Dua Puluh Sembilan

298 30 0
                                    

Aero menatap bingung Kaelyn yang tampak tidak fokus sedari tadi. Pandangan Kaelyn kerap kosong dan jika diajak berbicara sering kali tidak nyambung. Aero butuh beberapa kali mengulang perkataannya hingga gadis itu mengerti.

"Kamu sakit?" tanya Aero khawatir. Ia meletakkan punggung tangannya di dahi Kaelyn, memeriksa suhu tubuh gadis itu.

"Nggak kok. Sehat bugar gini akunya." Kaelyn menurunkan tangan Aero dari dahinya. Ia tersenyum manis agar laki-laki itu percaya ia sehat.

"Tapi kamu aneh dari tadi. Sering nggak fokus. Lagi banyak pikiran, ya?"

"Kepikiran Baksos doang. Baksos dimajuin jadi akhir tahun, jadi aku sibuk banget ngurus persiapannya," alasan Kaelyn yang tak sepenuhnya bohong. Pikirannya memang terbagi saat ini antara Baksos dan Ardian yang sedang patah hati. Tapi ia tidak mungkin mengatakan tentang Ardian juga. Bisa-bisa rahasianya terbongkar.

"Dua bulan lagi dong? Cukup waktunya buat persiapan?" Saat ini sudah di penghujung Bulan Oktober. Waktu dua bulan bukan waktu yang lama untuk persiapan kegiatan besar seperti Baksos.

"Cukup nggak cukup, harus cukup. Untungnya sih dosen banyak mau bantu dan fasilitasin, jadi semua nggak dikerjain panitia doang. Tapi, tetap aja aku sakit kepala mikirin semua serba mepet gini. Padahal aku udah pasang target Bulan Maret tahun depan biar persiapan matang. Untung aja lokasinya udah dapat, tinggal ngirim surat izin ke dinas kesehatan sama PDGI cabang." Ujung-ujungnya Kaelyn jadi curhat pada Aero. Tapi setidaknya Kaelyn punya pengalihan yang bagus. Terbukti dengan Aero yang sepertinya percaya.

"Aku yakin kamu bisa. Pacarku ini kan hebat." Aero mengelus pelan puncak kepala Kaelyn. "Kamu juga punya tim yang hebat. Kalian semua pasti bisa."

"Makasih, Ro." Kaelyn mengambil tangan Aero di puncak kepalanya lalu menggenggam erat tangan yang lebih besar ukurannya dari tangannya sendiri. Senang rasanya saat ini ia memiliki seseorang untuk berkeluh kesah. Yang benar-benar hanya miliknya, walaupun ia masih belum bisa memberikan hatinya pada laki-laki itu.

"Kalau butuh bantuan kamu kasih tahu aku ya. Jangan jadiin aku pacar yang nggak berguna."

"Ih, kamu ngomongnya apa sih. Kamu ngedukung dan percaya aku bisa aja itu udah lebih dari cukup. Bikin aku semangat lagi."

***

Aero kira setelah Kaelyn curhat padanya, gadis itu akan kembali seperti semula. Namun ternyata, Kaelyn kembali banyak diam setelah pembahasan tentang Baksos selesai. Aero jadi serba salah dibuatnya. Ia tidak nyaman dengan kondisi hening seperti itu padahal mereka sedang tidak bertengkar. Tapi, ia juga tidak bisa memaksa keadaan untuk terlihat baik-baik saja.

"Kamu mau ke suatu tempat?" tanya Aero saat lampu lalu lintas berwarna merah. Ia memalingkan wajahnya pada Kaelyn. Tangan kirinya menyentuh pelan punggung tangan kanan gadis itu.

"Eh?" Kaelyn tersentak. Ia sampai menegakkan posisi tubuhnya. "Apa, Ro?"

Aero tersenyum kecil, padahal dalam hati ia mendesah pelan melihat kekasihnya yang tampak berbeda saat ini. "Ada tempat yang mau kamu kunjungi? Yang bisa bikin kamu seneng? Kamu kelihatan murung banget. Aku nggak suka."

"Mau pulang aja, boleh?" tanya Kaelyn pelan. Matanya melirik pelan pada Aero dengan bibir sedikit manyun. Kaelyn tampak menggemaskan di mata Aero dengan ekspresi seperti itu.

"Boleh dong. Capek banget, ya?" Aero meremas pelan tangan Kaelyn, dilanjut dengan usapan-usapan pelan di atas punggung tangan gadis itu.

"Lumayan. Kayaknya aku mau langsung tidur setelah ini, supaya otakku fresh lagi."

"Tidur di sini aja dulu kalau kamu emang ngantuk. Sampai rumah aku bangunin."

Aero mengusap-usap puncak kepala Kaelyn dengan lembut. Sesekali usapannya terlepas karena harus memindahkan tuas persneling. Kaelyn yang awalnya tidak terlalu mengantuk jadi tertidur karena usapan lembut di kepalanya.

AmareTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang