Senin pagi, waktu yang paling dibenci oleh murid-murid SMA Garuda. Upacara bendera di bawah terik matahari adalah mimpi buruk yang mereka hadapi setiap minggu. Dan hari ini, panasnya sungguh tak tertahankan.
Adel, sedari tadi, terus menggerutu, suaranya tak jelas tapi cukup untuk membuat Nara dan Jeje hanya bisa memutar mata dengan malas.
"Sumpah, ya! BuRuk tuh pidatonya lama banget!" keluh Adel, mendengus.
"Udah tau panas gini, malah pidato panjang lebar. Gak kasian apa sama kulit gue! Liat deh, merah semua!" Lanjutnya, menambahkan keluhan.
"HUAAA!" Adel berteriak lirih, cukup pelan tapi masih terdengar oleh murid-murid di dekatnya.
Nara dan Jeje meringis malu, berharap tidak terlalu menjadi pusat perhatian karena kelakuan Adel yang overdramatis.
"Adel, please, jangan gitu deh! Lo mau bikin kita malu ya?" ujar Jeje dengan nada kesal.
Adel merespons sambil mengipas-ngipasi dirinya dengan tangan. "Gue gak tahan, Je! Panas banget, sumpah!"
Nara menggelengkan kepala. "Panas, lo bilang? Gila! Lo liat posisi kita baris di mana? Kita tuh ada di bawah pohon, Del! Mana panasnya?" Sergah Nara, suaranya agak keras hingga menarik perhatian beberapa murid lain.
"Tetep panas, Nar! Lo gak liat kulit gue merah begini?" balas Adel tak kalah kencang.
Jeje memandang sekitar, mulai merasa risih. "Nara, Adel, seriously, diem deh! Kita diliatin orang banyak, nih!" desisnya, menahan malu.
Tiba-tiba, suara BuRuk terdengar memekik keras di lapangan. "NARA! ADEL! JEJE! KE SINI KALIAN!"
Ketiga gadis itu terkejut mendengar panggilan BuRuk yang begitu merdu. Mereka saling menatap, bingung, sebelum akhirnya dengan terpaksa maju ke depan. Tapi bukannya langsung maju dengan anggun, mereka malah saling mendorong.
"Lo duluan, Del!" bisik Nara, mendorong Adel.
"Hah? Kok gue?" protes Adel.
"Kan ini semua salah lo!" ujar Jeje cepat.
"Ish, gak mau! Lo aja, Nar, lo kan OSIS." Balas Adel, menolak maju.
Nara menatap Jeje dengan mata melotot. "Heh! Kok gue? Je, lo duluan!"
"Setan lo berdua! Bukan gue yang bikin masalah, kalian yang salah!" Balas Jeje, mendengus kesal.
"HEHH! NGAPAIN KALIAN DORONG-DORONGAN? MAJU CEPAT! KALO MASIH DORONG-DORONGAN, SAYA AKAN—"
"Iya, Bu, iya! Sabar dikit napa!" potong Jeje dengan santai.
BuRuk melotot pada Jeje, napasnya tersengal-sengal, hampir tak percaya. "KAMU BERANI SAMA—"
"ELAH, BU! SANTAI AJA!" potong Nara, kali ini dengan nada lebih keras.
Seluruh murid terdiam, terkejut. Bahkan Nara yang dikenal lembut dan sopan kini berbicara seperti itu pada gurunya. Adel menoleh panik, "Astaga! Kalian kenapa gini, sih?!"
Jeje dan Nara hanya menghela napas, jelas sudah malas berurusan dengan BuRuk.
Dengan suara rendah tapi penuh frustrasi, BuRuk memutuskan, "Berdiri di sini sampai bel istirahat pertama berbunyi!"
"Siap, Bu!" jawab ketiganya serempak.
Namun, tiba-tiba, suara lain terdengar. "Bu!"
Semua orang menoleh. Itu Dania Geraldine, murid yang tak pernah terseret masalah apapun.
"Kenapa?"
"Saya ikut berdiri sama mereka, ya?" ucap Dania santai, tanpa sedikitpun rasa canggung.
BuRuk mengerutkan kening. "Kenapa kamu mau ikut dihukum dengan mereka?"
Dania tersenyum lebar. "Karena mereka teman saya."
Para murid menatap Dania dengan mulut terbuka. Apa yang gadis itu pikirkan? Mau-mau saja berdiri di bawah matahari bersama mereka?
BuRuk menggelengkan kepala, hampir tak percaya. "Ya ampun, mimpi apa saya semalam? Ya sudah, silakan kalau kamu mau."
Dania langsung berlari mendekat, wajahnya ceria seperti anak kecil yang baru mendapat permen. "ADEL! NARA! JEJE! I'M COMING!"
Ketiga gadis itu balas berteriak, "DANIAAAA!" Mereka tertawa bersama, sementara semua murid lain hanya bisa melongo, tak habis pikir dengan kehebohan keempat gadis itu.
Di sisi lain lapangan, para anggota Vandalas juga tertegun melihat kejadian itu. Terutama dua cowok yang melihat pacarnya di sana, serta satu cowok yang diam-diam memandangi gebetannya.
"Sinting!" Ujar Gerry, yang langsung diangguki oleh teman-temannya.
~
"Dan, lo kenapa mau ikut dihukum sama kita?" Tanya Nara, sambil melirik Dania yang berdiri di sebelahnya, mereka semua sekarang hormat pada tiang bendera.
Dania tersenyum lebar. "Kan kalian temen gue."
Jeje mengacungkan jempolnya, "You're the best, Dania!"
"Eh, capek nih! Ke kantin aja yuk!" Adel tiba-tiba mengusulkan. Ketiganya langsung mengangguk setuju, mereka pun berjalan meninggalkan lapangan upacara tanpa ragu.
"Gue beliin minum ya," kata Nara sebelum berjalan menuju kios minuman.
Tiba-tiba, Arga muncul dan menghampiri Nara. "Mulai nakal ya sekarang?" Canda Arga sambil menyilangkan tangan di dada.
Nara hanya cengengesan. "Nggak nakal, cuma... gitu deh, nggak jelas aja!" Ucapnya, membuat Arga tertawa kecil.
"Hilih. Kamu nggak balik ke kelas?" Tanya Arga.
"Aku mau adem-adem dulu, abis panas-panasan tadi di lapangan," jawab Nara sambil menggerakkan rambutnya yang sedikit basah karena keringat. Arga mengangguk, mengerti.
"Kalau kamu?"
"Aku? Gak ke kelas juga. Mau sama kamu aja," balas Arga, dengan nada manja.
"Dasar bucin!" Nara mencibir.
"Bucin cuma buat kamu kok," goda Arga sambil tersenyum.
"Ihh! Udah ah, ayo kesana. Temen-temen nungguin," ajak Nara, menarik tangan Arga.
Mereka pun kembali ke meja tempat teman-temannya berkumpul.
"Gila lo semua!" kata Jeremi begitu mereka tiba.
"Siapa yang gila?" balas Dania dengan nada ngegas, membuat semua tertawa kecil.
"Anjir, calm down, Dan!" kata Felix, mengangkat tangan seolah menyerah.
"Hilih, bicit!" ucap Dania, mengeluarkan bahasa gaul khasnya.
Tiba-tiba, ponsel Nara berbunyi. Dia mengangkatnya dengan cepat. "Halo?"
"...."
"Sekarang?" Nara terkejut, suaranya agak meninggi.
"...."
"Ish! Kenapa nggak sebentar aja sih!" keluhnya dengan nada frustrasi.
"...."
"Fine, fine, gue ke sana sekarang!" Nara mematikan panggilan dengan wajah kesal.
"Kenapa, Ra?" tanya Arga, melihat ekspresi pacarnya yang berubah.
Nara mendesah. "Aku ada jadwal pemotretan."
"Pemotretan sekarang?" Adel bertanya heran.
Nara mengangguk. "Iya. Gue pergi dulu, ya."
Saat Nara hendak pergi, Arga dengan cepat berkata, "Aku ikut."
Nara menoleh. "Eh, jangan deh! Aku bakal lama di sana!"
"Aku tunggu," jawab Arga singkat, nada suaranya tak bisa dibantah.
Nara menghela napas, menyerah. "Oke deh, yaudah. Guys, gue cabut dulu ya!" Mereka semua mengangguk.
Setelah kepergian Nara dan Arga, Dania tiba-tiba bertanya, "Nara model?"
Adel mengangguk, "He'em."
Dania hanya mengangguk-ngangguk, masih tak percaya. Nara benar-benar gadis yang sempurna.
Tbc

KAMU SEDANG MEMBACA
ARGARA
Novela JuvenilIni kisah tentang tiga cowok menyukai satu cewek yang sama. (2020)