Empat Puluh Enam

265 23 2
                                    

"We don't have to do this, Ghi," kata Liam frustasi. Matanya tak putus menatap sang istri yang terus bergerak memasukkan pakaiannya ke dalam koper.

"Cuma ini jalan satu-satunya yang kita punya, nggak ada jalan lain. Kita udah nyoba berbagai cara dan kita sama-sama tahu hasilnya gimana. Kegagalan," jawab Ghiana yakin. Wanita itu meletakkan pakaian terakhirnya ke dalam koper dan menutup koper berukuran besar tersebut. Ia juga memasukkan semua make up, skincare, ataupun barang-barangnya yang lain ke dalam satu tas besar. Setelah memastikan ia tidak menyisakan apapun lagi, Ghiana beralih menuju Liam yang duduk di sofa dengan wajah frustasi.

"I don't want to lose you," lirih Liam. Ghiana tersenyum pedih. Ia rangkum pipi kanan suaminya lalu mengelus lembut dengan ibu jarinya.

"Me too."

"Jangan pergi. I need you. Aero needs you."

"Kalian nggak kehilangan aku. Aku akan selalu ada di sini." Tangan Ghiana beralih pada dada Liam. Bibirnya mungkin tersenyum, tapi matanya sudah diselimuti kabut tipis.

Meskipun perpisahan adalah keputusannya, Ghiana tidak bisa untuk tidak bersedih karena akan berpisah dari suami dan anaknya. Bibirnya berkata ikhlas, namun hatinya meronta penuh penolakan.

Ghiana yang pertama kali memutuskan kontak mata di antata mereka. Ia menjauh, takut jika semakin lama ia menatap mata Liam, semakin lemah dirinya sehingga ia memilih untuk mengubah keputusannya. Tidak, Ghiana tidak mau. Pengorbanannya dibutuhkan oleh banyak orang. Ratusan, bahkan ribuan orang bergantung pada pengorbanannya.

Ponsel Ghiana berdering tidak lama kemudian. Tertera nama kakaknya di layar. Ghiana menjangkau ponsel tersebut dan mengangkat panggilan dari saudara satu-satunya itu.

"Ya?"

"...."

"Udah. Aku akan turun sebentar lagi."

Ghiana memutuskan panggilan tanpa salam. Ia menatap Liam dengan pandangan yang tak menentu.

"Mereka udah menungguku."

Liam menghambur begitu saja memeluk istrinya. Tak lama lagi mungkin akan menjadi mantan istri. Ia eratkan lingkaran tangannya serta membenamkan wajahnya di lekukan leher Ghiana. Ia tidak tahu apa yang terjadi setelah Ghiana keluar dari rumah. Mungkin ia tidak akan bertemu Ghiana lagi. Liam tahu keluarga Ghiana tidak akan melepaskan Ghiana dengan mudah kali ini. Tapi Liam bertekad akan membawa Ghiana kembali ke pelukannya.

"Aku berjanji akan melakukan yang terbaik. Pengorbananmu nggak akan sia-sia. Setelah semuanya kembali seperti semula, aku akan menjemputmu. Membawamu kembali pulang," janji Liam. Ghiana tidak merespons apapun. Ia hanya mengusap pelan punggung suaminya.

"Jaga Aero untukku, Yam."

Ghiana melepaskan pelukannya lalu mencium dahi Liam lama. Ciuman penuh perasaan dan ketulusan. Dan mungkin akan menjadi ciuman terakhir mereka.

"I love you, Liam."

"I love you more, Ghiana."

***

Aero terbangun saat mendengar suara benturan roda koper dan lantai. Bocah berumur lima tahun itu segera bangun dari tidurnya. Matanya menatap jam dinding yang menunjukkan pukul sebelas malam. Siapa malam-malam begini yang membuat suara bising? Apakah ayahnya akan pergi ke luar kota seperti biasanya? Tapi, Liam tidak mengatakan apapun padanya. Biasanya Liam selalu izin jika akan pergi ke luar kota.

Berbekal rasa penasaran, Aero keluar dari kamarnya. Ia tidak menemukan siapa pun begitu membuka pintu. Bocah itu segera menuju lantai bawah, berpikir mungkin ayahnya sudah akan pergi. Aero sudah menyiapkan kalimat kemarahannya karena sang ayah pergi tanpa mengatakan apapun.

AmareTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang