54. The King's Owner: Do You Love Her? (Part 2)

520 35 0
                                    

Now Playing: Adele - Make You Feel My Love


16th February Saturday, 8.25 A.M. Arthur's Room—Campbell Enterprise building, London, UK.

    Arthur baru saja menyesap kopi panasnya sembari membaca berkas perusahaannya ketika tiba-tiba saja seseorang memasuki ruangannya tanpa mengetuk lebih dulu. Arthur mendongak dan menemukan sosok Jennifer di depannya, tengah memandang Arthur dengan diam. Buru-buru Arthur berdiri dari kursinya dan menghampiri Jennifer yang masih berdiri di tengah ruangan.

    "Thank god. Akhirnya, kau datang juga. Kau sudah membaca pesan-pesanku? Kenapa kau tidak menghubungiku? Ada banyak yang ingin kujelaskan padamu, Jenny. Percayalah—"

    Arthur menghentikan ucapannya begitu melihat uluran tangan jennifer dengan sebuah amplop putih. Arthur mengerutkan keningnya, merasa ragu menerima uluran amplop putih dari jennifer. Arthur bahkan berusaha melenyapkan segala kemungkinan buruk yang sedang ia pikirkan di otaknya.

    "Aku berhenti. Aku tidak akan bekerja di sini lagi." Tukas Jennifer dingin.

    "What?"

    Rasanya, Arthur masih tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. Ia mendongak menatap Jennifer dengan tatapan seriusnya. Tapi, ia bersumpah ia dapat melihat jejak tangisan yang sudah mengering pada sekitar mata dan pipi jennifer. Bahkan, kantong mata jennifer yang sudah ditutupi oleh make-up masih dapat Arthur lihat.

    "Jennifer, aku mohon jika ini semua tentang foto-foto sialan itu, aku akan menjelaskannya sekarang juga." Arthur berusaha meraih lengan jennifer, namun jennifer segera menepis dan menunjukkan raut wajah jijiknya.

    Jennifer mendengus. "Apa yang akan kau jelaskan lagi, Arthur?"

    Keduanya terdiam. Lebih tepatnya, Arthur yang tidak berani membuat jennifer menangis saat ini. Karena itu, ia memilih untuk diam dan membiarkan jennifer menumpahkan segala emosinya saat ini.

    "Apa kau akan menjelaskan padaku tentang bagaimana kau menikmati malammu itu, ha? Ah, omong-omong aku juga sudah melihat video kalian. Sayang sekali kau tidak bisa berbohong padaku, Tuan Arthur."

    Arthur tampak semakin terkejut, mengerutkan keningnya dalam. "Video?"

    Arthur mencoba untuk menenangkan dirinya, menghela napas kasarnya. "For God sake, Jennifer. Aku dijebak! Trust me!"

    Arthur tidak bisa menjelaskan apapun selain kalimat itu. Bahkan ia sendiri kebingungan bagaimana ia akan menjelaskan sendiri pada jennifer jika wanita di depannya ini saja sudah terlihat membencinya saat ini. Sangat membencinya.

    Jennifer kembali mendengus. "Apa? Setelah semua ini, kau memintaku untuk memercayaimu lagi? Hah, I'm afraid it's too late, Arthur. Aku sangat menyesal sudah menerimamu sebagai temanmu, membelamu, bahkan memercayaimu dulu. Aku sempat bepikir jika kau—kau—" jennifer menjeda, menghela napas kasarnya sementara tangannya menahan rasa sakit yang luar biasa pada dadanya. Begitu sesak. Memejamkan kedua matanya, perlahan air mata jennifer terjatuh.

    Menarik napasnya kembali, jennifer kembali melanjutkan ucapannya. "Robert benar. seharusnya aku tidak pernah menerimamu sebagai temanku sejak dulu. Seharusnya, aku menjauhimu dari dulu. Seharusnya..... kita tidak perlu saling mengenal."

    Mendengar ucapan penyesalan Jennifer padanya, membuat Arthur sendiri tertawa miris. Tawa itu terdengar begitu lama, membuat jennifer mengerutkan keningnya dalam.

    "Robert, ya. Ya, aku sudah menduga dia akan mengatakan itu semua padamu. Dia akan melakukan semuanya untukmu karena dia adalah prince charmingmu dan kau akan selalu memercayai fakta versi dirimu sendiri. See? Kau bahkan tidak ingin mendengarkan penjelasanku sedikit pun." Dengus Arthur.

    "Jangan pernah berani membicarakan fakta sementara kau sendiri yang bersalah di sini, Arthur. Persetan dengan semua fakta yang sudah kau jelaskan padaku, karena aku bahkan tidak yakin bisa memercayainya."

    Arthur berdecih. Ia melangkahkan kakinya perlahan mendekati Jennifer yang terdiam menatap ke arah sampingnya. Jennifer tidak ingin menatap wajah Arthur saat ini atau ia akan kembali mengingat rasa sakitnya kembali.

    "Penipu sepertimu memang selalu memercayai fakta versi dirimu sendiri, bukan? Katakan, saat kau melihat video itu, apa mengingatkanmu dengan sesuatu?" tanya Arthur berusaha mengintimidasi. Ia tidak bisa lagi mengontrol dirinya yang sudah terpancing.

    Jennifer menoleh menatap Arthur dengan kerutan di keningnya. Berusaha memahami apa yang Arthur katakan.

    "Apa yang kau bicarakan?" tanyanya—masih bediri diam sementara Arthur sudah berdiri tegak di depannya.

    "Jangan pura-pura polos begitu, Jennifer. Kau tahu persis apa yang kubicarakan. Jika dipikirkan kembali, apa bedanya kau dengan diriku? Kita sama-sama sudah pernah melakukannya. Robert sudah mencobanya, bukan? Kalau begitu, tentu saja aku bisa melakukannya dengan salah satu temanmu."

    Jennifer terkesiap. Ia benar-benar kebingungan dengan sikap Arthur saat ini. Benar-benar bukan Arthur yang dulu ia kenal. Dadanya semakin sesak begitu mendengar Arthur yang sudah menuduhnya tanpa kebenaran. Bagaimana Arthur bisa mengatakan hal keji seperti itu. Mati-matian Jennifer kembali mencoba menahan air matanya yang hendak jatuh.

    "Tarik ucapanmu, Arthur."

    "Apa?!"

Suara tinggi Arthur membuat Jennifer tidak bisa lagi menahan bendungan air matanya. Ia menggigit bibir dalamnya, menahan segala rasa sakit.

"Kau sendiri sudah membiarkan seorang psikopat seperti Robert menidurimu, dan kau menatapku dengan jijik saat mengetahui tentang aku dan Emily!" Kemudian, Arthur tersenyum miring—tampak menakutkan untuk seorang jennifer saat ini. "Apa kau tidak ingin mencobaanya denganku, huh? Kau sendiri sudah melihat bagaimana Emily—"

PLAK!

Arthur terdiam memegangi pipi kirinya dimana Jennifer menamparnya dengan amarah yang sudah tidak bisa ia tahan lagi. Rasa amarah, kecewa, dan sedihnya yang sudah tidak bisa ia kendalikan lagi. Perlahan, Arthur menoleh pada Jennifer yang sudah menangis dengan deras.

"Kau sudah keterlaluan, Arthur."

Kalimat terakhir yang jennifer ucapkan, dan tanpa menunggu balasan dari Arthur lagi, jennifer segera melangkahkan kakinya menuju pintu keluar. Sementara, Arthur masih terdiam memegangi pipinya.

Tepat saat jennifer menutup pintu ruangan Arthur dengan begitu keras, Arthur tersadar dari sikap brengseknya yang sudah menyakiti jennifer. Hingga tanpa ia sadari, kedua pipinya sudah basah dengan air matanya sendiri.

Ingin rasanya Arthur mengejar Jennifer dan mengatakan pada jennifer jika ia sangat menyesali segala perbuatannya. Ia tidak akan memintanya untuk kembali memercayainya lagi. Ia hanya ingin permintaan maafnya diterima oleh jennifer.

Sungguh sakit mengetahui dirinya bersikap brengsek pada jennifer sementara kini jennifer sedang merasakan kekecewaan besar padanya. Seharusnya, ia bisa lebih mengontrol dirinya lagi, namun nasi sudah menjadi bubur. kini, Arthur benar-benar tidak tahu bagaimana ia akan memperbaiki segalanya.

***
END OF CHAPTER 54

***END OF CHAPTER 54

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

***

Don't forget to press the ⭐️ button and comment as many as you can📩
Follow my instagram:
iamvee29
aviorfw

Much love,
VieVie🌙

The King's Owner (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang