"Udah makan belum?" tanya Arga pada Nara.
Nara menggeleng pelan. "Aku nggak mau makan," jawabnya lemah.
"Kamu harus makan. Aku pesenin gado-gado, ya," kata Arga, mencoba membujuk.
Nara menggeleng lagi. "Aku nggak mau, Arga. Aku lagi nggak pengen makan,"
Arga mengerutkan kening, merasa khawatir. "Kamu kenapa, sayang?" tanyanya dengan lembut.
Nara hanya menghela napas. "Aku cuma nggak enak badan," ucapnya pelan.
Arga menyentuh kening Nara dan terkejut. "Kamu panas Ara, kamu sakit?" tanyanya semakin cemas.
"Aku nggak tahu, tiba-tiba aja kepalaku pusing," ujar Nara sambil menyandarkan kepalanya di bahu Arga, mencoba meredakan rasa pening.
Alvaro yang melihat ini hanya bisa berpikir, Mereka pacaran?
"Muka lo pucat, Nar," kata Jeremi yang juga memperhatikan kondisi Nara. Mendengar itu, Arga langsung menatap wajah Nara lebih dekat. Benar saja, wajah Nara terlihat pucat.
"Kita ke UKS sekarang," kata Arga tegas.
"Aku nggak—"
"Nurut kali ini, Ara," potong Arga, lalu segera memapah Nara menuju UKS.
Setelah tiba di UKS, Arga membaringkan Nara di kasur dan meminta petugas PMR untuk memeriksanya.
"Nara kenapa?" tanya Arga dengan nada datar, tapi jelas ada kekhawatiran di baliknya.
Petugas PMR sedikit gugup saat menjawab, "M-maagnya kambuh, Kak. Ini obatnya, tapi dia harus makan dulu sebelum minum obatnya," ucapnya sambil memberikan obat tersebut kepada Arga.
"Lo boleh pergi," ucap Arga singkat. Petugas PMR itu segera pergi, tampak lega bisa keluar dari ruangan.
"Kamu nggak sarapan tadi pagi, ya?" tanya Arga lembut sambil duduk di samping Nara.
"Udah kok," jawab Nara jujur.
"Terus, kenapa bisa kambuh? Jangan-jangan kamu makan yang pedas lagi?" Arga memicingkan matanya, curiga.
Nara tergagap. Memang benar, malam sebelumnya dia ikut challenge makan samyang dengan Adam, Tiara, dan Ryan. Siapa yang paling cepat habis, dia akan turuti keinginannya. Dan, Nara yang menang. "E-enggak kok," jawab Nara terbata-bata.
Arga menghela napas panjang. "Gak usah bohong, udah kelihatan. Mulai sekarang, aku nggak izinin kamu makan pedas lagi," ucap Arga tegas.
Nara membelalakkan matanya. Dia tidak dibolehkan makan pedas lagi? Bagaimana dia bisa makan tanpa sambal? Rasanya akan hampa.
"Tapi—"
"Nurut."
"Oke," ucap Nara akhirnya, menyerah.
"Good girl," kata Arga sambil mengelus rambut Nara. Dia kemudian mengambil ponselnya dan mengetik sesuatu.
Beberapa menit kemudian, Jeremi datang membawa nampan berisi nasi goreng dan teh panas. "Nih, bos," ucap Jeremi sambil menyerahkan nampan itu pada Arga.
"Thanks," ucap Arga, menerima nampan itu.
Jeremi mengangguk. "Gue balik ke kantin dulu, ya. GWS, Nar," ucapnya sebelum keluar dari UKS.
"Kamu makan sekarang," kata Arga sambil menyuapi Nara.
"Aku bisa sendiri, Arga!"
"Nggak ada penolakan," balas Arga tegas.
Udah kayak di Wattpad-Wattpad aja sih, Arga! Pikir Nara kesal.
"Pemaksa," gerutu Nara sambil mengerucutkan bibirnya.
"Dan si pemaksa itu pacar kamu," Arga hanya terkekeh dan melanjutkan menyuapi Nara.
Arga memberikan teh setelah Nara selesai makan.
"Dan sekarang, minum obatnya," perintahnya. Nara menurut dan meminum obatnya."Rasa apa ini? Kok nggak ada manis-manisnya," keluh Nara.
"Namanya juga obat," jawab Arga santai.
Setelah itu, Arga membawa Nara ke markas Vandalas. Sebenarnya, Nara tak ingin ikut, tapi bukan Arga namanya kalau tidak memaksa.
"Duduk," kata Arga ketika mereka tiba di markas. Nara menurut dan duduk di samping Farrel.
Nara mulai berkomat-kamit tak jelas. Farrel yang mendengar itu menatapnya dengan bingung. "Nar, lo gila." serunya, lebih sebagai pernyataan daripada pertanyaan.
"Kalau iya, kenapa? Lo mau baku hantam sama gue?" tantang Nara.
"Ayo, kita lihat siapa yang menang!" balas Farrel dengan nada meremehkan.
Nara menyeringai. "Lo ngeremehin gue?" tanyanya dengan sinis.
Farrel sedikit gentar melihat senyum sinis Nara. Bahkan, seluruh anggota Vandalas yang melihat itu pun ikut merinding. Mereka tahu, perempuan yang marah, apalagi saat PMS, bisa sangat menakutkan.
Nara berdiri dan mendekati Farrel. Farrel refleks mundur. Nara menyeringai. "Kenapa mundur? Takut?" tanyanya dingin.
Farrel menelan ludah. "S-siapa bilang?" balasnya dengan gugup.
"Halah, bacot lo, Rel!" ucap Nara sebelum kembali duduk, wajahnya masih menahan sakit.
"Kenapa duduk? Takut?" ejek Farrel, menirukan gaya bicara Nara. Seluruh anggota Vandalas tertawa mendengar ejekan itu.
"Bisa diem nggak? Perut gue sakit, loh! Ribut lagi gue jahit bibir kalian!" Ancaman itu berhasil membuat mereka semua diam.
Arga yang baru turun dari lantai atas mengernyit bingung melihat anggotanya terdiam seperti itu. "Kenapa kalian?" tanyanya curiga.
Mereka semua hanya menggeleng. Arga hanya mengedikkan bahu dan berjalan menuju Nara yang duduk lemas di sofa.
"Nih, aku bawa coklat," ucap Arga, menyerahkan coklat pada Nara.
Nara menolak. "Males," jawabnya lemas.
"Yakin?" tanya Arga lagi, memastikan.
"Iya, Arga! Jangan bicara dulu, aku capek," ucapnya sambil memejamkan mata.
"Aneh lo, Nar. Yang bicara Arga, kenapa lo yang capek?" goda Farrel.
"Tu mulut suka dijahit ternyata!" sahut Nara ketus, membuat Farrel terdiam, tak berani lagi mengganggunya.
"PMS dia," tiba-tiba Rio berkata santai. Semua mata tertuju pada Rio, tapi dia hanya mengangkat bahu, acuh tak acuh.
"Benar! Jangan ganggu gue! Perut gue sakit," ucap Nara dengan mata tertutup.
Mereka semua mengangguk, berjanji tak akan mengganggu Nara. Mereka tahu, cewek PMS itu kayak singa. Bahaya! pikir mereka.
Tbc
KAMU SEDANG MEMBACA
ARGARA
Novela JuvenilIni kisah tentang tiga cowok menyukai satu cewek yang sama. (2020)