P A R T 45

1K 45 9
                                        

Ara sedang mati-matian menahan air matanya di restoran itu, ia tidak mau terlihat lemah lagi di depan lelaki tak berperasaan itu. Ia tidak mau Baskara merasa dapat mempermainkan perasaannya dengan teramat seperti itu. Baskara, Ara berjanji ia tidak akan jatuh lagi dengan semua harapannya. Harapannya. Pupus.

Ara tersenyum pada Widya lalu menatap Baskara dengan tatapan yang tidak dapat diartikan.

"Congrats, ya. Kalian cocok banget."

Rachel langsung menggenggam tangan Ara dan membawanya pergi dari tempat itu sesegera mungkin. Rachel tahu Ara hancur se hancur-hancurnya karena adiknya yang tak berperasaan itu.

Lalu di sinilah Ara dan Rachel berada, di mobil sedan Rachel yang masih terparkir sempurna. Ara dan Rachel hanya diam, keduanya masih tak sanggup memikirkan hal yang barusan terjadi. Semuanya terasa sangat cepat, sampai-sampai rasanya sangat sesak, ditambah Ara harus menahan air matanya agar tidak keluar.

"Ra, are you okay?" Rachel tidak usah bertanya seharusnya.

"I'm okay, kak. Lagipula aku dan Baskara udah putus, buat apa aku harus mikirin hal itu?"

"Lo masih sayang kan?"

"Pasti, kak, masih sayang banget."

"Gue yakin Aska gak serius."

"Aska gak pernah se serius itu. Emangnya aku salah apa kak?" Mata Ara berkaca-kaca, tetapi dia tidak mau menangis.

"Nangis aja, Ra."

"Gak, kak. Aku harus tahan, kalau gak, aku akan nangis terus-terusan kedepannya."

"Gue anter lo pulang ya." Ara mengangguk pelan.

Di dalam restoran itu, Widya masih berusaha menolak tawaran Ibu Baskara.

"Ma, Widya gak bisa begini ma. Mau secinta apapun Widya sama Aska, hal ini tetep salah. Baskara dan Ara itu saling mencintai, ma."

"Siapa bilang, gue gak cinta sama Ara." Cowok sialan. Kenapa mempersulit keadaan Widya seperti ini. Widya benar-benar mengutuknya dalam hati.

Widya memelototi Baskara, posisinya jadi sulit karena Baskara. Sedangkan yang sedang dipelototi hanya membalas dengan tatapan dalam.

Baskara ingin mehilangkan nama Ara dari hatinya, ia tidak bisa melakukannya sendiri, oleh sebab itu ia merasa Widya dapat membantunya. Tapi apakah hal itu adil bagi Widya dan Ara sendiri?

"Widya pergi dulu ma." Widya tak kuasa menentang perkataan Ibu Baskara, yang parah adalah Baskara mendukung hal yang jelas-jelas tidak ia sukai juga. Widya tahu bahwa dirinya merupakan pelampiasan Baskara saja, hal itu membuat hatinya semakin sakit.

Widya tidak pernah mau menjadi perusak hubungan orang, walau teknisnya mereka berdua telah putus. Widya juga sudah putus dengan Barga. Tetapi hubungan tak pernah benar-benar kandas saat keduanya masih saling mencintai. Baskara juga akan selalu menganggap Widya sebagai sahabat. Memang tak pernah ada persahabatan di antara lelaki dan perempuan, tetapi saat mereka sudah lama bersahabat dan lalu menjadi suatu hubungan, hal itu tidak akan bertahan lama.

"Widya!" Suara teriakan Baskara mengagetkan dirinya yang sedang menunggu taksi online yang telah dipesannya.

"Kenapa lo menolak?" Tanya Baskara ketika sudah berada tepat di samping Widya.

Widya menatapnya nyalang, "LO GILA YA?!" Gadis itu langsung berteriak di depan muka Baskara.

"Lo pikir gue gak tau kalo gue alat pelampiasan lo doang, Ka?!" Widya meneteskan air matanya.

"Gue tahu lo masih sayang sama Ara tapi lo gak bisa sama-sama lagi karena dendam persetan lo itu kan?! Karena setiap liat muka Ara, lo akan inget sama kematian bokap lo kan?! Makanya lo gunain kesempatan ini untuk cara lo move on dari Ara, dan gue cuma pelampiasan kan dalam hati lo? Iya kan Baskara Ganeva?! Jawab!" Orang-orang sudah memperhatikan mereka berdua karena posisi mereka berada di pinggir jalan.

"Jangan bahas di sini, ayo ke mobil gue." Baskara menarik tangan Widya lembut tetapi ditepis gadis itu.

"Gak! Lepasin gue!"

"Widya.." Baskara akhirnya berhasil menarik gadis itu sampai ke parkiran tetapi Widya kembali menepis tangan Baskara.

"Mau ngomong apa lagi?"

"Sorry."

"Persetan! Minta maaf sama Ara, dia yang paling sakit sekarang!"

"Lo gak cinta sama gue?"

"Gak semua orang cinta sama lo! Tapi iya, gue cinta. Tapi gue gak mau buta, jangan sampe karena cinta gue yang gak seberapa, ada cewek di luar sana yang sakit karena gue. Lebih parahnya lagi gue bisa mencegah hal itu tapi gue diem."

"Wid, gue gak akan bisa sama Ara. Gue gak mau ngecewain mama."

"Mama doang yang gak mau lo kecewain atau diri lo sendiri juga hah?!" Widya menjatuhkan dirinya, ia terduduk di aspal, tak kuat menopang tubuhnya sendiri.

Baskara melepas jas nya dan memakaikannya ke pundak Widya, lalu ia memeluk erat gadis yang sedang menangis tersedu-sedu itu.

"Widya, gue akan jaga lo baik-baik." Widya pun kehilangan benteng pertahanannya, ia menyetujui pertunangan itu.

****

Ara baru sampai di rumahnya, beruntungnya dia karena ibu dan ayahnya telah pergi meninggalkan dirinya sendiri di rumah itu, untuk pergi ke luar kota, entah kemana juga Ara tidak begitu peduli, bahkan ibu dan ayahnya tidak bilang bahwa mereka akan pergi.

Ara di sini lagi, sendiri lagi, dimana lagi ia tidak akan sendiri? Nama Baskara kembali melintas dalam otaknya, ia benar-benar harus menghilangkan nama itu di kepalanya. Ia lalu naik ke kamarnya, ia harus melanjutkan hidupnya tanpa Baskara. Ia membuka buku paket pelajarannya, lebih baik ia menjaga dirinya agar tetap sibuk daripada pusing tentang jatuh cinta. Ia salah, mengapa tubuhnya tak dapat menahan rasa cinta agar tak jatuh terlalu dalam. Ara harus berhenti sampai sini, ia tidak mau menyakiti dirinya kembali.

Ara pun tenggelam dalam pelajaran, ia mulai berkonsentrasi pada pelajaran yang sedang ia pelajari.

Tring.

Ia mengecek ponselnya, ada pesan dari Ibu Baskara. Katanya Baskara dan Widya sudah menyetujui tentang pertunangan itu, dan Ara tidak usah mendekati dan berharap pada Baskara lagi.

Ya, memang itu yang akan dilakukan dirinya. Ia tidak perduli dengan hal itu, ia tahu Widya dan Baskara akan menyetujui tentang pertunangan itu, secara mereka telah dekat sejak lama. Anggaplah saja Ara dan Barga adalah orang 'latihan' mereka untuk maju ke jenjang yang lebih jauh lagi.

Ara menghentikan tangannya yang sedang menulis materi itu. Memandangi layar ponsel yang telah berubah hitam itu. Ia pun akhirnya membalas pesan Ibu Baskara.

Terima kasih tante, setidaknya saya pernah menjadi alasan Baskara bahagia untuk sementara.

Sampaikan selamat saya untuk Baskara dan Widya ya tante, Ara turut seneng.

Ara senang kok, ia senang bisa belajar dewasa. Karena patah hati.

****

Hai haii, sorry banget lama update, tapi aku lagi berusaha banget untuk up seminggu sekali/dua kali, hope u all still like my story ya!!

BASKARA ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang