Dua Puluh Enam

277 28 1
                                    

Kaelyn memijat pelan kepalanya yang berdenyut nyeri. Sudah hampir pukul dua belas malam dan ia belum bisa tidur. Pertemuannya dengan Ghiana tadi sore masih berseliweran di kepalanya. Kaelyn sudah mendengar seluruh cerita apa yang terjadi antara Aero dan ibunya dari versi Ghiana.

Ghiana menyeka air matanya yang menitik keluar setelah menyelesaikan ceritanya. Cukup sulit baginya mengorek kembali luka yang tercipta lima belas tahun yang lalu dan belum sembuh sampai sekarang.

"Tante ngerti kalau kamu anggap Tante sebagai ibu yang buruk. Tapi, seperti yang Tante bilang tadi, Tante terpaksa. Tante nggak punya pilihan lain. Kedua pilihannya adalah pengorbanan."

"Jangan nangis, Tan. Kae ngerti betapa sulitnya di posisi Tante." Kaelyn pindah duduk ke sebelah Ghiana. Ia mengelus lembut punggung wanita yang masih tetap cantik diusianya yang tidak lagi muda itu.

"Tante mohon, bantuin Tante ya, Kae. Tante udah bicara sama Popnya Aero, dia udah setuju. Kami nggak bisa mikirin cara lain supaya Aero bisa terima Tante lagi dihidupnya. Tante... kangen banget sama Aero," pinta Ghiana. Kedua tangannya menggenggam erat tangan kanan Kaelyn yang tergeletak bebas di atas meja.

"Kae nggak bisa janji Kae bakal berhasil. Tapi, Kae akan coba ngomong sama Aero pelan-pelan. Tante yang sabar ya. Kae yakin semuanya bakal cepat berlalu."

Kaelyn tidak mengira permasalahan ibu dan anak itu akan sekompleks ini. Ketidak jujuran menimbulkan kesalah pahaman yang berbuntut panjang. Kaelyn tidak menyalahkan sikap Aero, namun kesalahan juga tidak terletak sepenuhnya pada Ghiana. Sepertinya ia juga harus tahu cerita dari versi Aero agar mendapat pencerahan untuk membantu ibu dan anak itu.

"Gimana ya cara ngomong sama Aero? Pasti bakal susah. Liat ibunya sekilas aja dia mood-nya langsung berubah, apalagi kalau diajak bicara," gumam Kaelyn.

Kaelyn harus benar-benar memutar otak agar mendapat cara bagaimana membantu meluruskan masalah keluarga tersebut. Anggota keluarganya saja sudah menyerah sehingga butuh bantuan dari orang luar seperti Kaelyn.

Suara ponsel yang menandakan ada chat yang masuk mengalihkan perhatian Kaelyn. Kaelyn segera mengambil ponselnya dan memeriksa siapa orang yang menghubunginya tengah malam gini.

Genta
Kae, besok kita udah bisa survey lokasi.
Surat perizinan udah kelar dan gue udah hubungin kepala dusun disana.
Jam dua kita berangkat?

Kaelyn
Oke.
Gue kasih tahu Haikal juga. Katanya dia mau ikut.

***

Kaelyn pulang dari lokasi survey baksos ketika adzan maghrib sudah berkumbang. Lumayan lama karena tadi menunggu kepala dusun yang kedatangan tamu dari pemerintahan kota serta mengelilingi kawasan sekitar sebagai bahan pertimbangan apakah lokasi tersebut cocok atau tidak untuk dijadikan lokasi baksos. Lokasinya sudah memenuhi syarat, tapi mereka akan survey ke beberapa tempat lagi sebelum memutuskan dimana baksos tahun ini akan dilaksanakan. Lokasi yang terpilih adalah lokasi yang paling membutuhkan perawatan gigi.

Kaelyn ingin langsung mandi dan mengistirahatkan dirinya di kasur. Badannya lelah sekali.

"Tadi Ardian nyariin kamu," kata Barra sambil lalu. Laki-laki itu lewat dengan cuek di depan kamar Kaelyn. Kaelyn yang hendak masuk ke kamarnya segera berbalik arah mengejar Barra.

"Kapan kapan?" tanya Kaelyn. Ia berusaha mengimbangi langkah Barra.

"Tadi. Aku udah bilangkan?" jawab Barra yang bikin Kaelyn jengkel.

AmareTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang