya bareng. Biar lo ada temen yang ada di sisi lo terus." Ara bergeming lalu tersenyum tipis.
"Ara ke kelas dulu."
"Iya, semangat ya belajarnya." Lagi-lagi Ara tersenyum. Perhatian Ardira yang sangat manis membuat hatinya hangat. Sementara di balik pintu, hati Stefany seperti tercubit melihat kejadian itu. Jelas terlihat kalau Ardira memiliki perasaan lebih dari teman kepada Ara. Namun sayang, Ara terlalu buta oleh Baskara.
"Morning, Stef." Sapa Ara dengan senyum yang terus mengembang. Alih-alih menjawab, Stefany malah membuang muka dan berjalan menuju tempat duduknya, berkutat dengan novel.
"Morning, Car."
"Morning, Ra."
"Stef kenapa?"
"Hah? Gak tau deh, dia gak cerita."
"Tadi Ara dicuekin."
"Yaudah lah entar juga baik sendiri, mungkin lagi PMS."
Nyatanya seperti sekarang, Stefany selalu diabaikan. Karena hanya Ara-lah yang dipedulikan semua orang. Hanya Ara-lah queen bee mereka semua. Stefany lelah, dia juga ingin berada di posisi Ara. Cantik, pintar, dan yang terpenting. Dicintai Ardira.
Stefany bisa saja melepaskan cinta Ardira. Tapi bagaimana caranya ia melepaskan rantai tanpa kunci?
* * * *
spam for next!
vote n comment dulu!!!
Tim mana?
ARA - ARDIRA
ARA - BASKARA
COMMENT COMMENT!!
KAMU SEDANG MEMBACA
BASKARA ✅
Fiksi RemajaBaskara Ganeva, cowok ganteng idaman para wanita di SMA Belvado. Si cuek, dingin, ganteng, tinggi, putih, dengan muka yang hampir sama dengan tembok. Baskara membenci perempuan semacam Ara. Yang pecicilan dan salah satu yang berani mengejar cintanya...