Tiga Puluh Dua

258 23 0
                                    

Langit mendung mengawali hari senin seorang Kaelyn Queenthana Byakta. Walau mendung, gadis itu tetap semangat melangkahkan kakinya di lantai ruang skill lab dengan tool box yang ia tenteng di tangan kanannya. Ruang serba putih yang berisi banyak meja, kursi, phantom, serta lemari yang penuh dengan alat dan bahan kedokteran gigi itu terlihat masih sepi. Lebih tepatnya, kosong. Sepertinya Kaelyn adalah orang pertama yang datang.

Kaelyn berjalan santai menuju meja yang biasa ia tempati sejak blok estetika dimulai. Menimbang masih satu jam lagi perkuliahan akan dimulai, Kaelyn mengurungkan niatnya untuk mengeluarkan semua alat tempurnya. Nanti saja, ketika ruang skill lab sudah ramai dan mendekati jam masuk.

Kaelyn mengeluarkan ponselnya. Mengecek apakah ada chat, panggilan suara, atau notifikasi lainnya yang masuk. Sayangnya, ponsel Kaelyn sepi tanpa ada notifikasi apapun. Kaelyn merasakan ada yang berbeda. Biasanya, Aero selalu menyempatkan mengirim chat singkat di pagi hari. Lalu laki-laki itu akan mengabari jika ia akan menjemput Kaelyn untuk pergi kuliah bersama. Namun, sejak insiden seusai festival seni dua hari yang lalu, Aero seperti melupakan kebiasaannya. Laki-laki itu bahkan tidak menghubungi Kaelyn sama sekali sejak dua hari yang lalu. Kaelyn sudah berusaha menghubungi Aero duluan yang dibalas dengan singkat oleh laki-laki itu.

Aku nggak papa. Kasih aku waktu dulu.

Pertanda Aero tidak ingin diganggu, bukan? Tapi, Kaelyn khawatir dengan kondisi Aero. Ia ingin sekali menemui laki-laki itu. Memastikan Aero memang baik-baik saja.

"Woi!" Seruan Elisa yang baru saja datang mengagetkan Kaelyn. Elisa tertawa kecil melihat ekspresi lucu Kaelyn ketika kaget.

"Iseng banget, sih," kesal Kaelyn. Ia sedang berpikir serius malah dikagetkan oleh sahabatnya. Menyebalkan.

"Lo ngapain ngelamun pagi-pagi gini? Di ruang SL yang kosong pula. Mau kesambet lo?" Elisa menarik kursi di sebelah Kaelyn. Ia meletakkan tool box miliknya yang mirip dengan tool box Kaelyn, hanya berbeda warna saja di atas meja. Ada yang penasaran nggak, sih, sama isi tool box itu?

"Jelek amat omongan lo," cibir Kaelyn. "Tumben lo udah datang."

"Gue dikerjain si kembar. Mereka sengaja cepatin jam sejam lebih awal. Gue baru tahu kalau gue dikerjain pas udah mesan ojol. Kampret banget emang mereka," curhat Elisa dengan kekesalannya yang menggebu. Paginya jadi serba terburu-buru karena keusilan adik kembarnya yang sering ia juluki duo setan itu.

Kaelyn tergelak mendengarnya. Dibanding jadi tersangka keusilan, Elisa memang lebih sering jadi korban para saudaranya.

"Gue harus ngasih apresiasi nih sama si kembar karena bisa bikin lo datang awal banget ke kampus."

Elisa memutar bola matanya jengah. "Lo kenapa datang cepat? Paling pertama pula."

"Pengen aja."

Kaelyn membuka tool box yang ia bawa. Mengeluarkan artikulator yang telah dipasangkan model kerja, lampu spiritus, lecron, sendok martabak, glass lab, sepasang bite rim untuk rahang atas dan rahang bawah, serta gigi anasir yang sama sekali belum ia sentuh. Kaelyn juga mengeluarkan koran untuk menjadi alas kerjanya nanti.

"Kapan, ya, bite rim gue di-acc? Dari kemarin dikit lagi mulu tiap liatin ke perseptor. Gue perbaiki yang ini, sebelahnya yang udah bagus malah rusak. Gitu aja terus sampai gue jadi nenek-nenek," keluh Elisa. Ia menatap nelangsa bite rim rahang bawahnya yang masih belum sesuai dengan kriteria preseptor. Rahang atas sudah pas.

"Ini dikit lagi, Lis. Bagian posterior kanannya ketinggian dikit. Lo ratain pake sendok martabak aja, terus langsung tempel ke glass lab biar rata, nggak ada yang jendul-jendul," kata Kaelyn setelah memeriksa bite rim milik Elisa di atas glass lab. Bite rim milik Kaelyn sudah di-acc, saat ini ia sedang ditahap menyusun gigi anasir.

AmareTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang