Lima Puluh

331 27 1
                                    

Derap langkah kaki terdengar pelan dari tangga. Kaelyn melangkah gontai tanpa semangat, berkebalikan dengan tampilan dirinya yang sudah rapi dan segar karena sehabis mandi. Wajahnya terlihat kuyu meskipun sudah dioles oleh bedak dan teman-temannya. Sinar wajah dan aura seseorang memang tidak bisa ditutupi, bahkan oleh make up tebal sekalipun.

Kaelyn menarik kursi di ruang makan. Masih belum ada siapa-siapa di sana. Sepertinya anggota keluarganya masih sibuk dengan urusan masing-masing. Kaelyn duduk dengan wajah yang ditopang ke tangan. Mata gadis itu terlihat menerawang jauh. Ada sesuatu yang dipikirkan olehnya hingga pagi-pagi begini ia sudah melamun.

"Rapi banget kamu." Aletta muncul dengan semangkok besar nasi goreng di tangannya. Ibu tiga anak itu menyusun sarapan yang sudah ia buat dengan asisten rumah tangganya. "Ada acara kampus?"

Kaelyn menggeleng. "Lagi pengen aja."

"Tumben banget." Kaelyn merupakan satu dari jutaan orang yang malas mandi pagi ketika hari libur begini. Ia hanya akan mandi saat sore hari, jika di hari libur tersebut ia tidak punya kegiatan di luar rumah. Makanya Aletta terkejut melihat Kaelyn sudah rapi dan segar saat sarapan.

"Bunda, ih. Aku nggak mandi, diomelin. Aku mandi, malah diledekin," renggut Kaelyn manja. Aletta terkekeh lalu mengusap puncak kepala anak bungsunya.

"Iya deh. Nggak diledekin lagi."

Cakra dan Barra datang bersamaan. Dua laki-laki dengan wajah yang hampir serupa itu menatap Kaelyn yang sedang menuangkan air minum dengan dahi berkerut.

"Wangi banget." Cakra mencium puncak kepala Kaelyn tiba-tiba hingga Kaelyn terkejut. Gadis itu hampir saja melepaskan teko kaca di tangannya.

"Kaget, Yah," seru Kaelyn.

"Kamu mau ke mana, sih, pagi-pagi gini udah rapi? Mau kencan sama Aero?" Kaelyn tertegun begitu mendengar nama Aero dari mulut ayahnya. Ia kembali mengingat apa yang terjadi kemarin. Tanpa disadari, sebuah sayatan baru muncul di hatinya ketika ia mengingat Aero.

Barra yang menyadari perubahan wajah Kaelyn, segera mengalihkan topik pembicaraan. "Kak Jazzy jadi ke sini?"

"Jadi kayaknya. Garda lagi ke luar kota. Dia males berdua doang sama keponakanmu," sahut Cakra. Jazmyn sudah melahirkan anak pertamanya tiga bulan yang lalu.

"Berdua dari Hongkong. Semua ART, sopir, satpam, pengasuh, sama tukang kebun di sana dia anggap apa? Pajangan?" Sebagai seorang istri dari anak konglomerat, rumah Jazmyn diisi oleh orang-orang asing yang bertugas mengurus rumahnya. Garda tidak membiarkan Jazmyn mengurus rumah besar itu sendirian. Ia hanya membolehkan Jazmyn membantu memasak dan mengurusnya serta anak mereka. Jazmyn—yang notabenya kurang bisa akrab dengan orang asing—tidak terlalu dekat dengan semua pelayan di rumahnya. Oleh karena itu, jika ia hanya tinggal sendiri atau berdua dengan anaknya, ia hampir selalu menuju rumah orang tuanya seraya menunggu Garda menjemput.

"Kayak nggak tahu kakakmu gimana. Yuk, sarapan."

Lima menit kemudian, Kaelyn selesai sarapan lebih cepat daripada yang lain. Ia pamit mau ke rumah depan, alias rumah Ardian. Cakra dan Aletta membiarkan saja anak bungsung berkunjung pagi-pagi ke rumah Ardian karena itu sudah menjadi kebiasaan Kaelyn sejak kecil. Mau itu pagi, siang, sore, atau malam sekalipun, jika Kaelyn ingin ke rumah Ardian, ia akan ke sana saat itu juga.

"Mas Ardiannya lagi di atas, Non. Belum turun sarapan dari tadi." Yang membuka pintu adalah asisten rumah tangga di rumah Ardian. Wanita paruh baya itu mengatakan hanya ada Ardian di rumah. Kedua orang tuanya sedang ke luar kota sedangkan adik Ardian sedang menginap di rumah temannya.

"Kae langsung ke kamarnya aja, deh, Bi."

Kaelyn menuju kamar Ardian di lantai dua. Ia menatap ragu pintu kamar berwarna coklat itu. Takut jika kehadirannya nanti ditolak oleh Ardian. Tapi Kaelyn tidak tahan dengan situasi seperti ini. Ia ingin menyelesaikan semuanya.

AmareTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang