Tiga Puluh Enam

272 28 0
                                    

"Ayo pulang, Kae."

Kaelyn bisa merasakan badannya menggigil ketakutan hanya dengan mendengar kalimat datar dari Aero. Wajah laki-laki yang biasanya menampilkan senyum untuknya itu berganti dengan wajah dingin. Tatapan mata laki-laki itu pun beku. Tidak ada binar cinta dan kehangatan seperti biasanya.

"Ro, aku-"

"Udah terlalu sore. Kalau nggak pulang sekarang, kamu nyampe rumah pas magrib. Ayo, pulang," potong Aero cepat, tidak membiarkan Kaelyn menyelesaikan kalimatnya.

"Tapi-"

"Kamu masih mau di sini?"

"Kae, lo pulang aja. Jangan ngebantah Aero. Gue yakin Aero nggak akan mau bahas apa yang dia dengar di sini," saran Elisa menengahi. Kaelyn menatap Elisa gamang.

"Gue takut, Lis," lirih Kaelyn.

"Aero nggak mungkin macam-macam sama lo. Kalau ada apa-apa, lo langsung hubungin gue." Elisa berusaha meyakinkan Kaelyn. Gadis itu tahu dibalik ketenangan Aero saat ini, laki-laki itu pasti menyimpan emosi di dalam dirinya. Oleh karena itu, lebih baik Kaelyn menuruti perkataan Aero daripada makin memancing emosi laki-laki itu.

Kaelyn mengangguk pelan. Ia menatap Elisa sekali lagi, sebelum mengikuti Aero. Aero pamit pada Elisa lalu berjalan bersisihan dengan Kaelyn menuju mobilnya.

Aero masih membukakan pintu mobil untuk Kaelyn dan memastikan gadis itu menggunakan seat belt-nya. Yang berbeda hanya Aero melakukan semua itu dalam diam. Laki-laki itu tidak lagi membuka mulutnya.

Aero mengemudikan mobilnya dalam diam. Suara radio pun tidak terdengar sehingga Kaelyn ragu untuk berbicara. Tapi ia tidak nyaman dengan siatuasi seperti ini. Ia tahu Aero marah. Ia ingin Aero menyampaikan kemarahannya, bukan hanya diam.

"Ro." Setelah berpikir cukup lama, Kaelyn memberanikan diri membuka mulut. Gadis itu menoleh takut pada Aero. Tangannya saling meremas kuat, menyalurkan perasaan cemasnya.

"Ro," panggil Kaelyn lagi karena tidak ada sahutan dari Aero. Laki-laki itu fokus menatap ke jalanan, tidak menoleh sedikitpun. "Jangan gini, Ro."

"Gini gimana?" tanya Aero beku.

"Kamu jangan diam aja. Kamu boleh marah, boleh kesal. Itu lebih baik daripada kamu diamin aku kayak gini," lirih Kaelyn.

"Aku rasa diamku lebih baik. Aku nggak mau nyakitin kamu dengan perkataanku."

"Tapi diam kamu juga nyakitin aku. Aku takut liat kamu yang kayak gini. Bicara, Ro. Jangan diam aja," pinta Kaelyn. Suaranya tercekat karena menahan tangis. Matanya saja sudah berkaca-kaca, siap menumpahkan air mata dalam sekali kedipan.

Aero yang menyadari suara Kaelyn mulai berubah, hanya mampu meremas kuat stir mobil. Jujur, ia tidak suka mendengar suara Kaelyn yang bergetar. Tapi, ia tetap pada pendiriannya untuk tidak membahas apa yang ia dengar tadi di gazebo FKG.

"Jangan nangis. Keluarga kamu bakal heran nanti kalau kamu pulang dengan mata merah."

"Aku ... aku minta maaf, Ro."

"Hapus air mata kamu. Jangan nangis. Jangan bahas apapun. Itu permintaanku," putus Aero final. Semua kata yang keluar dari mulutnya bernada tegas pertanda itu adalah perintah. Kaelyn akhirnya hanya bisa menurut. Ia tidak berani membantah Aero lebih lanjut.

Tidak lama kemudian, mobil Aero sudah berhenti di depan pagar rumah Kaelyn. "Setelah bersih-bersih, salat, dan makan, kamu langsung istirahat. Aku titip salam untuk Om Cakra, Tante Alleta, sama Kak Barra. Maaf aku nggak bisa mampir."

"Ro, permasalahan kita belum selesai. Kamu nggak bisa bertingkah seolah-olah nggak terjadi apa-apa. Kamu nggak boleh setenang ini." Isakan Kaelyn mulai terdengar. Tangisannya tak mampu lagi ia tahan. Hatinya sakit melihat Aero yang seperti ini. Ia seperti tidak mengenal Aero yang membatasi dirinya.

AmareTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang